Kapal akan segera berlayar, hati hati di jalan semuanya.
Yogyakarta, Maret 2016.
Alunan nada minor dari lagu Noah sukses memenuhi kedua gendang telingaku di puncak malam ini melalui earphone pemberian mama. Bersama sepuntung tembakau di antara jari tengah dan telunjukku, langkahku terus bergerak menyusuri sepinya jalan Malioboro kala itu.
Tidak ada delman yang biasa berjajar di pinggir jalan ataupun para penjual es jeruk lima ribuan yang selalu berkeliling dari selatan sampai kembali lagi ke utara jalan Malioboro ini. Yang aku temukan malam itu justru seorang gadis sebayaku yang tengah sibuk melamun sembari menatap bulan purnama diatas cakrawala sana.
Satu dua tiga langkah dia belum menyadarinya, sampai ke langkah ke sepuluh. Gadis tersebut melontarkan pertanyaan yang sangat tidak pernah aku duga. Bahkan untuk ukuran orang asing, pertanyaan ini terlalu random.
"Bulan itu sebenernya punya cahaya kan ya?"
Aku tentu langsung diam mematung. Rokok yang sudah setengah habis itu tak aku hiraukan lagi selama beberapa menit hanya untuk memberikan atensiku penuh pada wanita di hadapanku saat ini.
Setelah siap, aku memilih membuang lintingan tembakau itu dan duduk di sampingnya. Ku lepas perlahan tas gitar yang sudah lama bertengger di punggungku tersebut bersama earphone yang awalnya menyumpal indra pendengeranku.
Entah kenapa, tiba-tiba percakapan ini menjadi begitu menarik bagiku.
"Enggak, cahaya itu dari matahari."
"Punya kok, dia bisa bersinar sendiri bahkan tanpa bantuan matahari."
Aku sontak terkekeh mendengar jawabannya yang ternyata masih pada pendiriannya. Bagus, tidak mudah plin plan. Tapi sayangnya, ia memilih jawaban yang salah.
"Lagi mau adu argumen banget ya lo? Pms? Apa nilai ulangan lo jeblok?" Balasku mengawur. Dasar gadis aneh.
Lama keheningan melingkupi kami, aku tak kunjung mendapatkan jawaban dari belah bibir merah mudanya. Karena dirasa percakapan ini sudah berakhir begitu saja, aku pun memilih beranjak. Namun tepat sebelum aku dapat menegakkan tubuhku sempurna, dia kembali menyela dengan pertanyaan lain.
"Jaket lo wangi, gue suka harumnya." Apa ini? Dia mencoba menggodaku? Atau matanya saja yang kelewat tajam untuk memperhatikan sekitarnya?
Aku perhatikan sekilas jaket denim merah yang melekat sempurna di tubuhku lalu mengangguk sembari melarikan tatapanku pada jalanan.
"Makasih, ini jaket favorit gue."
"Hahaha, lo suka warna merah?" Aku diam untuk beberapa detik lalu menoleh padanya. Tawa rendah yang terkesan merdu itu langsung membuatku lupa bahwa sebelumnya lagu Noah lah yang menduduki tahta tertinggi dalam kategori suara paling merdu di hidupku.
Tapi sebelum semakin terlena, aku harus menjawab pertanyaannya.
"Enggak."
"Terus?" Sahutnya lagi.
"Gue punya banyak jaket, dan diantara mereka ini yang paling bikin gue merasa nyaman juga hangat. Karna jaket ini pemberian mama, kemanapun gue melangkah tanpa dia, selama gue paket jaket ini, kayanya hangat pelukan beliau juga turut menyertai perjalanan gue."
"Ahh....jadi gitu, anak mama yang satu ini keren juga jago ngerokok ya." Mendengarnya berucap demikian, aku sontak tertawa kecil tanpa mampu menahannya lagi.
"Hahahah, anak mama gini gue sering kelayapan tanpa sepengetahuan beliau."
"Ga jauh dari tempat maksiat ya? Atau jangan-jangan lo satu geng sama Klitih?" Bukannya marah. Aku justru tercekat mendengar ucapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
YOGYAKARTA [ NJM ]
RomanceMungkin, Reva benar. Tidak seharusnya ia menyelam begitu jauh. Sehingga dirinya tak mati dalam Samudra.