Memajukan tubuh, lengan Riel menyalin genggam tangan si nona manis. Lekat menatap Ivanka tanpa harus menyembunyikan diri yang sesungguhnya.
"Kalau aja Riel bisa pisahin Ayah dengan orang itu, pasti Ibu gak menangis tiap hari."
Belum ada tanggapan dari Ivanka. Mata gadis itu seakan menghipnotis, seakan memikirkan berbagai hal yang tak Riel pahami.
"Ada apa?"
Sontak kepala Ivanka berayun ke kiri dan kanan. Mengelus relief tulang di punggung tangan.
"Hanya tidak menyangka masa kecilmu benar-benar terpengaruh."
"Kalimat itu tidak sewajarnya diucapkan anak kecil, begitu? Yah, memang kuakui." Telapak Riel bersentuhan dengan kulit pipi. Menutupi sebagian wajah dengan lebar telapak.
Sela bibir Ivanka sempat terbuka. Namun, lagi-lagi mengatup rapat bibir atas-bawah. Diusapnya pertengahan kedua alis. Pekerjaan ini tidak seharusnya melibatkan ragu maupun rasa di dalamnya.
Aku pasti hanya terlalu lelah. Batinnya mengelih, menyiasati kecamuk dengan sejenak memejamkan mata.
"Abaikan kalimat tidak penting itu," buka Riel tak nyaman. Ivanka jelas sepintas melupakan aura menegangkannya menjelma sosok lembut ala perempuan yang menurut Riel, begitu kontras dengan si bintang KLFI yang profesional itu.
Mendatarkan intonasi dan ekspresi, ia menyambung. "Tadi kamu menanyakan semuanya tanpa berpikir, 'kan? Lanjutkan saja. Apa kita sudah selesai? "
Tulang pipi tirus Ivanka menonjol karena tawa kecilnya. Rentang waktu sebelumnya cukup untuk menata balik persona awal.
"Ingin sekali interaksi kita cepat berakhir?"
"Aku tidak terlalu tertarik berbincang panjang dengan orang lain, gadis cantik sekali pun." Diliriknya si gadis berkuncir tinggi.
Alis kiri Ivanka bergerak pelan. Sorotan mata menajam, namun tidak dalam konteks tersinggung sama sekali.
"Riel Kilimanjana."
Lagi-lagi, ada apa dengan gadis belia itu? Riel bahkan tidak mendapatkan interval perubahan mimiknya. Mode jurnalisnya dikembalikan sekilat satu petikan.
"Maaf, tapi Ibumu … ?" Ivanka melemaskan intonasinya.
"Sudah tidak ada."
"Sesudah kejadian itu?"
Riel menggeleng sangat pelan. "Sebelumnya. Tubuh Ibu memang lemah tapi sejak kami ditinggal, ia menolak makan dalam porsi normal."
Lutut Ivanka bertumpu satu sama lain. "Apa hal yang paling kamu ingat bersama beliau? Apa yang ingin kamu sampaikan tapi belum bisa kamu lakukan?"
"Kamu yakin kita akan membahas ini?" Pemuda itu mengencangkan bibir. "Ini tidak akan menarik lagi."
Kontak mata diputus sepihak oleh Riel. Pupil sang gadis mengecil, diikuti kelopak mata bawahnya mengatas gemetar.
"Tidak apa, aku juga terbiasa hidup dengan orang tua tunggal."
Sulung Kilimanjana itu bergantian melirik kemudian menghindari wajah Ivanka. Mengulum permintaan maaf yang tidak sanggup terkata.
"Ibu tidak pernah mengeluh selelah apa pun raga dan pikirannya berjuang sendirian," gumam Riel.
Saking banyaknya, Riel tak tahu bagian mana yang lebih berharga dari yang lain ketika menyangkut sang ibu. Namun jika harus memilih, kejadian yang tidak berselang lama dari perceraian orang tuanya menampar kesadaran Riel pertama kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Great Pretender
Ação"Tidak semua orang harus tau apa yang terjadi." Setidaknya itulah yang selalu Larissa Ifiana Tanuarja percaya semasa hidupnya. Siapa sangka? Tidak diakui menjadi hal paling menyakitkan yang terlalu nyata untuk dirasakan. Kehilangan segala impian han...