Bab 23: Dua Jenaka

51 18 20
                                    

Wajah Raga memang tidak terlihat ditekuk tapi auranya berbicara lain, dengan gestur badan yang tampak jengah mengantri. Sebetulnya dari pada mengantri seperti ini lebih baik dia mencari stand makanan lain yang kosong dan tidak banyak pembelinya, yang penting perut terisi. Semua ini dia lakukan cuma-cuma demi Hening, entah kenapa hatinya tergerak begitu saja. Hingga akhirnya pria itu berhasil mendapatkan pesanan yang diinginkan setelah melakukan pembayaran, lalu dengan wajah yang berganti sedikit sumringah Raga buru-buru menghampiri si gadis.

Langkah besarnya berubah menjadi tegas kala maniknya menangkap Hening yang terlihat didekati seorang pria asing tidak jauh dari sana, alisnya jadi menukik tajam memperlihatkan ekspresi tidak suka sampai tiba di meja gadis itu.

"Maaf, Anda siapa ya? Kenapa mengganggu pacar saya?" tanya Raga penuh penekanan sambil menarik pelan lengan Hening ke belakang tubuhnya.

Firman perlahan berdiri, menatap sejenak Raga dengan raut wajah tidak seceria sebelumnya, senyum pria itu meredup. Ia melihat ke arah Raga dan Hening secara bergantian. "Oh, jadi ini orangnya, Ning?"

Hening menanggapi pertanyaan Firman dengan anggukan cepat seraya merapatkan tubuh pada Raga. Firman mengangguk pelan sambil tersenyum miring, tampak ekspresi wajah kekalahan. Kasarnya, jika wajahnya disandingkan dengan Raga akan terlihat perbedaan yang jauh soal peringkat ketampanan antar keduanya.

Raga setengah memeluk pinggang ramping Hening, seakan menunjukkan kepemilikan dan status antar mereka berdua. Hening hanya bergeming dan bersyukur Raga dapat membaca situasi.

Firman lantas mendengus pelan saat adu tatap dengan Raga. Dia memalingkan wajahnya sembari menahan sesuatu pada benak, lalu berbalik dan pergi begitu saja tanpa melontarkan sepatah kata, langkahnya yang menjauh tampak terlihat kesal.

"Nggak jelas banget si Firman." Hening menatap sebal selepas kepergian Firman. Kenapa bisa bertemu di mall sih? Sepertinya ia harus membicarakan soal Firman ke Aden nanti demi ketenangan hidupnya.

Raga melepaskan lengannya dari pinggang Hening, lalu menyodorkan krep hangat yang beraroma sangat menggoda. "Oh, itu Firman? Lain kali kalau ketemu dia lagi, kamu kabari saya. Bentukannya nggak jelas seperti itu, kok bisa Aden berkawan sama dia?"

Senyum Hening mengembang seraya menerima makanan itu. "Iya Pak terima kasih. Saya juga bingung, nanti memang mau saya obrolin sama Aden." Toh Firman tampak sudah menyerah sebelum berperang, kondisi yang bagus bagi Hening, semoga saja.

***

Kembali lagi ke rutinitas seperti biasa setelah berganti hari. Hening harus mengumpulkan kesabarannya lagi karena pasti akan bertemu Nila, si nenek sihir, rasanya badannya berat sekali seperti ketempelan sosok makhluk halus. Tapi ingin bagaimana lagi, hidup terus berjalan, menghindar pun percuma tidak akan menyelesaikan masalah. Jadi, dia akan hadapi saja walaupun sambil misuh. Pikir gadis itu, hitung-hitung sekalian untuk membakar lemak dan menguji kesabaran.

Raga sedang ke luar untuk tanda tangan bertemu dengan klien, karena salah satu pegawai ada yang izin sakit, jadilah Hening yang menggantikan dan membantu urusan kantor. Jadinya dia juga tidak bisa mendampingi pria itu.

"Ning, nama Pihak Pertama dan Pihak Keduanya sudah kamu cek lagi kan? Kalimatnya jangan sampai ada yang typo, sama tolong luas tanahnya dicek," ujar Rita dengan tegas. Jika sedang bekerja seperti ini kawannya itu tampak profesional dan serius. Wanita itu pun dapat mencairkan suasana jika diperlukan, ditambah sangat mengayomi. Memang sosok pemimpin wanita yang dapat diandalkan.

"Sudah Rit. Oke, siap." Setelah berhasil mencetak berkas, Hening pun mengeceknya dengan detail lalu menjahit akta dan memberikannya kepada Rita untuk disatukan dengan akta yang lain, nanti tinggal diberikan kepada Raga untuk dicek dan ditanda tangani.

Ternyata sibuk di kantor sangat menyenangkan, karena tidak harus melihat Nila yang sudah dari pagi mejeng bak Nona pemilik rumah, yang Hening nantikan hanyalah keberadaan Enzi. Wanita itu tumben sekali tidak merecoki sampai ke kantor, biasanya dia akan mengawasi dari tempat duduk Raga jika Hening berada di kantor seperti sekarang yang membuat semua pegawai di sana canggung dan ketakutan. Memang seperti hantu yang datang tanpa diundang.

Setelah pekerjaannya sudah mulai longgar dan sisa pegawai di sana dapat mengurusnya, Hening pun berniat untuk membereskan akta, dari pada harus berdiam diri dan tidak tahu harus berbuat apa. Sebelum itu dia ke rumah Raga untuk mengambil tasnya yang tertinggal di ruang tengah, gawai miliknya pun ada di dalam sana.

***

"Widih rumah gedongan." Aden berjalan pelan sambil terperangah selepas memakirkan motornya di halaman rumah Raga, sambil menenteng tas yang berisi laptop. Ia pun menyapa pekerja yang tengah membersihkan halaman lalu memperkenalkan dirinya, setelah itu diperbolehkan untuk masuk. Semudah itu? Tentu saja Raga sudah berpesan pada pekerjanya jika akan ada seorang tamu laki-laki yang bertandang ke rumah.

Saat melangkahkan kaki masuk, Aden disuguhkan isi ruangan yang elegan persis seperti kenampakan rumah yang memancarkan aura sama. Pria itu menggeleng tidak percaya, kakaknya ternyata sangat beruntung bisa bertemu dengan laki-laki kaya seperti Raga.

"Eh, eh, Anda siapa ya kok main nyelonong masuk ke rumah orang? Mau maling ya?" Suara cempreng nan melengking milik Nila mengalihkan atensi Aden, membuat pria itu harus menghentikan langkah karena langsung dihadang oleh si wanita yang sedang menggendong seorang anak laki-laki.

Raut wajah Aden tampak bingung karena tidak menyangka akan ada seorang wanita di rumah Raga, ditambah keberadaan seorang anak laki-laki. Muncul curiga pada benak Aden soal Raga.

"Lo siapanya Bang Raga? Jangan bilang istrinya?" tanya Aden penuh selidik. "Enak aja, gue bukan maling!" timpal Aden tidak terima dituduh maling sambil memajukan tubuhnya.

***

"Maling mana ada sih yang mengaku?"

Hening menghentikan langkahnya saat masuk ke dalam lorong yang menyambungkan rumah dan kantor. Dia mengenal suara wanita itu, siapa lagi kalau bukan Nila.

Aduh, dia cekcok sama siapa lagi sih? Sama maling? batin Hening seraya mempercepat langkahnya menuju ruang tengah.

Gadis itu terbelalak saat mendapati keberadaan adiknya di sana. "Aden! Ngapain lo di sini?"

Aden yang hendak menjawab ucapan Nila pun harus urung kala mendengar suara Hening yang muncul dari balik dinding. Dia menatap kakaknya sedikit kesal. "Gue dikatain maling, Mbak! Oh ya, sebentar deh, lo mau aja diajak pacaran pur—"

"AAA ...!" Hening sontak berteriak sambil berlari menutup mulut Aden rapat-rapat sampai pria itu meringis kesakitan karena kakinya diinjak oleh Hening. "Awas lo keceplosan, gue jadiin pepes beneran," bisik Hening penuh ancaman. Aden menggeleng cepat tidak berani melanjutkan kalimatnya.

Nila sempat mengaduh karena suara teriakan Hening, sedangkan Enzi terkikik melihat tingkah Hening yang menurutnya lucu. Nila maju selangkah, memperhatikan Hening dan Aden bergantian. "Oh, kalian adik-kakak? Pantas, kelihatan sama-sama kampungan."

Aden yang bersumbu pendek pun melotot tidak terima, dia menepis tangan Hening dan ikut melangkah maju merasa tertantang. "Apa lo bilang? Suami istri sama aja ya ternyata, ucapannya suka bikin emosi."

"Siapa yang suami istri?" Suara bariton Raga menginterupsi dari belakang. Hening menoleh ke sumber suara, wajahnya pun tampak melunak karena lega pria itu datang pada waktu yang tepat.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MitambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang