Kalau bukan karena ulang tahun Oma, sudah pasti aku memilih pulang lebih malam agar terhindar dari macet. Aku tipe orang yang tidak bisa menikmati kemacetan, deretan mobil yang bergerak sangat lambat dengan mudah memicu hormon stress ditubuhku. Itu sebabnya biasanya aku memiih lembur karena pulang lebih awal tidak memungkinkan untuk kantorku yang memiliki sistem absen yang ketat.
Setelah hampir tiga puluh menit akhirnya aku bisa meloloskan diri dari kemacetan yang pasti terjadi di rush hours kota megapolitan ini. Jika biasanya aku cukup menempuh 20-30 menit untuk sampai di rumah, maka hari ini, dijam pulang kantor ini, aku menghabiskan waktu hampir satu jam lamanya. Melelahkan, tapi mau bagaimana lagi. Macet sudah seperti menjadi budaya di kota ini.
Tiba di halaman rumah dengan mobil Oma Opa yang sudah terparkir dengan rapi, aku megambil paper bag di kursi belakang sebelum turun dari mobil. Sambil mengecek isi tas kerjaku, memastikan tidak ada barang yang tertinggal, kemudian aku menutup pintu mobil.
"Bawa kado apa lo?"
Otomatis tubuhku berjingkat kaget dan hampir mengumpat atas kemunculan Alga yang tiba-tiba sudah berjalan di belakangku. "Lo bisa nggak sih kalo jalan itu ada suaranya."
"Kuping lo aja yang congek."
"Jangk**k."
"Mulut lo Re, ibu gue denger bisa dirujak lo seharian."
"Ya maaf, keceplosan. Lo kapan balik. Kok nggak ngabarin gue."
"Harus banget yang gue lapor ke elo?"
Aku menoleh sekilas pada Alga yang berjalan beriringan denganku memasuki pintu utama, memasang wajah sedih yang jarang aku tunjukkan kecuali saat bersama sahabat masa kecilku itu.
"Kan gue kangen main sama lo, Ga. Belakangan ini lo makin jarang pulang. Udah gitu tiap gue telpon mau cerita panjang, lo-nya pasti buru-buru pengen nutup telpon. Gue jadi sebel."
"Maaf ya."
Hanya dua kata itu yang dilontarkan Alga untuk merespon kalimat panjangku. Selanjutnya, pria yang kukenal sejak berumur sepuluh tahun itu memeluk bahuku, mengusap ujung kepalaku sambil sedikit mengacak-acak rambutku, gesture yang entah sejak kapan bermula namun berhasil membuat perasaanku kembali menghangat.
"Gue heran kenapa Oma selalu ngundang lo diacara keluarga gue ya, Ga." Masih dengan rangkulan Alga, gue menghentikan langkah menuju taman belakang rumah tempat keluarga kecilku mengadakan BBQ party. Kubilang keluarga kecil karena hanya ada Papa, Mami, Oma, Opa, Yangkung, dan Yangti. Para orangtua itu, aku tidak mengerti kenapa setiap tahun selalu melakukan ritual makan malam di rumah kedua orangtuaku sehari sebelum perayaan birthday party yang sebenarnya diadakan di ballroom hotel.
"Kenapa lo nggak tanya langsung ke Oma?"
"Oma selalu jawab, biar aku punya temen."
"Yaudah berarti itu jawabannya. Sejak dulu kan tugas gue nemenin lo."
Aneh, kenapa nada bicara Alga jadi sewot begitu. Pasti lagi banyak tekanan pekerjaan, atau tekanan hidup? Ah Alga memang kadang bisa menjadi begitu sensitif kayak pantat bayi.
"Rere, Alga, kesini dong nak. Kok malah berdiri disitu."
Alga melepas rangkulan tangannya dibahuku, berjalan lebih dulu menghampiri Yangti yang pertama menyadari keberadaan kami. Seperti biasanya, sahabat yang paling dekat denganku itu memberikan pelukan hangat untuk perempuan yang telah melahirkan ayahku, kemudian berlanjut ke yang lain. Disusul aku yang juga melakukan hal yang sama. Namun paling lama saat memeluk Oma yang tepat hari ini berusia tujuh puluh empat tahun.
"Kenapa Oma selalu menolak kalau Rere mau ngajakain Arsyad, tapi sangat memaksa Alga untuk datang?" Pertanyaan itu terlontar saat Alga sudah sibuk membuat steak bersama Papa dan Yangti. Sedangkan aku menemani Oma menyiapkan tusukan berbagai sate yang nanti akan dibakar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Okay, We're Married on July
General FictionAku tidak pernah merasa seputus asa ini sepanjang 29 tahun hidupku. Mungkin ini adalah alasan Tuhan menciptakan manusia bernama Mauren Tedjasukmana. You know, katanya apapun yang Tuhan ciptakan itu tidak ada yang sia-sia, semua punya tujuan. Bahkan...