10. Undangan nikah dan coklat

26 3 0
                                    

Gadis yang tengah mengetuk-ngetukkan pena didahinya itu nampak frustasi dengan laptop yang berada didepan matanya, berulang kali ia mencoba mencerna dan menelaah namun hasilnya tetap nihil. Otaknya tidak mau bekerja dengan baik jika berhadapan dengan skripsi Sastra Asing.

"Gue mau muntah banget rasanya." Ia mengecap beberapa kali, merasakan mulutnya yang kering karena tidak diberi siraman air sejak tiga jam lalu.

Tangannya melirik pada arloji hitam kecil ditangannya, tepat pukul lima. Itu artinya ia sudah harus pulang.

Namun otaknya lagi lagi tidak bekerja dengan baik, saat membuka aplikasi ojek online sebuah lingkaran yang terus berputar tidak jelas itu membuatnya menepuk kening.

"Tolol." Gumamnya, ia mengedarkan pandangan diseluruh taman gedung fakultasnya.

"Gue balik naik apa, yakali jalan dari kampus ke kost, jadi bubur kaki gue." Ia menggaruk pelipisnya resah.

Kakak tingkat yang membantunya mengerjakan skripsi sudah lenyap dari jam empat sore, sedangkan dosennya mengabari dirinya jika tengah mengambil cuti untuk hari ini.

Hema menarik nafasnya, sepertinya ia harus rela kakinya menjadi bubur.

Langkahnya berjalan cepat, menyadari beberapa gedung sudah sepi. Apalagi dirinya berada digedung paling ujung, gedung yang jarang dipakai kelas malam, sudah pasti dijam-jam seperti ini kampus terasa sepi.

Hema sampai di pelataran parkir, ia masuk fokus mengotak-atik ponselnya hingga sebuah telpon seluler dengan nomor asing membuatnya mengerutkan kening heran.

Hema sempat mereject panggilan itu, ia memilih berjalan lagi namun belum sempat ia keluar dari area parkir ponselnya berbunyi kembali.

"Siapa sih? Ganggu banget." Hema mengangkat telpon itu dan memilih diam tidak mau bersuara duluan.

"Halo?" Suara itu, Hema membulatkan matanya.

"Siapa?" Tanyanya mencoba memastikan.

"Ah! Betulan kamu ternyata. Ini aku, Revan." Ya, Hema ingat dengan jelas siapa Revan.

Sosok yang membuat ingatan Hema terlempar kebeberapa tahun yang lalu, bayangan Revan yang selalu menghantui pikiran Hema membuat gadis itu menelan salivanya gusar.

"Oh Mas Revan, gue kira siapa."

"Haha iya ini aku, kamu lagi dimana Hem? Aku cari di kost kamu tapi kosong." Hema melotot kecil, kakinya melangkag lebih cepat dari tadi.

Gila, Revan tahu kost nya!

"Gue lagi kekampus, ini lagi jalan pulang, lo masih disana?" Hema terpaksa menyetop taksi, tidak memperdulikan jika argo yang akan melonjak sangat tinggi jika taksi itu sampai didepan gang kost nya.

"Eh iya nih, mau aku tunggu atau aku pulang aja?" Hema diam sejenak, mencoba menetralisir perasaanya.

"Tunggu, ada banyak hal yang perlu kita omongin." Revan nampak mengiyakan membuat Hema langsung memutus panggilan telpon sepihak.

Perjalannya terasa lebih cepat dari seharusnya, entah karena apa dirinya malah jadi berat melangkah, nampak seorang pria dengan balutan kemeja yang tengah duduk dikursi panjang depan kamar kost nya membuat jantung Hema ingin meloncat keluar.

"Mas Revan?" Revan menoleh, pria dengan kumis tipis dan lesung pipi saat tersenyum itu nemapakkan senyuman terbaiknya pada Hema.

"Hai, apa kabar?" Pertanyaan itu seakan hadiah paling indah bagi Hema, matanya mulai berembun dan memanas, pandangannya pada Revan pun memburam karena air mata yang nyaris tumpah.

FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang