Ryan dipanggil ke dalam usai Dira diperiksa. Istrinya itu terbaring lemah di atas ranjang. Ia tersenyum menatap suaminya dengan wajah pucat.
"Selamat, ya, Pak. Ibu Dira hamil."
"Ya, dok?"
Wanita itu tersenyum,"Istri Bapak sedang mengandung. Selamat ya, Pak, Bu~"
Ryan terperanjat. Ia menatap Dira yang tengah tersenyum dengan tak percaya."Hamil?"
"Iya, Pak. Jadi, gejala mual dan pusing tadi dikarenakan Ibu Dira sedang mengandung. Memang, kalau kandungan memasuki trimester pertama, Ibu kerap mengalami hal seperti ini. Misalnya tidak cocok atau tidak menyukai suatu jenis makanan. Itu hal yang lumrah."
"I-iya, dok." Mata Ryan berkaca-kaca. Ia ingin memeluk sang istri tapi ia malu dengan dokter tersebut.
"Karena usia kehamilannya masih muda, Ibu Dira harus mengurangi aktivitas yang berat. Makan makanan sehat dan bergizi serta minum vitamin tambahan dari dokter atau Bidan. Untuk bulan ini, saya berikan obatnya. Rumah Bapak dan Ibu di mana?"
"Desa AB, dok."
"Wah jauh sekali sampai di sini?"tanya dokter itu heran.
"Kebetulan kami sedang jalan-jalan lalu, tiba-tiba istri saya mengalami mual dan pusing. Saya kaget karena dari rumah sehat-sehat saja. Jadi, saya bawa ke sini,"jelas Ryan.
"Desa AB di dusun apa?"
"Dusun Z, Dok." Dira menjawab dari tempat tidur.
Dokter tersebut kembali terkejut."Bukankah di sana itu~jauh dari fasilitas kesehatan, ya? Jaraknya lumayan jauh dari Bidan yang ada."
"Iya, dok."
"Memangnya kenapa, dok, kalau jauh?"tanya Ryan yang memang tak mengerti.
Dokter tersebut membenahi posisi kaca matanya."Ibu hamil harus kontrol kandungannya setiap bulan di Bidan yang ada di Desa. Jadi, kita bisa memantau perkembangan bayi di dalam kandungannya. Dengan begitu, jika ada sesuatu yang tidak wajar terjadi, kita bisa menanganinya dengan cepat. Ibu hamil juga harus memenuhi kebutuhan untuk janin. Vitamin-vitamin sangat penting, jadi harus dikonsumsi setiap bulan. Vitamin bisa didapatkan saat kita kontrol."
Ryan terdiam sejenak, menatap istrinya khawatir. Ia tak mau istrinya tidak mendapat fasilitas kesehatan yang layak.
"Tapi, saya akan hubungi teman saya yang kebetulan Bidan di sana. Biasanya mereka akan mengunjungi Ibu hamil di daerah yang sulit dijangkau. Nanti mereka yang akan memberikan penyuluhan. Bapak jangan khawatir."
"Syukurlah kalau begitu, Dok." Ryan mengembuskan napas lega. Sekali pun kunjungan tersebut tidak ada, ia yang akan mencari sendiri fasilitas kesehatan yang ada di dekat lingkungannya. Setelah menerima obat dan vitamin, dan membayarnya, Ryan mengajak Dira pulang. Ia membonceng sang istri dengan sangat hati-hati. Hingga mereka tiba di rumah sudah sangat larut. Untunglah Ryan memiliki keberanian melewati jalanan sunyi tersebut.
"Kamu harus langsung istirahat." Ryan membawa Dira ke tempat tidur.
Dira menatap Ryan yang sangat perhatian itu."Kita akan punya anak,"bisiknya dengan haru.
Ryan menggenggam tangan Dira."Iya. Aku akan menjadi Ayah. Betapa bangganya aku nanti dipanggil Ayah oleh anakku. Lalu aku akan menggendong dan mengajaknya bermain."
Dira meneteskan air mata."Terima kasih karena terus memperhatikanku."
"Itu sudah kewajibanku. Mulai besok, kau tak boleh memasakkanku lagi. Anak kita harus tumbuh dengan sehat di dalam sana. Kamu pun harus sehat dan bahagia. Aku akan selalu menjaga kalian."
"Lalu kamu makan apa?"tanya Dira tak setuju. Bagaimana pun ia harus menyiapkan makanan untuk sang suami."Aku tak mungkin membiarkanmu melakukan banyak pekerjaan. Kau sudah bekerja keras."
"Kau masih lemah. Aku tidak ingin alasan dan bantahan apa pun. Kalau kubilang jangan, maka kau tidak boleh memasak dan melakukan pekerjaan rumah lainnya. Aku bisa membeli makanan di Pasar. Kau hanya perlu istirahat, makan, dan minum obat yang diberikan dokter tadi. Oh ya, kau harus minum obatnya sekarang sebelum tidur." Setelah bicara panjang, Ryan pun mengambilkan segelas air untuk Dira minum obat.
"Terima kasih." Dira sudah menelan obatnya dengan baik.
Ryan menyelimuti Dira dan mengusap-usap kepalanya lembut."Oh, iya aku harus masukkan sepeda motornya, ya. Nanti aku kembali lagi."
"Iya."
Pria itu menyimpan sepeda motor di dalam rumah. Senyumnya tak pernah lepas dari bibir sejak istrinya dinyatakan hamil. Ia ingin berteriak tapi ini sudah malam. Ia benar-benar bersyukur dengan kehidupannya. Memiliki istri yang baik dan pengertian, lalu ia akan menjadi seorang Ayah. Lalu apa lagi yang Ryan inginkan setelah ini, ia ingin memiliki pekerjaan yang layak. Dengan begitu ia akan memberikan kehidupan yang layak pula untuk anak dan istrinya.
Ia masuk ke rumah setelah memastikan semua jendela dan pintu terkunci. Ia berbaring di sebelah Dira dan memeluknya.
Pagi-pagi sekali, Ryan sudah bangun dan menyiapkan air hangat untuk Dira. Tak lama setelah itu, Dira terbangun dan mencari keberadaan suaminya.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Ryan menoleh,"ah, kau sudah bangun. Kenapa bergerak dari tempat tidur?"
"Aku baik-baik saja. Tidak ada yang sakit. Kamu ngapain?"tanya Dira sekali lagi.
"Menyiapkan air panas. Kau bisa minum air hangat atau mandi dengan air hangat."
Dira tersenyum, ia menghampiri Ryan dan memeluknya."Tak semua Ibu hamil itu lemah. Aku masih kuat dan aku akan menyesuaikan dengan kondisiku."
"Baiklah. Tapi, tetap saja kau harus nurut denganku." Ryan membawa Dira duduk di ruang tamu dengan alas duduk yang sudah disiapkan."Kamu di sini saja menatap pemandangan luar. Menghirup udara segar. Aku ingin membeli makanan. Ada yang kamu inginkan?"
"Jajanan pasar."
Ryan mengangguk."Aku pergi sekarang, ya. Kebetulan motor Pak Mahmud ada. Jadi, aku bisa kembali dengan cepat."
"Hati-hati, ya."
Dira mengantar Ryan sampai ke teras rumah. Ia menatap sekeliling dengan peŕasaan tenang dan nyaman. Ia mengusap perutnya yang masih rata. Ia tersenyum dan memekik pelan."Kamu harus kuat di dalam sana, ya. Ayahmu sedang berusaha keras untuk membahagiakan kita."
Dira bersenandung pelan seolah-olah sedang menyanyikan untuk sang buah hati, padahal kandungannya masih begitu muda. Tapi, inilah perasaan wanita yang tengah bahagia atas kehamilan pertamanya. Ia dan lelaki itu sudah memiliki ikatan yang kuat. Tidak ada yang bisa memisahkan mereka.
Dira melihat jarinya yang berisi cincin. Ia melepasnya sejenak dan menimangnya. Ia memperhatikannya secara detil. Selama ini, ia hanya sekadar memakai dan mengagumi keindahannya. Keningnya mengkerut saat melihat ada goresan di bagian dalam cincin.
"Apa itu? Apa tergores?" Dira memerhatikan dalam-dalam,"apa itu?" Dira menyipitkan matanya. Karena masih sedikit gelap, ia tak bisa melihatnya dengan baik. Ia pergi ke dekat lampu dan melihat bagian dalam cincin dengan baik.
Jantungnya seakan ingin berhenti berdetak. Di dalamnya tertulis nama 'Banyu & Nirmala'. Hati Dira berdenyùt. Berarti benar, pria dalam potongan majalah itu adalah pria yang bersamamya. Pria itu bernama Banyu. Lalu, dia memiliki pasangan, mungkin saja mereka akan menikah. Lalu, wanita itu bernama Nirmala.
Kaki Dira terasa lemas. Ia harus bersandar di dinding untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Apa yang harus ia lakukan. Mungkinkah kebahagiaan ini akan segera berakhir. Dira menggeleng, ia tidak boleh terlalu memikirkan hal yang tidak terjadi. Ia baru saja merasakan hal yang bahagia. Ia akan mempertahankan kebahagiaannya ini bersama pria itu.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
ISTRI RAHASIA
RomanceSatu hari sebelum hari pernikahan, Ryan meninggalkan surat pembatalan penikahan untuk Dira. Merasa marah dan frustrasi, Dira ingin bunuh diri. Karena jika pernikahan ini gagal, ia akan dinikahkan paksa dengan Duda tua di Kampungnya. Saat ingin bunuh...