-4-

712 24 7
                                    

n : sorry banget bahasanya suka berubah² sesuai mood. Enjoy the story aja yaa ✋ kalo ada typo comment yaa guys, sowwryyy.

Aku pun menarik nafas dalam dalam kemudian menyusul mas Meda masuk kembali ke dalam rumah untuk menghadapi para orang tua.

"Meda, Tamara, kalo kalian gak nikah, kita gak akan kasih izin kalian keluar kota untuk bekerja atau apapun itu." Ucap mama yang membuatku terkejut bahkan mas Meda pun terkejut menanggapinya, kami reflek saling menoleh.

"Ma. . . Mama kok gitu. .aku kan mau lanjut kuliah di Jakarta!" Aku memasang ekspresi menyedihkan didepan mereka, namun sepertinya sama sekali tidak ada yang peduli. Semuanya bersikeras menjodohkan kami.

"Meda juga harus cepet cepet balik ke Jakarta ma! Jatah cuti Meda cuma sebentar. Kalo posisi Meda kosong bisa bisa digantikan sama yang lain, mama tau kan perjuangan Meda sampe disitu?"

Mas Meda juga mencemaskan masa depannya. Apa ini artinya kami harus menerima perjodohan ini dan menikah diwaktu sesingkat ini?

Aku yang paling dirugikan disini. Sial.

"Baiklah, besok kalian akan menikah." Celetuk papa mas Meda.

"APA?! Kenapa secepat itu?!" Aku bangkit dari sofa.

"Meda harus secepatnya kembali ke Jakarta, jadi semuanya harus dipercepat, lebih cepat lebih bagus kan?" Jawab papaku.

Aku yang masih belum bisa menerima kenyataan ini langsung pergi ke kamar tanpa memedulikan apapun lagi, tidak ada yang berusaha menahan ku juga.

Aku menelpon Maudy untuk memberi tahukan kabar ini.

"WHAT? NIKAH? BESOK? Sorry Tam. . .gue gak bisa datang."

"Siapa yang nyuruh Lo datang!!! Ah nyebelin! Gue gak mau nikah mawww. . .hiks. . ."

"Ssshh jangan nangis Tam, emang orang yang dijodohin sama Lo seburuk itu ya?" Aku berpikir sejenak setelah mendengar pertanyaan Maudy. Jika dipikir-pikir, mas Meda bukan orang yang buruk, dan bahkan bisa disebut 'idaman'.

"Ah ngga tau!" Aku meremas rambutku frustasi.

"Gue usahain datang kok Tam besok, Wait wait. . Lo gak ada rencana kabur kan?" Tanya Maudy curiga. Aku sama sekali belum terpikirkan hal itu. Apa aku kabur saja?

"Lho makasih loh maw idenya, bakal gue coba!"

"EH EH TAM GILA LO Y--" Sambungan teleponnya buru buru aku matikan dan aku mulai memikirkan strategi.

"Oh ya. . . Mas Meda udah pergi belum ya?" Aku keluar kamar dan sedikit menuruni tangga untuk melihat kondisi di bawah. Ternyata mereka sudah pergi, kini hanya ada kedua orang tua ku saja.

Tanpa berpikir panjang aku menghampiri mereka. "Ma pa, kenapa jadi begini? Kenapa semuanya maksa aku untuk nikah sama mas Meda?"

Mama menepuk sofa di sampingnya mengisyaratkan ku untuk duduk sambil mendengarkan penjelasan mereka.

"Tamara, mama sama papa tau keinginan kamu untuk pergi ke Jakarta buat ngelanjutin pendidikan kamu. Makanya kami ngejodohin kamu sama nak Meda, biar kamu ada yang jagain selama disana."

Aku tercengang dengan jawaban mama, "Ma, Tamara bisa jaga diri sendiri kok! Mama kan tau itu. Kenapa mama harus jodohin aku? Itu mungkin bisa jadi penghambat di karir aku!"

"Engga engga, mama baru percaya kalo kamu pergi bareng Meda. Udah ya? Besok kalian harus menikah! Mending sekarang kamu ikut mama ke tempat Bu Eka untuk pilih baju pengantin."

"Maaa...." Aku mengulum bibir bawahku menahan tangis kemudian mengikuti mama ku dari belakang.

Ketika keluar dari gerbang rumah, kami berpapasan dengan mas Meda dan ibunya yang ternyata juga hendak pergi ke tempat yang sama.

Sesampainya di rumah Bu Eka. . .

"Wah selamat yaa, kalian berdua! Semoga acaranya lancar besok! Mendadak banget nih . ." Bu Eka menatap kami jahil.

Aku menatap mas Meda yang ternyata sedang salah tingkah kemudian membuang muka. Astaga apa yang mereka pikirkan tentang kami?

Menikah mendadak, Lalu pergi ke Jakarta.

Jika itu orang lain, aku juga akan curiga!

Sementara para ibu ibu mengobrol, kami memilih baju yang akan kami pakai besok, tetapi yang mas Meda lakukan hanya diam sambil memperhatikan setiap baju yang aku pegang.

"Mas kok diem aja? Gak mau nikah ya? Pasti mas berubah pikiran! Aku bilang mama ya, biar dibatalin?" Aku hendak menghampiri mama ke ruang tamu, namun mas Meda menahan tanganku dengan cepat.

"Pilih duluan, mas sesuaikan sama pilihan kamu." Ucap mas Meda datar.

"Mas kenapa? Kok kayaknya males banget? Mas marah ya sama saya?" Mas Meda hanya diam.

"Oh bagus deh kalo sikap mas begini, saya jadi yakin kalo mas sebenernya gak mau nikah sama saya." Aku kembali mengulang tindakanku yang tadi.

Dan mas Meda kembali mengulang tindakannya dengan menahan ku, namun kini ia mengunci gerakkan ku dengan menyudutkan ku ke dinding yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan ruangan kami sekarang.

"Kamu kayaknya pengen banget pernikahan kita batal ya? Tinggal pilih aja gaunnya. Mas bilang mas bakal ikutin pilihan kamu, kenapa pake mikir yang aneh aneh sih? Jangan bikin mas gelap mata ya dengan bersikap kaya gitu. Mas bisa aja ngelakuin sesuatu kalo kamu ngulangin yang barusan."

*Glek* aku menelan ludahku seraya menatap tatapan tajam mas Meda padaku saat ini, maksudnya apa yang akan ia lakukan? E..ah sial aku terlalu banyak membaca novel romantis, tidak mungkin mas Meda akan menciumku atau semacamnya kan? Haha.. dia bukan orang seperti itu kan?

Voment for appreciate ✨
Kalau ada saran/masukan bisa di kolom komentar atau DM aja yaa!
see u in d next part
Enjoy~

my perfect 'Mas'Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang