"Jika Paradigma adalah rumah kedua gue, maka Ylber adalah rumah gue yang kedua setengah,"—Alvaro Ganesha Tristanio.
KETIKA mobilnya berhasil berhenti di pelataran rumahnya, Alvaro tak bisa menahan decakan yang muncul dari bibirnya begitu matanya menemukan ada mobil lain terparkir di halaman rumahnya.
Ia tahu betul milik siapa mobil Jazz berwarna marun tersebut. Makanya dengan malas, Alvaro melangkahkan kaki memasuki pintu rumahnya sebelum menemukan si pemilik mobil tadi tengah bercengkerama mesra dengan sang ayah di dapurnya.
"Ah, kamu sudah pulang Al," sapa sang ayah ketika Alvaro baru saja akan menaiki anak tangga menuju kamarnya. "Papa sama Jolene lagi bikin steak dan pasta, wanna come down and join us for dinner?"
Tentu saja, dengusan tak suka seketika lepas dari mulut Alvaro. Ketika sang ibu belum genap satu tahun meninggalkan mereka, sang ayah sudah bisa dengan mudahnya membawa si selingkuhan—yang notabenenya tersangka utama penyebab sang ibu sakit dan meninggal—ke rumahnya tanpa sedikitpun rasa malu.
"Makasih, tapi Alvaro mau keluar malam ini," ucapnya seraya menatap jijik perempuan berambut sebahu di samping sang ayah. "Dan oh, minggu depan adalah peringatan satu tahun kepergian Mama. Kita ke makam berdua, jadi Papa jangan sampai lupa, ya?"
Puas melihat raut Jolene yang berubah setelah kalimat terakhir yang diucapkannya, Alvaro memilih segera menaiki anak tangga dan menuju kamarnya. Tak ada gunanya ia terus melihat perempuan yang lebih cocok dipanggilnya 'kakak' itu bergelayut manja di leher ayahnya sementara foto sang ibu masih tergantung tak jauh dari sana.
Menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur, Alvaro merogoh ponsel yang sejak tadi tersimpan di saku celana jinsnya. Ini malam Minggu, dan dia tak ingin berdiam saja di rumah ketika sang ayah sedang bermesra-mesraan dengan selingkuhannya di dapur rumahnya. Terlebih, beberapa hal yang terjadi di kampus belakangan ini juga membuat kepalanya terasa penat. Teman-temannya pun, pasti sedang sibuk dengan pasangannya masing-masing.
Gue butuh perlarian, Alvaro menggusak rambutnya. Atau setidaknya, segelas whiskey.
Maka tanpa berpikir lebih lama, Alvaro bangkit dan mulai melepas satu persatu pakaiannya. Membiarkan suara Hyde yang melantunkan Honey setelah ia menekan tombol di ponselnya, ia melenggang ke kamar mandi dengan riang.
Dia punya satu tujuan setelah mandi nanti.
YLBER terletak di bagian terujung kawasan Utara. Sejak masuk kuliah, Alvaro sering melarikan diri ke tempat ini jika ayah dan ibunya mulai bertengkar. Dalam bahasa Albania, Ylber berarti pelangi. Dan seperti namanya, Ylber adalah sebuah bar berkonsep sea side yang menjadi markas besar komunitas LGBTIQ+ di Ibu Kota..
Jarum pendek di arloji Alvaro baru saja menunjuk angka setengah sepuluh ketika pemuda itu berhasil memarkirkan mobilnya di pelataran Ylber. Merapikan rambut melalui kaca di atas kemudi, ia lantas membuka pintu dan membiarkan cahaya neon yang membentuk tulisan Ylber berkedip-kedip membiasi wajah tampannya.
Alvaro tersenyum. Seperti biasa, Ylber selalu ramai di malam Minggu.
Mengabaikan beberapa lelaki yang nampak menatapnya dengan tatapan haus, Alvaro memilih mengayunkan langkah memasuki pintu masuk yang dijaga dua petugas berbadan besar. Usai dengan pengecekan singkat, pemuda itu membawa kedua kakinya menuju bar.
"Lihat siapa yang kembali ke sini setelah berabad-abad lamanya menghilang!"
Seorang bartender berambut keriting dengan singlet berwarna hitam membalut tubuh atletisnya segera menyapa begitu Alvaro berhasil mengempaskan pantatnya ke atas stole tinggi di depan meja bar. Keduanya melakukan toast singkat, sebelum kemudian saling tertawa seakan dua sahabat yang sudah lama tidak berjumpa. "Apa kabar lo, Ro?"
"Not really well, No," jawab Alvaro kepada laki-laki blasteran Jerman bernama Bruno itu. "Seperti yang sering gue ceritain, college life is sucks!"
"Suck tapi itulah salah satu syarat biar lo bisa kerja enak dengan gaji gede," timpal Bruno sembari sibuk dengan peralatan bartendernya.
"Well," Alvaro mengedikkan kepala, "kenyataan emang seringkali kayak kacrut!"
Bruno tertawa sekilas, kemudian menyodorkan segelas tinggi minuman yang dihiasi potongan delima dan daun mint yang baru saja selesai dibuatnya.
"Apa ini?" tanya Alvaro mendapati minuman yang belum pernah dilihatnya itu.
"Resep rahasia terbaru," bisik Bruno. "I call it, Satan's Blood. Kalau lo suka, lo boleh bayar. Tapi kalau nggak, lo juga harus tetap bayar."
Setengah tertawa menanggapi candaan sang bartender, Alvaro mencelupkan ujung sedotan ke dalam minuman di hadapannya. Ia menyesapnya sebentar, sebelum kemudian bergidik karena rasa alkohol yang begitu kuat menyentuh lidahnya.
"How's that?" tanya Bruno yang kini nampak melipat kedua sikunya ke atas meja dengan antusias. Seolah ia adalah ilmuwan yang baru saja memperlihatkan temuan terbarunya.
"Too strong," komentar Alvaro. "Tapi gue suka sama kombinasi pomegranate sama mint-nya. Seksi."
Bruno mengangkat telunjuk di atas kepalanya. "Gue mixologist terbaik yang pernah dimiliki Ylber, Alvaro Ganesha Tristanio. You should remember that."
Keduanya lantas tertawa di antara musik trance yang perlahan terdengar memenuhi seisi ruangan. Memutar stole yang didudukinya, Alvaro kemudian menyebarkan pandangan ke segala penjuru ruangan. Di kejauhan, nampak orang-orang yang kini mulai menggerakkan tubuh seirama musik yang terus berdentum. Di sisi lain, beberapa pasangan juga terlihat saling mencumbu dan merayu di tengah guyuran cahaya berkelap-kelip.
Alvaro mengangkat salah satu sudut bibirnya. Menemukan beberapa lelaki yang entah kapan pernah ditemuinya melambaikan tangannya. Jujur saja, Alvaro bukan tipe laki-laki gay yang bisa dengan mudah mengenali seseorang tanpa sesuatu yang berkesan di pertemuan mereka. Jika dia tidak ingat siapa lelaki di hadapannya, maka sudah jelas bahwa tak ada kesan ketika mereka berjumpa.
Seorang laki-laki berkepala nyaris pelontos nampak memamerkan tato tribal di lengannya, namun Alvaro mengacuhkan karena dibungkus bukan tujuannya ke Ylber malam ini.
Tadinya, Alvaro ingin bangkit dan bergabung dengan orang-orang yang kini memenuhi dance floor karena musik yang diputar semakin memanas. Namun tiba-tiba, kedua matanya menangkap satu sosok yang begitu familiar.
"You gotta be kidding me!"
Sekitar lima ratus meter dari tempatnya duduk, sosok paling menyebalkan di kampus Persada Sakti sedang asyik berciuman dengan dua laki-laki berpostur besar yang mengenakan kemeja berwarna putih. Awalnya, Alvaro berfikir matanya hanya salah mengenali setelah tadi dia menenggak alkohol yang diberikan Bruno. Namun kemudian, setelah memastikan bahwa penglihatannya tak bermasalah, pemuda itu benar-benar yakin bahwa sosok tersebut adalah Satya Samudera yang begitu dibencinya.
"Oh-ho! Sepertinya, sebuah permainan seru baru saja akan dimulai."
Dengan senyuman culas, Alvaro bangkit dari stole yang didudukinya sebelum membawa langkah mendekat ke arah sofa panjang di mana Satya dan dua laki-laki berwajah asing semakin ganas berciuman.
Kurang dari sepuluh meter, Alvaro kini mampu menangkap jelas adegan yang terjadi di hadapannya. Berada di antara dua laki-laki yang kini mengecup dada dan mempereteli kancing kemeja miliknya, Satya nampak begitu menikmati perlakuan dua laki-laki tersebut.
Mereka pasti mabuk berat, gumam Alvaro ketika menemukan botol-botol alkohol yang kini berserakan di atas meja.
Kemudian, Alvaro memilih mengambil duduk di sebuah kursi beberapa meter di seberang Satya.
Diam-diam, tangannya merogoh ponsel yang sejak tadi geming di dalam sakunya, sebelum kemudian menekan tombol rekam di layarnya.
Alvaro tersenyum lagi.
Jika ini sampai ia sebarkan, berani taruhan, Persada Sakti akan heboh.(*)
KAMU SEDANG MEMBACA
CHASING THE PROFESSOR
RomanceAlvaro Ganesha Tristanio kelabakan! Bagaimana tidak? Setelah dua semester lalu sang dosen begitu senang mengacak-acak nilainya, semester ini pun rupanya sama saja. Hanya karena dia sering absen kuliah karena ngeband, sang dosen yang bernama Satya S...