Part 28: Menunggu

47 19 17
                                    

Raga tidak benar-benar pergi keluar untuk tanda tangan dan bertemu klien seperti biasa, sebenarnya dia hanya berusaha menghindar dengan mengajak Rita sebagai bentuk kesungguhan. Kasihan pegawainya itu kena imbas antara Hening dan Raga. Pria itu mengantar Rita ke rumah, menyuruh gadis itu untuk pulang lebih awal, tentu dengan senang hati gadis itu hanya bisa menurut.

Sebelum Rita benar-benar turun dari mobil, dia menoleh ke arah Raga sembari berkata, "Pak, saya rasa Hening bukan perempuan seperti itu. Yakin banget, dia perempuan baik-baik, saya harap Bapak dan Hening bisa berbicara empat mata dan mencari jalan keluarnya. Tidak bagus menghindar seperti ini terus." Setelah berkata demikian, Rita pun turun dari mobil. Raga hanya bergeming enggan menanggapi. Dia mendapat cecaran pertanyaan dari Rita di sepanjang jalan, jadilah pria itu menceritakan keadaan yang sesungguhnya.

"Jalan, Pak," ujar Raga dengan pelan, lalu mobil itu pun kembali melaju.

Ada beberapa panggilan dari Aden yang sengaja Raga diamkan, pasti laki-laki itu hendak membela kakaknya, sudah jelas. Raga akan mengangkatnya nanti, tidak untuk sekarang. Hembusan napas kasar keluar dari rongga ruang pernapasannya. Tubuhnya bersandar sambil melempar pandang pada jalanan di luar, hari itu sangat terik, banyak juga kendaraan yang berlalu-lalang. Sebetulnya, tingkahnya ini memang kekanakan, Raga sendiri pun sadar itu. Hanya saja, rasa kecewa yang entah datang dari mana melambungkan gengsinya untuk melunak pada Hening.

Dia hanya tidak suka dibohongi, itu saja. Memang ucapan Danar saat di Rumah Makan waktu itu sempat membuatnya emosi, tapi dia tidak bermaksud sampai mendiamkan Hening seperti ini, bagaimana lagi karena sudah terlanjur diam, sebab mulut dan hati selalu berkata lain. Raga masih butuh waktu.

Meskipun begitu, selama 3 hari ini Raga tentu saja tidak tinggal diam. Dia mencari tahu niatan busuk Danar, sesungguhnya Raga tidak menyangka sepupunya akan bertindak sejauh itu, sampai menguntit Sayani dan mengancam Hening. Rasanya, sudah keterlaluan. Raga harus segera bertindak, jika Danar bisa menyuruh orang untuk melancarkan aksi, sesuatu yang mudah bagi Raga untuk melakukan hal yang sama. Sepertinya kali ini sudah tidak bisa lagi Danar disogok dengan es cendol.

Sebuah panggilan masuk diterima oleh Raga. "Cari tahu soal penguntit itu, kalau perlu langsung ringkus saja bawa ke polisi, kamu paham kan saya bayar untuk apa? Bukti semua sudah ada, jalani sesuai rencana." Rentetan kata itu ia sudahi dengan sorot mata nyalang.

***

"Neng yakin mau nunggu Pak Raga?" tanya salah satu pekerja yang berniat pulang karena hari telah berganti jingga kemerahan, yang artinya sudah hampir maghrib. Pekerja itu memang pulang lebih lama hari ini karena sebelumnya harus mengurus taman milik Raga, ditambah membersihkan kolam. Sedangkan Nila dan Enzi sudah pulang dari siang tadi, tumben kali mereka pamit begitu saja. Jengkel sekali rasanya mengingat senyum Nila yang sombong itu.

Hening yang bergeming di ruang tamu pun mengangguk pelan, senyumannya tertarik beberapa mili. "Iya, Pak. Biar saya saja yang mengunci rumah nanti." Gadis itu beranjak dari sana, menerima kunci duplikat dari pekerja laki-laki berumur sekitar 40-an tahun. Pria itu pun mengangguk paham lalu berpamitan kepada Hening.

Hening mendesah berat, perutnya keroncongan karena hanya makan bakso dua biji tadi siang, teman kerjanya tentu menatapnya khawatir tetapi Hening merasa tidak ada selera untuk makan. Bahkan sampai jam segini, pikirannya hanya dipenuhi dengan cara meluluhkan hati Raga. Jangan sampai pria itu memutuskan kesepakatan mereka secara sepihak, meski kemungkinan kecil, tapi bisa saja kan?

Pintu rumah Raga ditutup, dia berjalan lunglai ke arah sofa depan TV. Ingin makan tapi tubuh tidak mengizinkan. Ini ya yang dinamakan galau? Lucunya, galau karena perasaannya sendiri terhadap Raga.

"Ning, Ning ... hidup lo udah susah sekarang tambah galau karena cinta. Kesialan bertubi, merana oh merana," monolognya sambil duduk di sofa empuk.

"Lagian susah betul sih tinggal bicara, omongin baik-baik, kelar kan urusan? Kenapa gue sampai harus ngejar kayak gini? Terus, hubungan kami kan cuma pura-pura, dia kenapa harus marah kayak gitu coba?" Lagi, Hening berbicara lantang, sudah seperti orang mabuk. Tapi, mumpung tidak ada orang di rumah.

Hening mengeluarkan gawainya dari dalam tas, lalu menekan salah satu tombol dan menampakkan gambar lockscreen di mana ia, Raga, dan Enzi terlihat bahagia. Momen itu diabadikan saat mereka bertiga bermain mandi bola beberapa waktu yang lalu, ah, jika diingat kembali sangat menghangatkan hati. Lambat-laun, tubuhnya pun terasa berat, terutama kedua matanya. Rasa lapar juga emosi yang meluap terasa tidak sebanding, yang menyebabkan kantuk luar biasa.

***

Bunyi besi pagar rumah Raga yang digeret untuk dibuka mengisi keheningan sekitar rumahnya. Mobil venturer hitam perlahan masuk, sampai mobil itu terparkir sempurna di dalamnya. Raga pun turun, diikuti supir yang berpamitan untuk pulang menggunakan motornya sendiri yang terparkir di halaman.

Langkah tegas pria itu masuk menuju teras rumah sambil menenteng tas plastik berisi roti bakar cokelat kesukaannya. Udara malam masih menyapa, seketika dia mengernyitkan kening saat tidak bisa membuka pintu rumah ketika memasukkan kunci. Kunci itu seperti stuck di sana dan tidak dapat berputar. Beruntung akalnya menggerakkan kuasa untuk segera menekan tuas pintu ke bawah dan mendorongnya, pria itu sontak terkejut karena dapat dibuka begitu saja.

Maling?

Lampu masih menyala, keadaan di ruang tamu terlihat masih normal. Lantas pria jangkung itu buru-buru masuk untuk mengecek segalanya setelah mengunci pintu. Saat memasuki ruang tengah, kedua kalinya dia harus dikejutkan dengan keberadaan Hening yang tidur meringkuk seperti anak kucing di sofa, gadis itu tampak pulas dengan raut wajah setenang air.

Ah, benar-benar gadis ini.

Seakan terbius, Raga berjalan mendekat sambil menaruh makanannya di atas meja. Dia bercangkung di hadapan Hening. Maniknya menatap lekat dalam keheningan, kuasa milik Raga bergerak menyingkirkan surai si gadis yang sedikit berantakan mengusik tidur lelapnya.

Perlahan, kelopak mata Hening terbuka, manik hazel-nya menyapa milik Raga. Kedua mata cantik itu mengerjap pelan, dengan wajah bangun tidurnya. Hening pun tersenyum hangat menampilkan deretan giginya dengan lugu. Kuasa lentik gadis itu tergerak untuk menyentuh alis Raga, meniti senti demi senti pahatan rupawan yang Tuhan buat dengan sempurna.

"Mas udah pulang? Apa ini cuma mimpi?" Suara parau itu membuat Raga sedikit terhenyak.

Raga menjauhkan wajahnya, menguburkan segala ucapan yang hendak keluar dari mulutnya. Gawat, dia baru saja terpesona, oleh Hening. Kenapa panggilan itu sangat berpengaruh sekali? Rasanya pertahanan dinding Raga sudah luruh sepenuhnya.

"Sudah makan?" Raga mengulurkan tangannya, mengalihkan perhatian. Ia meraih tas plastik makanan lalu duduk di sofa seraya mengeluarkan roti bakar cokelat yang masih hangat.

Hening menggeleng masih dengan posisi semula, menempel pada sofa dengan keadaan menyamping. "Bantuin, Mas. Badanku lemes banget nggak bisa gerak ... kalau nggak mau bantu, aku mau tidur lagi aja." Gadis itu bukan sedang merajuk, serius, badannya terasa sangat lemas. Sepertinya dia betulan akan datang bulan.

Raga menaruh rotinya kembali ke meja. Dia mendekatkan raganya pada Hening, sembari menarik pelan tubuh ramping si gadis sampai berhasil merubah posisi menjadi duduk. "Badanmu hangat, kamu sakit?"

Gadis itu bersandar lemas pada sofa. "Lapar, Mas. Habis makan nanti juga sembuh sendiri."

Ya ampun, Ning. Raga tidak habis pikir, bisa ya sampai anget badannya karena belum makan?

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MitambuhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang