Petir menggelegar menandakan hujan akan segera turun. Gerimis nampak mulai membayangi jalan beraspal. Aku merogoh saku baju dan celana. Hilang. Ongkos angkot dari Ibu benar-benar hilang. Jika dipaksakan jalan kaki, sudah pasti akan kehujanan. Saat sedang menunggu angkutan umum lewat, dari kejauhan terlihat ada anak SMA melambatkan laju motornya, setelah dekat dia menyapa."Kau nunggu siapa?"
"Angkot," jawabku.
"Nunggu angkot? Dari tadi angkot banyak yang lewat, kenapa tidak kau berhentikan?"
"Nunggu angkot yang biasa aku naiki, soalnya uang untuk ongkosnya hilang."
"Oh. Memang dimana rumahmu?"
"Rumahku jauh."
"Iya, dimana? Biar aku antar!"
"Tidak usah."
"Sudah ayo aku antar, bentar lagi mau hujan loh!"Meski awalnya ragu, akhirnya aku menerima tawarannya.
"Berhenti di sini!" kataku setelah dekat dengan rumah.
"Di sini rumahmu?"
"Iya. Mampir dulu, yakni! Hujan sudah mulai turun."
"Aku pulang saja. Lagi pula bawa jas hujan."
"Hujannya deras, lebih baik nunggu reda di dalam."
"Ya udah. Oh iya, kita belum kenalan namaku Herman. Kamu?"
"Aku Putra."Aku membawa Herman masuk. Ibu dan Ayah memperlakukannya sangat baik, karena sikap Herman yang sopan dan rendah hati. Satu jam kemudian hujan reda. Herman pamit pulang.
Sejak perkenalan itu, aku dan Herman menjadi akrab. Herman banyak bercerita tentang kehidupannya. Kedekatan dan rasa nyaman bersamanya, lambat laun menimbulkan perasaan lain. Aku serasa memiliki seorang Abang. Hingga pada suatu hari, kuberanikan diri menyampaikan perasaan.
"Bang, aku boleh ngomong tidak?"
"Apa, De?"
"Tapi aku takut Abang marah dan benci nantinya!"
"Kenapa harus marah? Kau itu udah Abang anggap ade sendiri."
"Beneran tidak a akan marah?"
"Bilang saja!"
"Aku sayang sama kamu, Bang!"
"Apa, De?"
"Aku sayang, aku cinta kamu, Bang."
"Apa kau yakin dengan apa yang kau katakan itu?"
"Aku yakin. Abang jangan marah, ya!"
"Tidak De, justru Abang senang."
"Senang bagaimana?"
"Senang akhirnya orang yang abang suka bilang cinta."
"Jadi selama ini Abang menyukaiku?"
"Iya, cuma tidak berani bilang takut kau menjauh."
"Jadi Abang mau terima aku?"
"Iya De, Abang sayang sama kamu."
"Makasih Bang, aku senang."
"Iya, aku juga."Sejak saat itu kami berdua pacaran.
Kami sama-sama saling mengetahui memiliki sisi lain, karena itulah saat aku mengatakan perasaan, Bang Herman justru telah mengetahuinya sejak lama. Usia kami tidak terlampau jauh. Aku tiga tahun lebih muda darinya.
Lulus SMA, aku kuliah di universitas yang sama dengan Bang Herman.
Hubungan cinta antara aku dan Bang Herman kami tutup rapat-rapat karena orangtuaku yang cukup kuat memegang agama, sudah pasti akan menentang keras hal ini.
Selama ini aku dan Bang Herman belum pernah melakukan hal yang di luar batas, itu karena sikap dari Bang Herman sendiri. Dia bilang tidak akan pernah meminta atau melakukan sesuatu yang tidak siap aku perbuat. Ya! Selama ini aku masih bisa menjaga kesucian diri. Hingga suatu ketika apa yang dipertahankan selama ini lepas juga.
Sepulang kuliah tidak langsung pulang. Bang Herman memintaku untuk menemaninya di rumah. Kedua orangtua dan adik perempuannya pergi selama tiga hari menengok pamili yang sedang sakit keras.
Pukul lima sore aku sampai di rumahnya."Kalau kau mau mandi, handuknya ada di jemuran. Di lemari Abang ada banyak baju yang sesuai dengan ukuran badanmu," ucap Bang Herman.
"Iya, Bang."
"Abang mau nyiapin makanan. Oh iya! Kau mau dimasakin apa, De?"
"Apa saja, kalau Abang yang masak rasanya pasti enak."
"Kau ini selalu saja memuji."
"Aku tidak sedang memuji, Bang."
"Ya sudah, terserah. Mandi yang bersih ya, Sayang."Aku berlalu ke kamar mandi dan berganti pakaian.
Aroma masakan tercium sangat kuat aku ke dapur untuk mengetahui apa yang dimasak oleh bang Herman.
"Masak apa, Bang?"
"Kari ayam," jawabnya tanpa melihat ke arahku.
"Wah! Ini adalah masakan kesukaanku."
"Karena itu Abang membuatnya, tadi pagi sebelum berangkat kuliah, Abang sudah mempersiapkan bumbu dan merebus ayamnya."
"Oh, iya!"
"Coba kau cicipi, apa yang kurang?"
"Sebentar."