Gadis dengan balutan cardigan merah hati itu bergerak gelisah dikursinya, secangkir kopi susu yang mulanya mengepulkan asap kini sudah mendingin, sedangkan percakapan belum dimulai sejak pria dihadapannya itu sampai di kafe yang mereka tentukan untuk bertemu.
Rasa tidak nyaman itu semakin terasa saat dirinya mengingat bahwa sebentar lagi ia harus melakukan interview kerja di kafe yang letaknya jauh dari tempatnya bertemu.
"Mas mau bicarain hal apa? Maaf banget waktuku cukup padet untuk hari ini." Pria itu terhenyak mencoba mengais suaranya dengan berdehem pelan.
Ia menatap manik coklat milik gadis didepannya lalu menghela nafasnya, "Aku tau perasaan kamu Hem." Gadis itu nampak tekejut.
"Aku tau perasaan kamu jauh dari hari ini, jauh dari aku kasih undangan nikahan aku, jauh dari hari tanggal aku jadian sama Kalisa." Hema menelan liurnya kasar, tidak mungkin. Tau dari mana pria ini soal perasaanya?
"Aku, pernah gak sengaja denger obrolan kamu sama Salwa. Sejak saat itu aku mutusin buat mencoba berlaku biasa aja ke kamu Hem."
"Dan, aku mohon Hem. Lupain aku ya? Aku tau ucapan ini kedengeran kasar dan kayak cowok gak punya hati. Tapi aku mohon, sebentar lagi aku menikah Hem, dan itu besok." Hema masih diam, mencerna segala hal yang terlontar dari bibir Revan.
"Kalo tau kenapa Mas diem aja? Masih bertindak kayak biasanya juga kadang-kadang?" Revan menarik nafasnya.
"Aku terlalu takut liat respon kecewa kamu semisal aku nolak kamu Hem, aku gak mau hubungan pertemanan kita kacau gara-gara penolakkan yang aku ucapin." Hema menghembuskan nafas kasar.
"Sekarang kalo kamu mau benci aku, aku gak masalah Hem. Luapin kekecewan kamu ke aku atau apapun itu."
"Basi Mas."
"Perasaanku, kecewaku, dan apapun itu. Semuanya udah basi Mas, aku udah gak perduli lagi buat sekarang." Revan menatap Hema dalam, mencari kejujuran dalam mata jernih gadis didepannya.
"Aku udah lama lepas Mas Revan untuk Mbak Kalisan, bahkan jauh dari hari Mas Revan temuin aku untuk kirim undangan. Hari itu aku emang nangis, tapi cuma sesaat, karena aku tau semuanya gak akan ada dikendaliku." Hema bangkit, meraih tote bagnya dan tersenyum tipis.
"Makasih udah bilang kalo Mas tau perasaanku, paling enggak aku tau kalo orang yang aku suka itu tau perasaan aku. Aku pamit ya Mas, besok aku bakalan dateng kok." Hema melangkah pergi meninggalkan Revan yang termenung dalam diam.
Pria itu menghela nafasnya, menatap punggung gadis dengan cardigan itu hingga hilang dibalik pintu kafe.
Hema mengusak kasar air mata yang mengalir dipipinya, apa kata pria itu? Dirinya tau perasaan Hema? Apakah selama ini Hema nampak seperti gadis tolol dihadapan pria itu?
"Berengsek!" Umpatnya, nafasnya tersenggal akibat menangis, ia berusaha menenangkan diri sambil berjalan cepat menuju halte bus, dirinya harus melakukan interview kerja.
Kakinya belum sampai menapaki halte, sebuah mobil honda jazz putih mengklaksonnya membuat Hema menoleh, kaca itu dibuka menampakkan wajah seseorang yang membuat Hema memasang senyum lebar.
"Genta! Mau kemana?" Sapanya, Genta menurunkan kaca mata yang dirinya pakai lalu keluar dari mobil.
"Kerumah temen gue Hem, lo mau kemana? Nebeng sekalian gak?" Hema menimang-nimang lalu mengangguk.
"Gue mau ke kafe Tenoir, searah gak?" Genta mengangguk.
"Kebetulan apartemen temen gue disebelahnya." Hema mengangguk dan tertawa kecil.
Keduanya menempuh perjalanan kota dengan diiringi lantunan musik milik one direction yang mengalun dari bluethoot yang tersambung dari ponsel Genta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Future
ChickLit(17+/18+) Penulis itu menciptakan alurnya, berbaur dengan pembacanya dan menikmati karir yang tengah ia raih. Sama seperti Hema, perempuan cantik yang merangkap menjadi Mahasiswi dan penulis itu sangat amat menggandrungi alurnya sebagai penulis. Nam...