Aku ngemis vote plus komen ke kalian, please banget jangan silent readers, menyakitkan tahu🥲
Happy reading, scene aman kok buat dibaca pas puasa, selamat menunaikan Ibadah Puasa bagi yang menjalankan!
----Kemeja kusut dan ditambah wajah yang jauh lebih kusut itu membuat wanita disampingnya menahan senyum meremehkan, sekertaris Gandi sudah hafal betul jika bos nya ini sedang menyimpan banyak hal, tampak dari penampilan kusutnya yang tidak seperti hari hari biasa, tetap segar walaupun sudah sore hari begini.
"Ada baiknya Bapak berbenah dulu Pak." Ujarnya, sambil melingkari wajahnya sendiri dengan telunjuk untuk mengkode Gandi soal wajah kusut pria itu.
Gandi menarik nafasnya, menyugar rambut dan mengusap wajahnya sambil memejamkan mata. Pria itu menoleh kembali dengan senyum super dermawan dan membuat sang sekertaris mengangguk.
Keduanya keluar dari mobil, berjalan beriringin menuju restoran yang memang sudah di pesan kolega itu.
Kakinya melangkah menuju seorang pria dengan stelan kemeja juga didepan sana yang tengah berkutat dengan ponsel ditangannya.
"Permisi? Apakah dengan Bapak Revan?" Pertanyaan sekertarisnya membuat Gandi yang berdiri langsung menoleh, diamatinya wajah yang tengah tersenyum ramah itu membuat bola matanya membesar.
"Benar, dengan Ibu Niara?" Sekertarisnya itu mengangguk sekali lalu menarikkan kursi untuknya duduk.
Gandi masih mengamati lekuk dari Revan, cukup berwibawa sekali memang pria didepannya ini, rasanya pantas jika Hema menangisi pria ini hingga sebegitunya.
"Baik bisa kita mulai pembahasannya?" Ucapan Revan mambuat Gandi kembali pada kenyataan, pria itu tersenyum dan mengangguk.
Pembahasan mereka cukup alot, banyak pertanyaan yang Gandi lontarkan untuk pria didepannya itu, bahkan pertanyaan yang sedikit terlalu dalam di awal pertemuan Gandi lontarkan, membuat sang sekertaris hanya menggeleng pelan akan tingkah laku bosnya.
"Pak, cukup." Niara mencegah Gandi untuk kembali bertanya, poin poin yang sudah dirinya catat sudah dijawab tuntas oleh Revan.
Gandi terdiam dan mengangguk singkat, dirinya menerima sodoran tablet dari Niara dan mulai mencermati satu persatu, nyaris pertanyaannya memang terjawab semua.
"Bagaimana Pak?" Gandi mendongak, menatap Revan dengan wajah menerawang.
"Baik, saya setuju." Senyum Revan kian mengembang, pria itu mengulurkan tangan untuk berjabatan dengan Gandi dan dibalas secara sukarela oleh pria itu.
"Ayah saya pasti akan sangat merasa tersanjung karena perusahaan anda menerima tawaran kerja sama dengan perusahaan kami." Gandi tersenyum formal, bibirnya padahal ingin melemparkan pertanyaan yang lebih pribadi dari ini.
Gandi menoleh, menatap Niara yang tengah menutup berkas berkas dimeja. Pria itu menyodorkan kunci mobil yang berada digenggamannya pada sang sekertaris.
"Kamu pulang saja bawa mobil saya, ada hal yang perlu saya tanyakan secara pribadi dengan klien kita ini." Revan menatap bingung pada Gandi yang tengah mengobrol dengan Naira.
"Oh? Baik Pak." Naira meraih kunci itu dan berpamitan pergi menyisahkan dua pria yang berpandangan canggung.
"Hal pribadi apa yang perlu Pak Gandi tanyakan?" Gandi cukup diam lama, helaan nafas membuat Revan melunturkan senyumnya.
"Hema, kamu kenal dia'kan?" Pertanyaan Gandi sukses mengembalikan senyum Revan.
"Tentu, dia dulu adik tingkat saya di kampus, dua tahun dibawah saya." Gandi mengangguk, rupanya Revan adalah kakak tingkat Hema.
"Maaf jika mengganggu urusan pribadi kalian atau urusan pribadi anda." Revan menaikkan alisnya lalu mengangguk.
"Tentu, silahkan ditanyakan jika ada yang perlu ditanyakan." Ujar Revan sambil membenarkan posisi duduknya lebih santai.
"Anda pernah ada hubungan dengan Hema?" Revan mengerut lagi, dirinya menggeleng pelan.
"Tentu tidak, kamu hanya sebatas kakak-adik tingkat saja. Tapi kebetulan saya memang sering keluar bersama, kadang Hema yang ikut saya atau sebaliknya." Gandi mengangguk kecil atas penjelasan itu.
"Anda akan menikah sebentar lagi?" Revan mengangguk samar.
"Ya, benar sekali."
"Begini, saya rasa hubungan anda dengan Hema dulu, membawa gadis itu pada perasaan yang lebih dari sebatas teman." Pupil mata Revan membesar, pria itu terkejut.
"Lebih dari teman bagaimana? Pak Gandi ada hubungan apa dengan Hema? Bagaimana bisa Bapak tau soal Hema?" Revan menatap serius pada Gandi, laki laki yang lebih tua darinya.
"Saya, saya calon Hema." Kini mata Revan membola sempurna sedangkan Gandi tengah merutuki kebodohannya.
"Astaga, begini Pak. Demi Tuhan saya dengan Hema tidak pernah ada apa-apa bahkan lebih dari temanpun tidak." Revan mencoba menjelaskan membuat Gandi mengangguk mempersilahkan.
"Kami dulu hanya sebatas teman biasa, saya mengenal Hema karena dulu dia Maba yang sempat di olok-olok oleh beberapa teman saya, dan saya kurang terima karena itu termasuk kategori buli." Gandi diam menatap lamat pada Revan.
"Dari situ, saya kerap kali bersama Hema dan Salwa, satu satunya teman Hema selama ngampus. Saya dan Hema satu fakultas sedangkan Salwa itu difakultas Pemerintahan."
Gandi mengangguk, teori Hema yang tau kenarsisan Naren terungkap juga.
"Bahkan setelah saya ada disemester akhir saya memutuskan untuk memacari calon istri saya sekarang Pak, dan saya tidak pernah terlibat hubungan apapun dengan Hema." Gandi mengangguk.
"Ada lagi?" Tanyanya, Revan nampak terdiam sebentar.
"Saya tau perasaan Hema, tapi saya berani bersumpah jika saya tidak memiliki rasa yang sama, dan saya tidak pernah menjalin hubungan dengan dia."
"Kemarin saya sempat ke kost dia untuk memberi undangan pernikahan, saya rasa dia hampir menangis tapi saya berusaha mencoba apatis, saya hanya tidak mau Hema semakin suka pada saya. Maaf Pak jika saya membuat Hema menyukai saya." Gandi terdiam, menatap Revan yang menunduk merasa bersalah.
"Tidak apa-apa, saya hanya heran saja kemarin dia menangis sepanjang maghrib. Sedangkan yang saya temukan hanya undangan pernikahan anda yang dia genggang erat, dia tidak mau memberitahu saya apapun, tapi Tuhan begitu baik sampai-sampai saya dipertemukan langsung dengan anda." Revan tersenyum tipis atas penuturan Gandi.
"Ada hal lain yang bisa saya tanyakan soal Hema pada anda?" Revan mengangguk ragu.
"Mungkin terkesan aneh, tadi saya berkata Hema adalah calon saya tapi saya terkesan tidak tau apa-apa. Memang benar, gadis itu tertutup untuk masa lalunya."
Revan mengangguk sekilas, "Pak Gandi sudah tau soal Hema yang nyaris dilecehkan teman laki lakinya saat SMA?" Gandi terdiam sebentar lalu mengangguk.
"Ya, tapi saya hanya sebatas tau hingga dia kecelakaan." Revan mengangguk paham.
"Perlu saya beritahu cara Hema dekar dengan laki laki setelah kejadian itu, Pak?"
"Tentu jika tidak merepotkan."
"Baik, Hema sempat cerita ini kepada saya saat salah satu teman saya mencoba mendekati dia, dia bilang Aku gak bisa deket sama cowok, aku takut. Dan memang benar, banyak laki laki yang dulu mengajak Hema kencan, dan pasti saya dan Salwa menemani dari jauh."
"Hema trauma berat sepertinya, tapi itu dulu ditahun awal kuliah, tapi untuk tahun kedua gadis itu sudah sedikit berani, bahkan yang saya dengar sekarang Hema seorang penulis yang kontrak dengan penerbit besar." Gandi mengangguk.
"Informasi yang luar biasa Pak Revan, saya sangat berterima kasih sekali. Tapi boleh saya meminta satu pertolongan?"
Revan tersenyum dan mengangguk, "Dengan senang hati Pak."
"Tolong, bilang pada Hema bahwa anda tau perasaan gadis itu. Dan izinkan saya hadir diacara pernikahan anda."
KAMU SEDANG MEMBACA
Future
ChickLit(17+/18+) Penulis itu menciptakan alurnya, berbaur dengan pembacanya dan menikmati karir yang tengah ia raih. Sama seperti Hema, perempuan cantik yang merangkap menjadi Mahasiswi dan penulis itu sangat amat menggandrungi alurnya sebagai penulis. Nam...