5. I'm Coming

654 97 11
                                    

Please, kindly leave a vote and comments. Thank you! Happy reading 🎀❤






"Argggh!" Ezra menggeram marah. Secarik kertas di tangan kanannya sudah remuk seiring mengerasnya tangan Ezra menggenggam.

BRAAK!!

Ezra berdiri dan menggebrak mejanya dengan keras. Membuang jauh-jauh kertas itu. Matanya yang sudah memerah menatap tajam kearah seorang wanita yang berdiri tak jauh dari mejanya. Badan wanita itu sudah bergetar ketakutan. Raut wajahnya nampak meredup, kepalanya tertunduk.

"Kamu jangan permainkan saya, Ara!" Ezra menunjuk wanita itu. Urat di tangan dan lehernya sudah nampak jelas seiring meningginya amarah Ezra.

"B-beneran, Pak. Saya.. Saya udah berjam-jam nyari, bahkan di bantu sama sodara saya dan k-koneksi sayang. T-tapi.. Tapi hasilnya sama, Pak. Bu Rose memang sakit." Nada Ara yang merupakan sekretaris Ezra terdengar bergetar.

Ara benar-benar kelelahan karena dipaksa lembur selama 2 hari kebelakang untuk mencari informasi seputar Roseanne, salah satu rekan kerjanya. Juga dibantu oleh beberapa kenalannya dari beberapa bidang tertentu. Hari ini, kali ke-empat Ara menghadap Ezra untuk memberi hasil 'penyelidikannya'. Namun yang ia dapat tetap sama. Roseanne benar-benar sakit sejak 5 tahun lalu, 2 hari ini ia benar-benar sakit, dan dokter yang menangani Roseanne adalah dokter sungguhan.

Ezra menggelengkan kepalanya. "Dokter ini pasti palsu! Kalaupun bukan palsu, pasti diagnosisnya keliru atau diagnosis itu palsu!" Ezra meyakini kalimatnya.

Ara menggeleng patah-patah. "Diagnosis itu benar, Pak. Bahkan saya dan beberapa teman-teman lain pernah bahkan sering lihat Bu Rose meminum obatnya. Dan itu nggak sekali-dua kali."

"Kan bisa aja itu hanya vitamin!" Ezra berbicara dengan nada tinggi. Tubuh kecil Ara sedikit tersentak, terkejut. Ara kembali mengatupkan mulutnya.

Meski se detail apapun informasi yang sudah ia dapat berhari-hari kebelakang, Ezra masih tidak percaya. Ini aneh sekali, pikir Ezra. Roseanne bukan orang yang lemah. Dengan semangatnya yang tinggi, jiwanya yang menggebu setiap membahas kesetaraan manusia baik ketika mengobrol berdua, dengan orang lain, maupun buku-bukunya. Tidak mungkin Roseanne bisa mengidap depresi!

Depresi? Aneh sekali. Pasti hanya stress biasa, bukan? Semua orang pernah mengalaminya. Atau sedih berkepanjangan karena belum move on dari kisah mereka dahulu? Itu lebih masuk akal. Tapi sampai depresi? Tidak mungkin. Lagipula, saat kejadian hari itu, Roseanne juga terlihat menikmatinya kok. Ezra yakin itu.

"Keluar! Cari informasi seputar dokter Johnny atau siapalah itu namanya. Bawa informasi yang logis dan akurat! Jangan asal seperti kemarin-kemarin. Cepat!" Bentak Ezra.

Ara mengangguk, segera lari pontang panting meninggalkan ruangan Ezra sebelum nyawanya di ujung tanduk. Baru 3 hari menjabat menjadi direktur, namun sifat Ezra dengan mudah bisa ditebak. Tempramental. Egois. Otoriter.

Ezra kembali duduk, mengatur ritme nafasnya agar menjadi tenang. Matanya kembali menatap monitor. Senyum tipisnya terukir, nafasnya seketika tenang kala manik matanya mendapati sebuah foto di sana. Foto Roseanne bersama Arlo dengan pakaian serba merah dan topi sinterklas tengah tersenyum lebar. Di bagian belakang Roseanne dan Arlo, terlihat sebuah pohon natal lengkap dengan kado-kado di bawah pohon dan ornamen khas natal menggantung.

Itu adalah foto yang Ezra ambil dari laman sosial media milik Roseanne. Foto yang membuat Ezra memutuskan untuk kembali ke hidup Roseanne, juga foto yang membuat amarah Ezra meletup-letup. Benar, foto itu tidak hanya satu yang Roseanne unggah. Pada foto selanjutnya, terdapat foto Roseanne, Arlo, juga Jeffrian tengah tersenyum lebar. Berpose bak keluar kecil yang bahagia. Tidak ada kalimat berarti yang Roseanne tulis. Hanya satu emotikon, yaitu emotikon berbentuk hati. Seketika itu Ezra sadar, seharusnya dia yang di sana. Bukan si Jeffrian brengsek itu.

"Sebentar, " Ezra menyeringai, teringat satu hal. Tangannya terulur mengambil ponsel, menekan-nekan layar, menelepon seseorang. 

"..."

"Jeffrian Radeva Mahatma. Sore ini."

"..."

"Oke. Toleransi besok pagi pukul 5 pagi. "

"..."

Ezra menggeleng. "Tidak. Pukul 5 pagi atau keluargamu-"

"..."

Ezra menyeringai puas. Menutup panggilan secara sepihak.

KRIING!!!

Sebuah dering terdengar. Ezra segera melihat ponselnya, menekan tombol berwarna merah di layar.

"My son, i'm coming."

°°°°°

*****

Huhu maaf ya, udah lama update, setiap update pendek-pendek. Aku mau bikin book ini berjalan sebaik mungkin, jadi setiap chapter aku pikirin baik-baik sebelum di up. Huhu sorry again😭

Uh, satu lagi, namanya Ezra, ya guys! Bukan Enzo. Tadinya aku sempet bimbang antara kedua nama itu, tapi memutuskan untuk pakai nama Ezra aja.

In case kalo ada yang bingung di part 2 namanya Enzo tapi part selanjutnya namanya Ezra. Hehehe

Cerita BahagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang