"Dok, makasih ya," ucap Dewa."Makasih udah bohong?" Dokter Fernand menatapnya tajam. "Dewa, gegar otak yang kamu alami berisiko kalau nggak segera ditangani."
Dewa menaikkan alis. "Kata dokter nggak perlu dikhawatirin, kan?"
Fernand menghela napas, mengusap kepalanya dengan frustasi. "Tetap saja, Dewa. Memang gegar otak bisa sembuh dalam tiga bulan, tapi nggak semua orang seberuntung itu."
Dewa hanya mengangguk santai. "Dewa bakal rajin minum obat, Dok." Ia bangkit dari kursinya, bersiap meninggalkan ruangan.
Namun, langkahnya terhenti ketika Fernand kembali bersuara. "Dewa, kamu lupa satu hal."
Dewa menoleh. "Apa, Dok?"
"Tumor otakmu."
Seketika, tubuh Dewa menegang.
"Kata dokter, tumornya jinak..." suaranya melemah.
"Tidak lagi, Dewa." Fernand menatapnya penuh rasa khawatir. "Kamu lalai. Terlalu banyak stres. Tumormu sudah mencapai tingkat tiga. Sekarang sudah menjadi kanker. Kanker otak stadium tiga."
Dewa merasakan lututnya melemas. Ia kembali terduduk di kursi yang baru saja ia tinggalkan. Jemarinya mengacak rambutnya dengan frustasi.
"Umur saya tinggal berapa lama, Dok?" suaranya nyaris berbisik.
Fernand menatapnya iba. "Dewa, saya yakin kamu bisa bertah-"
"Saya tanya, umur saya tinggal berapa." Kali ini, suaranya lebih tegas, lebih penuh emosi.
Fernand menghela napas panjang. "Dewa, saya bukan Tuhan."
Keheningan menggantung di antara mereka, tapi tanpa mereka sadari, ada sepasang telinga yang mendengar semuanya.
---
"Dewa."
Sebuah suara memecah keheningan.
Dewa menoleh dan terkejut saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu. "Jaehan? Sejak kapan lo di sini? Ngapain lo ke sini?"
Jaehan menatapnya penuh emosi. Matanya berkaca-kaca. "Lo jahat, Wa. Nyembunyiin ini dari kita semua."
Dewa mengalihkan pandangannya. "Nggak, Han. Nggak gitu."
Jaehan menoleh ke Fernand. "Dewa beneran sakit kanker otak stadium tiga, yah?"
Fernand terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
Dewa menatap Jaehan dengan bingung. "Jangan bilang lo anaknya dokter Fernand?"
Jaehan mengangguk. "Iya."
Hari itu, Dewa akhirnya terpaksa bercerita. Tentang penyakitnya. Tentang rahasia yang sudah ia simpan selama dua tahun. Tentang bagaimana ia berobat diam-diam agar tidak ada yang tahu, bahkan keluarganya.
Jaehan berjanji untuk merahasiakannya.
---
Di rooftop rumah sakit, mereka duduk berdampingan. Angin malam menerpa wajah mereka.
"Han, umur gue tinggal berapa ya? Haha," tanya Dewa dengan tawa hambar.
Jaehan menghela napas. "Gue bukan Tuhan, Wa."
Dewa terkekeh. "Haha. Bokap sama anak sama aja jawabannya."
"Hahaha, ya iyalah. Kan gue benihnya," balas Jaehan, mencoba mencairkan suasana.
Dewa mengalihkan pandangannya ke langit. "Han, lo suka Aura, kan?"
Jaehan langsung terdiam.
"Siapa yang bilang?" tanyanya, pura-pura tak mengerti.
"Keliatan kali, Han."
"Hahaha. Lo bukan mau marah, kan?"
Dewa menggeleng. "Nggak. Itu hak lo buat suka sama siapa pun. Tapi gue boleh minta tolong?"
Jaehan menatapnya waspada. "Tolong apa?"
Dewa menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Pertahanin rasa suka lo ke Aura. Gue... gue mau putusin dia."
Jaehan terlonjak kaget. "Gila lo, Wa! Aura cinta mati sama lo! Lo mau putusin dia seenaknya?"
Dewa tersenyum miris. "Gue juga cinta mati sama Aura, Han. Tapi lo sendiri tau kondisi gue. Hidup gue nggak akan lama lagi."
"Siapa yang tau? Cuma Tuhan yang tau umur lo, Wa. Gue mohon, bertahan lebih lama lagi. Buat Aura, buat nyokap lo, buat Phi, ya?"
Dewa terdiam lama. Kemudian, ia menatap Jaehan dengan mata penuh permohonan.
"Gue juga mohon satu hal. Tolong jaga Aura, ya? Gue nggak pernah minta apa-apa sama lo, Han. Tolong turutin satu permintaan gue ini."
Jaehan terdiam. Ia tahu ini bukan permintaan yang mudah. Tapi melihat ekspresi Dewa, ia tak bisa menolak.
Dengan berat hati, ia akhirnya mengangguk.
---
Hari itu, Dewa keluar dari rumah sakit. Ia tidak membalas chat Aura. Bahkan, melihatnya saja tidak.
Keesokan harinya, Dewa kembali ke kampus, tapi ia tidak mampir ke warung bakso ataupun café Veno seperti biasanya. Aura masih belum mendapat balasan darinya.
"Ka Dewa kenapa sih?" keluh Aura sambil mengaduk makanannya.
"Kenapa lagi si Dewa?" Helga ikut bertanya.
"Dia nggak bales chat gue dari kemarin, coba!" jawab Aura kesal.
"Sibuk kali, dia kan kedokteran," sahut Veno santai.
"Emang iya, Ka Mika? Ka Dewa sibuk?" Aura menoleh ke Mika.
"Harusnya sih nggak terlalu. Dia kan kedokteran jiwa," jawab Mika.
"Tuh, kan! Apa jangan-jangan dia udah ketemu cewek cantik, seksi, tajir, aduhai-aduh, gimana dong?" ujar Aura lebay, menempelkan kedua tangannya ke pipi.
Veno hanya menggelengkan kepala. "Mulai deh lebaynya."
Sementara itu, Jaehan yang sejak tadi diam hanya menatap makanan di depannya.
Helga menyenggol bahunya. "Han, diem aja lo."
Jaehan tersentak. "Eh, gue kepikiran tugas gue. Udah seabrek."
Helga mendecak. "Lo sih!"
Jaehan hanya tersenyum tipis, tapi pikirannya masih melayang ke perbincangannya dengan Dewa di rooftop semalam.

KAMU SEDANG MEMBACA
SADEWA & RAHASIANYA
Teen Fiction"Perjuanganku Sudah Sampai Titik Pasrah, Tuhan" Sadewa Reethenio, seorang lelaki manis yang tumbuh dengan berbagai tuntutan dan harapan dari sosok yang ia sebut ayah. Sejak usia enam tahun, ia kehilangan orang tua kandungnya, meninggalkan luka menda...