8

3.7K 426 0
                                    

..


Jemarinya bertaut satu sama lain, ketiadaan Chenle di sini membuatnya kikuk berada di lingkaran Yohan.

Terlebih mereka terlalu menonjolkan keberadaannya, yang dimana Casey merasa tak bisa bergerak dengan bebas, mereka terlalu berlebihan rasanya.

Casey tak boleh begini, tak boleh begitu, entah apa alasannya.

"Di makan Cey ... jam istirahat abis bentar lagi lho." Tutur Ben, lalu Casey yang mengangguk patuh, sungguh hal seperti ini makin membuatnya tak nyaman.

Apalagi pandangan murid lain padanya, seolah Ia mangsa yang dapat di lahap kapan saja, beberapa kali namanya di sebutkan, baik dengan cara berbisik ataupun terang-terangan.

Semakin, membuatnya penasaran pastinya. Ia hanya takut, takut tatapan menyeramkan kembali di lemparkan padanya.

"Mikirin apa sih Cey?"

Casey terperanjat, lupa sekarang ada Yohan di sampingnya.

"Engga papa." Yohan mengangguk, meski dalam batinnya terganjal rasa penasaran.

"Chenle 3 hari di sana ya Cey." Casey bergumam

"ya."

Casey tak bertanya, tapi bersyukur mereka memberi tahunya, sebenarnya ingin Casey bertanya secara langsung.

Tapi bagaimana cara pengucapannya masih tak dapat Casey temukan, begitu sulit, yang Ia pahami secara mendalam hanya bahasa isyarat.

..

Setengah hari menghabiskan waktu untuk belajar.

Casey sekarang tengah berjalan perlahan melewati tempat parkir pelajar, berbekal rasa percaya diri.

Casey berjalan dengan cepat, melewati segerombolan murid laki laki yang tengah berkumpul menjadi satu,

"Wh-"

"Ouch!"

Suasana ramai tiba-tiba menjadi hening, suara pekikan Casey mengalihkan atensi lumayan banyak murid, membuatnya menjadi malu bukan main.

Karma akibat kelewat percaya diri tak memperhatikan jalan.

"Apa lagi ini." rintihnya.

Kakinya masuk ke dalam selokan, bahkan sepertinya tak ada yang ingin membantunya.

Salahnya berlagak sok percaya diri mendongakkan kepala.

"Malu banget."

Seperti kepiting rebus, warna merah masih bertahan di wajah Casey yang bahkan masih berusaha untuk mengeluarkan sebelah kakinya yang masih tersangkut.

Kepalanya menunduk, enggan untuk melihat sekeliling, bahkan meminta tolong pun rasanya begitu memalukan.

"Hei."

Suara berat masuk pada indra dengarnya, meski begitu. Casey masih tetap menunduk hendak bangkit, bersyukur kakinya sedikit lagi sudah bisa keluar.

"Ku bantu."

Suaranya tak pernah Casey dengar, dengan ragu Ia mendongak, di mana arah suara tersebut, dan entahlah perasaan Casey menjadi tak karuan.

..

"Grey ... anterin aku ya?" Sudah bertahun-tahun, Arma terus menggangguku.

Mungkin ini tak terlihat bahwa Aku terganggu di keramaian, namun sekedar informasi, bahwa Aku, Grey, benar-benar merasa terbebani akan kehadiran Arma, sungguh, perempuan ini mengganggu hidup ku.

Sikap pahlawanku untuk membelanya bahkan membuatku malu sendiri, demi apapun. Rasa ingin melenyapkannya selalu muncul dalam pikiran kala wajah atau bahkan suaranya muncul dalam lingkungan ku.

"Grey ... kamu kok diem aja sih?"

Oh Tuhan! Beri Aku ketabahan untuk menahan segala emosi dan rasa jijik!

Langkah kaki ku pacu, melewati kerumunan murid yang tengah berkumpul di tempat parkir, mencari kendaraannya masing-masing.

"Wa-"

"Ouch!"

Aku mencari sumber suara, karena pekikan tersebut baru saja membuat suara ramai menjadi sunyi seketika.

"Grey mau kemana?"

Tak menghiraukan Arma, Grey berjalan meninggalkannya.

Tindakan aneh Grey membuat semua pelajar memandang Grey penasaran. Kira-kira kemana Anak itu akan pergi?

Langkahnya terhenti kala melihat satu siswa duduk dengan kaki masuk ke dalam selokan.

"pfft!"

Grey segera menutup mulut, menahan tawa saat melihat ada murid duduk di sela-sela penutup selokan, kacau jika Ia kelepasan tertawa. Itu tidak sesuai dengan image nya.

Telinga merah itu membuat yakin Grey bahwa si siswa tersebut sedang merasa malu.

"Hei."

Tegur Grey, mencoba mengintip wajah siswa tersebut.

Grey ikut berjongkok.

"Ku bantu." ucapnya.

Membuat Grey sendiri terkejut, pupilnya mengecil. Bingung dengan suara yang keluar dari mulutnya sendiri, serta gerak gesit yang dengan cepat meraih tubuh murid laki-laki didepannya untuk di papah.

Pemandangan langka, meninggalkan kesan aneh serta riuh.

Siap-siap saja, semoga besok pagi tak akan ada berita yang mungkin memancing kekacauan makin rusuh.

..

"Permisi." Dengan bahu yang dituntun, sedari tadi Casey masih menundukkan wajahnya.

"Ngga ada orang, gue aja yang obatin ya."

Grey bangkit tanpa persetujuan, mencari antiseptik untuk luka Casey.

"Untungnya lagi musim kemarau, jadi selokan ngga ada air atau paling parah kotoran." jelas Grey, Casey megangguk ragu.

"gue ijin milin celana lo ya." Casey lagi-lagi hanya bisa mengangguk.

Dengan Grey yang mengernyit bingung.

"Baru tau ada kulit cowo bisa bersih apalagi semulus ini." celetuknya, membuat Casey dengan spontan menggerakkan kakinya pertanda terkejut.

"Oh! Sorry! Sorry! Gue ngga bermaksud."

Lambaian tangan yang di berikan Casey membuat Grey tersenyum.

"Lo kenapa nunduk mulu?" Casey makin memperdalam tundukkan wajahnya.

"Lo ... malu ya?"

"eng- engga." cicitnya membuat Grey tertawa kecil.

"ngga papa, udah ngga ada orang, coba angkat kepala Lo."

Casey mengikuti perintah Grey, dengan wajah yang masih tertinggal warna merah merona di pipi serta telinganya.

Membuat perasaan Grey tersengat.

"Gila gue."

"Huh?"

Grey menggeleng, keceplosan mulutnya baru saja.

Dengan telaten Grey mebersihkan luka, dengan antiseptik dengan obat luka tetes di akhir.

"Sip! Udah selesai."

"Bisa jalannya?"

Casey menggoyangkan kakinya, rasa linu pada pergelangan kakinya memang sangat menyengat, namun demi menjaga rasa malu, Ia mengangguk pasti.

"Bisa, terimakasih."

Setelahnya Ia bangkit dengan tertatih, meninggalkan Grey yang masih memegang plaster luka.

"Lah! Kan belom pake plester."

"Wo?! Eh kemana tu anak? Udah ngilang aja."



..

The Perfect World, Casey KylerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang