xxiii. confusion in choose

86 2 0
                                    

"Terlalu mencolok nggak, sih? Kael tipe anak yang nggak suka jadi pusat perhatian."

Sepatu futsal berwarna merah yang dipadu dengan hijau stabilo itu refleks diletakkan kembali Aksa pada tempatnya. Pemuda itu kemudian berkeliling lagi, lantas kembali mengacungkan sepatu lain. Kali ini modelnya sedikit berbeda dengan yang tadi, dan warnanya pun hanya putih dengan garis abu-abu di bagian samping.

"Mungkin ini?" tanya Aksa lagi.

Zania menerima sepatu itu dan menelitinya sejenak. Lantas mengembuskan napas lelah kemudian. "Gue nggak ngerti beli ginian. Jujur."

"Makanya, 'kan, gue ada di sini," sahut Aksa cepat.

Ringisan yang menjadi tanggapan dari Zania. Kemarin malam, dia mengirim pesan pada pemuda itu untuk ditemani membeli sepatu futsal sebagai hadiah ulang tahun Kael. Rencana untuk membelikannya di marketplace batal sebab Zania tiba-tiba merasa itu terlalu tidak niat. Jadilah dia memutuskan untuk membeli langsung ke store-nya.

PR berikutnya adalah, dia sama sekali tidak paham dan mengerti untuk membeli sepatu futsal sendirian. Inginnya mengajak Putra, tetapi pemuda itu sudah sibuk dua harian ini. Zania tidak tega jika harus mengacaukan agendanya. Satu-satunya pilihan lain Zania, yakni Aksa. Sempat terbersit ide untuk mengajak Auriga, tetapi ditepisnya cepat-cepat pemikiran itu. Zania tidak ingin dicap terlalu ngebet sampai urusan membeli kado pun harus mengajak Auriga.

Dan Aksa. Tidak ada masalah. Zania berpikir memang begitu, 'kan, tugas seorang teman? Jadilah mereka berakhir di salah satu mal siang hari ini. Salah satu alasan Zania mengajak Aksa pun sebab hari ini hari Minggu. Pemuda itu libur kerja.

"Sepupu gue yang kelas 11 itu, juga anak futsal di sekolahnya. Tiap ngajakin gue main, gue selalu liat dia pake sepatu jenis kayak gini. Dengan warna lebih nge-jegreng tapi," imbuh Aksa kemudian.

"Jadi ini aja, nih?"

Aksa mengangkat bahu. "Tapi kita masih bisa liat-liat yang lain, kok."

Yang artinya harus berkeliling store lagi hanya untuk memuaskan ego Zania mengenai sepasang sepatu futsal. Dia dan Aksa sudah melakukan itu selama hampir dua jam. Sebuah keberuntungan sebab Aksa tidak pernah berdecak secara terang-terangan kala dia tidak merasa srek dengan pilihannya.

Zania pikir, dia harus segera menyudahinya. Perut yang hanya terisi susu full cream dari pagi ini pun nyatanya sudah amat lapar.

"Ya udah, ini aja, deh. Kita udah keliling hampir dua jam. Dan gue rasa, yang ini cocok buat Kael," ujar Zania.

Aksa hanya mengangguk. Lantas mengantar Zania membawa sepatu pilihannya ke kasir. Meski harganya cukup mencekik uang tabungan, Zania tetap menjatuhkan pilihannya pada sepatu berwarna putih dominan itu. Tak apa. Biar ini sebagai penetralisir kekerdilan jika bersanding dengan kado dari Putra.

Keduanya keluar dari store dengan Zania yang menenteng paper bag berisi kotak sepatu futsal. Suasana mal siang hari itu lumayan ramai. Orang-orang berjejalan di pintu masuk beberapa restoran. Membuat Zania otomatis menghela napas.

"Kayaknya makan dulu kita, kali, ya?" Itu Aksa yang berujar.

"Heum. Tapi nyarinya yang sepi aja, biar nggak waiting list. Jujur, gue udah laper banget."

"Tadinya mau ngajakin ke Sushi Tei. Mau, nggak?"

"Seperti ucapan gue tadi, asal nggak ada pake acara waiting list."

Dan keduanya langsung berjalan menuju restoran tujuan. Yang ternyata belum sampai di depan, Zania sudah berhenti dan mengerang frustasi. Banyak orang. Banyak sekali. Hal tersebut sempat membuat Aksa merasa bersalah sebab terlalu memaksakan kehendak.

Mistake Our Ineffable [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang