"Bang, lo parah banget sih pacaran sama kakak gue tapi ternyata udah punya istri?" Aden sekilas menatap Raga lalu kembali menelisik wanita bersurai merah di hadapannya dengan wajah masam.
"Heh, perhatikan ya kalau berbicara! Saya iparnya Raga, suami saya pengacara terkenal, enak saja turun derajat," tukas Nila dengan angkuh. Enzi pun meronta untuk turun, wanita itu perlahan membungkuk dan membiarkan anaknya berlari kecil ke arah Raga. "Kamu bertamu ke rumah orang tapi nggak punya adab, main nuduh-nuduh seenaknya!"
Raga mencangkung, menerima kedatangan Enzi yang memeluknya penuh kasih. Pria itu memilih untuk diam ketimbang harus merespon. Biarkan keduanya antara Aden dan Nila yang menyelesaikan perdebatan masing-masing.
"Lah, ipar ngapain di sini? Nggak sama suaminya lagi, yang ada nanti timbul fitnah. Masa hal kecil kayak gini aja lo nggak paham sih?" Aden masih setia menyahut sambil menyilangkan kedua lengannya ke depan dada.
Hening mendekat ke Raga, sambil berbisik kala pria itu menggendong Enzi. "Pak, maaf ya adik saya tiba-tiba datang. Saya nggak tahu dia dapat alamat kerja saya dari mana, padahal selama ini juga anteng-anteng aja," lirih Hening sambil membalas senyum Enzi yang menatapnya dengan ulasan senyum lebar yang menggemaskan.
Nila berkacak pinggang merasa tidak suka diceramahi oleh Aden. "Apa urusanmu? Suka-suka saya lah, hidup-hidup saya. Tetangga di sekitar pun nggak ada tuh yang ngurusin, kamu jangan sok menggurui deh."
Raga menghela napas pelan, lalu menarik lengan Hening untuk ke luar dari rumah, meninggalkan Nila dan Aden yang masih saja terus saling sahut-menyahut menimbulkan kegaduhan di dalam sana.
"Eh, mau ke mana Pak?" tanya Hening dengan suara kecil, bingung karena langsung digeret begitu saja menuju parkiran mobil. Enzi pada gendongan pun jadi ikut terbawa dalam aksi kabur bagian kedua antara Hening dan Raga.
***
"Jadi Aden minta share location dan Bapak kasih gitu aja?" tanya Hening tidak habis pikir dengan sikap kelewat tenang Raga. Dia sembari menyuapi Enzi es krim stroberi.
Raga mengajak Hening dan Enzi ke mall agar terbebas dari keosnya pertempuran sengit antara Nila dan Aden. Pria itu sudah pusing melihat keberadaan keduanya di rumah tadi, bersyukur Enzi memiliki feeling yang kuat dan langsung berhambur memeluk Raga. Tahu saja dia kalau Omnya akan pergi dari situasi itu.
"Aden katanya mau mengerjakan kerjaannya di rumah biar lebih santai sekalian main, dia juga belum pernah ke rumah kan, jadi yasudah. Tapi saya lupa kalau ada Nila," tutur Raga panjang lebar seraya memperhatikan tingkah laku Enzi yang polos, anak itu memainkan jemarinya sendiri sambil mencecap es krim yang disuapkan oleh Hening.
Hening membersihkan mulut Enzi dengan sabar menggunakan tisu. "Duh, betul-betul deh. Aden itu keras kepala ... kenapa jadi begini sih."
"Aunty kenapa?" Enzi menatap Hening dengan kedua matanya yang besar, dia bertanya demikian karena melihat raut wajah Hening yang terlihat gusar.
Suasana mall siang hari begini memang relatif sepi, di food court hanya ada beberapa orang yang berlalu-lalang seadanya, pengunjung yang datang rata-rata hanya singgah sebentar untuk makan lalu pergi dari gedung itu untuk kembali bekerja. Ada pula dengan kepentingan lain yang memang berniat untuk mencari suasana baru meski tidak banyak.
"Nggak, sayang. Aunty cuma ... Bapak ngapain?" Atensi Hening beralih dari Enzi ke Raga yang mengarahkan kamera gawai ke arahnya dan Enzi.
Setelah selesai dengan kegiatannya memfoto Hening dan Enzi, Raga memasukkan kembali gawai ke dalam saku jas sembari ulas senyum tipis. "Enzi mau main mandi bola tidak?" Tanpa menjawab pertanyaan Hening, pria itu langsung menggendong Enzi lalu perlahan berdiri.
"Eh, mau ke mana?" Hening ikut berdiri sambil membersihkan mulut dan tangan Enzi dengan tisu basah, begitu juga jemarinya sendiri yang terkena es krim.
***
Siapa sangka area bermain anak ternyata sangat ramai, terletak di lantai dua. Di sana mayoritas ibu-ibu yang mengajak anaknya untuk bermain. Ada yang sedang menunggu sambil mengawasi karena sang anak sudah bisa berlari riang, ada juga yang ikut mendampingi sambil tertawa senang. Tidak hanya mandi bola, tapi fokusnya memang itu, ada perosotan dan ayunan, mainan balok, jembatan dari jaring-jaring tali sampai trampolin berukuran besar. Area di sana sangat luas sekali dan nyaman tentunya, juga aman untuk anak-anak berlarian kesana-kemari, tapi tetap harus dalam pengawasan. Ada tiga orang pekerja yang siap membantu di beberapa spot jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
"Enzi, tangkap!" Raga duduk di hadapan Enzi yang berjarak sekitar dua meter. Mereka bermain lempar-lemparan bola kecil, Raga dengan lembut melemparkan bola kepada Enzi, di belakangnya terdapat Hening yang berjaga, dia yang membalas lemparan Raga. Jadinya di sini kalau dilihat yang bermain hanyalah Hening dan Raga. Sesekali anak itu terkikik geli karena perilaku Raga sangat jenaka, pura-pura kesakitan saat terkena lemparan bola dari Hening.
Hening menyunggingkan senyumnya, juga sesekali tertawa pelan diikuti Enzi kala melihat tingkah Raga, pria itu sangat menyukai anak kecil rupanya, seakan melupakan fakta jika Enzi adalah anak Danar dan juga Nila. Mereka bertiga sudah terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia jika dilihat dari sudut pandang orang-orang sekitar.
Di tengah asyiknya bermain bola, tiba-tiba Enzi berdiri lalu menatap lurus ke Hening, matanya berkedip pelan hendak mengutarakan sesuatu.
"Enzi kenapa? Mau poop?" tanya Hening dengan senyum mengembang.
"Foto, Enji mau foto pakai HP." Anak itu menunjuk tas Hening lalu menoleh ke Raga.
Raga pun berjalan mendekat ke Hening dan Enzi yang terlihat sedang membicarakan sesuatu, sembari membawa bola karena penasaran. Dia duduk di samping Enzi, berhadapan dengan Hening.
"Enzi mau foto?" Hening mengeluarkan gawainya, lalu menekan icon kamera.
Enzi mengangguk senang sambil mengulas senyum lebar, dia tampak menunggu Hening mengarahkan kamera depannya.
"Sini, saya saja yang ambil foto," tawar Raga yang langsung ditolak mentah-mentah oleh Hening.
"Saya aja, Pak. Nanti kalau yang ambil Bapak bisa-bisa pipi saya kelihatan besar." Gadis itu pun mencari angle yang pas, agar dia, Enzi dan Raga dapat foto dalam satu frame dan terlihat jelas. Senyumnya lantas mengembang dengan manis, terlihat pada layar kamera. Raga hanya tersenyum tipis, diikuti Enzi yang tersenyum super lebar yang terlihat sangat kontras di antara Hening dan Raga.
Tiga kali Hening mengambil foto dengan mimik wajah yang berbeda. Dia merasa puas dengan hasilnya.
"Sebentar, ada telepon masuk," ujar Raga seraya berdiri dan meletakkan bolanya di sana. "Siang, Pak. Iya? Berkas Bapak sedang di proses di BPN ...." Hingga tubuh pria itu menjauh sepenuhnya.
Seketika, ada sebuah pesan masuk pada gawai Hening dari nomor tidak dikenal yang berhasil melunturkan senyumannya. Raut wajah ceria itu berubah pucat pasi sebab isi pesan di sana menyulut rasa cemas berlebih.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mitambuh
Romance[TAMAT] Hening Merona setuju pacaran pura-pura dengan Raga Tatkala Juang karena lelaki itu konon mampu menghilangkan kutukan yang menempel pada dirinya. Tidak hanya Hening yang punya kepentingan pribadi, Raga pun sama. Hubungan baru yang semula Heni...