Rasa Bersalah

11 4 0
                                    

           

           "Daisy, kamu diskors berapa hari?" Sebenarnya bukan saat yang tepat untuk membicarakan hal ini. Apalagi hari ini di rumah Cetta, Cetta mengadakan acara ulang tahun sederhana.

Daisy yang sibuk dengan kamera handphonenya sejenak berhenti. Menatap Naury. "Lima hari." Cewek itu akhirnya melanjutkan memotret. Sebagai pengguna instagram sepuluh ribu pengikut, terkadang juga Daisy narsis di saat-saat tertentu.

Di acara ulang tahun yang serba hitam-putih yang undangannya hasil ngeprint sendiri oleh Cetta, bahkan kuenya hasil buatan collab dengan Naury. Lebih tepatnya Cetta bagian komentar rasa doang sih. Yang hadir di sana hanya Naury, Daisy, dan Aluna saja. Tadinya Cetta memang berpikir untuk mengundang semua anak kelas, bahkan dia sudah mempersiapkan semua undangannya tapi tidak jadi. Terlalu ramai membuat Cetta sesak.

Cetta menggenggam korek api di tangannya. "Mama gak datang-datang sih." Gadis itu menghembuskan napas gusar. "Tadi katanya udah di bandara."

"Tadi itu kapan?" Naury bertanya.

"Tadi pagi. Mama bilang lagi OTW di bandara, apa gue hubungi lagi aja ya biar gak nunggu lama?"

Teman-teman Daisy hanya mengangguk. Cetta mengambil handphone dan menghubungi Wila ibu kandung Cetta yang sudah hampir lima tahun tinggal di luar negeri untuk bekerja. Sehari-hari dia hanya tinggal dengan Papa dan Mama tirinya yang baik. Mama tirinya yang selalu menyuruh Cetta membawa croissant atau roti ke sekolah.

Cetta menunduk dalam, nomor Cetta lagi-lagi di blokir sang mama. Gadis itu menatap semua teman-temannya yang menatap kasihan. Pembohong, pemberi harapan palsu. Harusnya dari awal, Cetta tidak percaya pada siapapun termasuk Wila. Padahal bukan kali ini saja Wila berjanji untuk pulang dan tidak ada yang ditepati sama sekali.

Tepat pada pukul tujuh malah, Papa dan Ibu Tiri Cetta baru saja pulang bekerja. Mereka sempat terkejut melihat ramainya rumah mereka sekarang. "Wah Cetta, kamu cuma undang segini doang? Harusnya kabarin kami dong kalo mau rayain biar kita bikin acara yang gede." Ibu tiri Cetta bernama Visha. Seorang desainer baju meski merk-nya belum terlalu terkenal di Indonesia.

Cetta tersenyum kikuk. "Gak apa-apa Ma."

Visha dan suaminya duduk di antara mereka. "Ayo mulai aja, kalian nunggu siapa lagi?"

Ketiga teman Cetta merasa canggung. Akhirnya dengan berat hati, Cetta menyalakan lilin angka 16 dengan korek. Mematikan lampu.

"Buat permohonan dulu." Papa Cetta melipat tangannya diikuti seisi orang di sana. Membuat permohonan. Tanpa terasa dalam kesunyian itu, air mata Cetta sudah mengalir di pipi. Seharusnya dia tidak perlu memaksa Wila untuk datang. Seharusnya dia tidak merasa kurang dari hidupnya ketika Tuhan sudah memberikan keluarga yang utuh untuknya. Seharusnya dia mencoba menerima keputusan Papa ketika menikah lagi.

Seharusnya dia bisa bersikap lebih baik lagi kepada Visha. Dan seharusnya-seharusnya lain memenuhi kepala.

Lilin itu padam, dan lampu menyala.

"Kayaknya ada yang kurang?" Visha menatap satu-persatu teman Cetta yang datang hari ini. "Kemana Fuschia?"

Cetta tidak ingat sejak kapan Visha bisa hapal nama teman-temannya. Padahal baru satu dua kali sempat bercerita sedikit. Itupun sudah lama sekali.

Daisy yang menjawab, "Mereka lagi berantem, Tan."

Cetta rasanya ingin menjitak kepala Daisy yang malah menjawab terlalu jujur. "Gak kok Ma," sergahnya. "Kami baik-baik aja tuh."

"Tidak, Tan. Cetta berantem sama Fuschia karena cowok!" adu Naury tak kalah mengompori. Sedangkan Aluna sedari tadi hanya diam, bingung mau ngomong apa.

Sunflowers In The Grass (tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang