(• Happy Reading •)
•
•
•Kami tiba di Akademi Astracapella saat matahari sudah terbenam sepenuhnya. Meski dalam gelap, aku masih dapat melihat kastil megah yang desainnya berbau Eropa klasik dan Yunani kuno. Satu kata untuk Akademi ini adalah fantastis.
Mereka bertiga yang menuntun kami berhenti. "Ini ruangan kepala sekolah, kami tidak berani membawa kalian lebih jauh dari ini tanpa izin darinya. Mungkin juga setelah bertemu dengannya kalian bisa kembali pulang ke tempat asal kalian," terang wanita pengendali sulur tadi.
"Baiklah kami mengerti. Terima kasih untuk bantuannya," ucapku.
Mereka mengangguk dan berjalan pergi.
Setelah tidak melihat punggung ketiga orang itu, aku dan Elio saling pandang sebelum mengetuk pintu yang ada di depan kami. Seolah mengatakan, apa kita harus masuk ke dalam?
Elio menghela napasnya, ia maju dan mengetuk pintu kayu yang berukiran harimau di atasnya.
"Permisi," ucapku.
"Maaf menganggu, apa ada orang di dalam?"
Pintu itu terbuka, berdiri di depan kami seorang wanita yang mungkin berumur dua puluh delapan tahun. Aku hanya menebak, karena melihat wajahnya masih terlalu muda untuk disebut kepala tiga.
"Maaf mengganggu, apa kau kepala sekolahnya?" tanya Elio.
"Silahkan masuk dulu," ucap wanita itu tanpa menjawab pertanyaan Elio.
Aku dan Elio masuk, mengikuti wanita itu yang menuntun kami ke sebuah meja.
"Ini mereka, Prof," ucapnya pada seseorang yang membelakangi kami.
Seseorang yang diajak berbicara memutar kursinya ke depan.
"Terima kasih, Profesor Fariza, dan bisakah kau tinggalkan kami bertiga?"
Wanita yang bernama Fariza itu mengangguk, dan pergi.
"Kenapa wajah kalian tegang seperti itu?" tanyanya.
Aku langsung membenarkan ekspresiku walaupun tak tau letak salahnya di mana karena aku wanita. Aura di ruangan ini memang membuatku termeditasi. Padahal saat di luar tadi biasa saja.
"Namaku Devian Wilson, kepala sekolah Akademi Astracapella, dan kalian berdua bukan orang dari benua ini, 'kan?" Aku dan Elio mengangguk. Wau, orang tua ini sepertinya pintar sekali menebak.
"Tuan tau dari mana?" aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Dari aura kalian yang sangat berbeda dari manusia yang ada di sini."
"Memangnya aura kami seperti apa?" tanyaku kembali.
"Diamlah." Elio memberhentikan keingintahuanku. Padahal, apa salahnya bertanya, 'kan? Seperti kata pepatah malu bertanya sesat di jalan.
"Bukan dari benua ini, dan bukan dari dunia ini."
"Meski di tidak masuk akal, aku rasa itu benar."
Aku ikut menganggukkan kepala. "Iya, kami memang bukan dari dunia ini, tunggu apa?!" Terkejut, tidak percaya apalagi setelah Elio mengiyakan ucapan orang tua itu.
Bagaimana bisa study tour membuat kami pindah dunia? Ini di luar kepalaku dari kejadian aneh yang sedari tadi aku alami, ternyata aku bukan berada di dunia yang biasa aku tempati? Hal gila ini kenapa harus aku yang mengalami? Ibu aku mau pulang.
Aku menunduk dalam, seperti anak kecil yang dibawa ke kantor polisi karena tersesat ketika bermain. "Padahal aku hanya ingin memotret bunga berwarna biru dan kuning keemasan yang aku temui di hutan."
"Bunga chisu. Bunga itu adalah gerbang dimensi. Bunga chisu tersebar di tiga tempat. Membentuk pola seperti segitiga yang saling berhubungan."
"Meski letak bunga itu berbeda-beda, dia saling terhubung. Untung saja dimensi yang kalian masuki adalah dunia kami, jika masuk ke dunia goemul aku tidak tau bagaimana nasib kalian sekarang."
"Apa itu dunia goemul?" tanyaku.
"Dunianya para monster."
"Lalu bagaimana bisa kami terdampar ke dunia ini?"
"Sepertinya ada yang sengaja membukanya. Ketiga bunga itu saling berhubungan, jika satu dikendalikan maka yang lain pun akan ikut mendapatkan efeknya meski kecil."
Aku hanya bisa melongo, demi apa pun aku tidak mengerti. Bunga chisu, dunia baru ini, duniaku, dan dunia apalah lagi itu, bagaimana bisa hal sefantasi ini benar-benar ada?
Meski aku terjebak dengan Elio. Sungguh, aku sama sekali tidak senang. Nyawaku menjadi taruhan hidup di dunia yang semuanya serba power seperti ini.
Sihir? Yang biasanya aku liat di film-film ternyata nyata adanya.
"Lalu bagaimana kami bisa pulang?" tanya Elio.
"Tidak sembarang orang bisa membuka gerbang dimensi, jika terjadi kesalahan maka akan membuat kerusakan portal yang menganggu keseimbangan tiga dimensi. Aku pernah mendengar kabar, seratus lima puluh tahun yang lalu gerbang dimensi pernah sekali oleh seseorang. Namun, aku tidak tau benar atau tidak karena orang itu tidak bisa ditemukan lagi."
Aku ingin menangis mendengar penjelasan dari tuan Devian. Berarti maksudnya kemungkinan kami keluar dari dunia ini sangat kecil? Kupandangi Elio, wajah yang biasanya tenang itu kini terlihat memikirkan hal apa yang akan terjadi setelah ini.
"Tinggallah di sini dulu, aku dan profesor yang lain akan berusaha mencari cara."
"Bagaimana kami bisa tinggal di sini? Akademi ini jelas-jelas mengajarkan sihir, tetapi kami sama sekali tidak memilikinya."
"Ada beberapa manusia yang memiliki inti sihir dalam dirinya, dan kalian berdua memilikinya. Di dunia kalian tidak ada mana sihir karena itu kalian yang tinggal di sana tidak dapat menggunakan sihir, berbeda dengan dunia ini. Setelah kalian masuk ke dunia ini, aku merasakan mana yang mengalir di dalam tubuh kalian."
"Mustahil." Elio menggeleng tidak percaya.
"Kita tidak taukan apa yang akan terjadi di masa depan?" Tuan Devian membuatku dan Elio diam.
Tinggal di sini? Belajar sihir yang jelas-jelas aku tidak memilikinya? Hidup bersama orang-orang yang bisa mengeluarkan es dari tangannya? Mengerakkan sulur hutan dengan rapalan mantra? Astaga, aku tidak ingin mati muda.
"Isi biodata kalian di kertas ini, lalu tanda tangan di bawahnya." Elio mengambil kertas itu, membacanya lalu mengisi biodatanya.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku. Bagaimana Elio bisa sepercaya ini untuk tinggal di sini?
"Mencari perlindungan dan tempat tinggal," jawabnya.
Tuan Devian tertawa. "Kau memang anak yang cerdas, Elio."
Elio memberikan kertas itu padaku. Aku menerimanya dan ikut mengisi biodata. Elio ada benarnya, hanya di akademi ini kami mendapatkan tempat tinggal gratis, daripada bertemu dengan serigala es itu lagi lebih baik aku bersama orang di sini meski aku tidak tau hal buruk apa yang akan terjadi nanti, tapi ini yang paling baik dari semua pilihan otakku.
"Selamat datang di akademi Astracapella, Elio dan Nadindra."
"Sekarang panggil aku profesor Devian karena kalian sudah sah menjadi murid di sini."
─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───
Kira-kira gimana, ya, nasib Nadin selama di dunianya yang baru? Yuk, ikutin terus petualangannya.
Jangan lupa vote dan komen🌟
KAMU SEDANG MEMBACA
A Way Home for Nadindra
Viễn tưởngNote : Bukan novel terjemahan! Ini jernih hasil pemikiran sendiri, plagiat jangan mendekat! **** Nadindra adalah murid kelas 3 SMA Swastamita Candrasila. Siapa sangka study tour yang ia ikuti malah menjadi malapetaka. Niat hanya ingin mengambil foto...