Chapter 3 : Pemilik tatapan teduh

26 6 0
                                    

“Untuk hadirmu aku hargai, tapi tolong jangan pergi, aku sudah tak berani sendiri”


Seorang gadis dengan lebam di rahang kirinya berjalan dibawah sinar rembulan.

Sekujur tubuhnya meronta, meneriakkan kata ‘sakit’, tapi sepertinya sang pemilik tubuh tak selemah itu, ia tetap berjalan dengan kepala terangkat, tak sedikitpun menunduk.
Sesekali gadis itu tersenyum ketika otaknya memutar memori indah di masa lalu.

“Nara….” Nara yang mendengar namanya disebut dengan begitu lantang terkejut, ia menyipitkan matanya guna melihat lebih jelas kedepan.

Seseorang yang memanggil Nara dari kejauhan itu mulai berjalan mendekat.

“Ngapain malem-malem gini keluyuran ra?” seorang lelaki dengan jaket coklat ditubuhnya bertanya dengan ekspresi khawatir yang kentara.

“Gapapa, lagi pengen jalan-jalan aja.” tangannya yang membawa berkas-berkas lamaran kerja ia bawa kebelakang, tak ingin seseorang dihadapannya melihat.

“Jangan bohong. Kamu juga gak berangkat sekolah hari ini, kenapa?” ia bertanya dengan lebih mendekat kearah Nara, karena lampu yang menerangi jalan tak terlalu terang, bahkan dapat dikatakan sangat redup.

Nara menunduk, menetralisir pusing yang tiba-tiba menyerang kepalanya.

“Aku serius Bian. Ha-hari ini aku lagi kurang enak badan aja, mangkannya gak berangkat.” Ucapnya terbata.

Melihat lawan bicaranya yang tiba-tiba menunduk membuat Bian bingung, ia meraih dagu Nara, dan betapa terkejutnya ia ketika melihat lebam pada rahang kirinya.

“Tadi gak sengaja jat-“ belum sempat menyelesaikan ucapannya, Nara terkejut ketika Bian menarik tangannya.

“Bian mau kemana?” tanya Nara sembari mengikuti Langkah pria itu dari belakang.

“Obatin luka kamu.”

Setelah itu tak ada lagi percakapan diantara keduanya. Mulut mereka bungkam, namun otak mereka terus melontarkan banyak pertanyaan.

Dia adalah Bian, teman satu sekolah Nara. Tidak, mereka lebih dekat dari sekedar teman sekolah, Nara yang mengganggap Bian seperti malaikatnya, entah dengan Nara menurut Bian.

Mereka sudah saling mengenal sejak duduk dibangku SMP. Ketika Nara memiliki begitu banyak luka dalam hidupnya, Bian hadir dengan tangan yang mengulur, seolah meminta gadis itu untuk meraihnya.
Bian dengan segala bantuannya, membuat Nara merasa dihargai, setidaknya ada seseorang didunia ini yang memintanya untuk tetap bertahan.

Masih dengan tangan saling tertaut, Bian menghentikan langkahnya didepan sebuah warung kecil.

“Permisi bu, minta es batunya sedikit.” Ucap Bian kepada sang pemilik warung.

Tak lama, sang pemilik warung kembali menghampiri Bian dengan es batu ditangannya, “Ini mas.” ucapnya.

“Terimakasih bu, ini uangnya, kembaliannya ambil aja.” Bian menyerahkan uang berwarna hijau, lalu segera mengambil es batu tersebut.

Bian membawa Nara untuk duduk disalah satu kursi didekat warung, mereka duduk dengan saling berhadapan.

Bian segera melepaskan jaket miliknya, lalu membalut es batu ditangannya dengan jaket miliknya.
Beruntung jaket yang ia pakai hari ini tak terlalu tebal, jadi ia tak perlu merobek bajunya untuk mengompres luka Nara.

Dengan telaten Bian mengompres lebam Nara, sangat hati-hati, takut jika terlalu keras gadis itu akan sangat kesakitan.

Dengan jarak sedekat ini, Nara dapat melihat dengan jelas wajah Bian dihadapannya.
Tampan, kata itu dapat menggambarkan seorang Bian bagi Nara saat ini.

“Nanti sampai rumah dikompres lagi.” Bian menatap mata Nara, tatapannya teduh, tak ada emosi pada tatapan itu, hanya ketenangan yang terpancar.

Nara mengangguk, “Terimakasih.”
Senyum kecil terbit pada bibir Nara.

Sunyi hinggap beberapa sesaat, sebelum salah satu diantara mereka memutus pandangan dan memilih untuk melihat langit.

“Kayaknya mau hujan.” Ucap Nara.

“Iya.” Bian menjawab, namun matanya terus menatap perempuan didepannya.

“Nggak ada bintang malam ini.” Kali ini Nara berucap dengan menatap lawan bicaranya.

“Kenapa? Suka bintang?”
Nara mengangguk, kemudian ia berdiri, “Aku duluan ya, kamu langsung pulang.” Belum sempat Bian menjawab, Nara sudah berlari terlebih dulu.

Nara tau betul, jika ia terus berlama-lama disana, itu tak akan baik untuk perasaannya.

Tatapan yang Bian layangkan untuknya membuat Nara berharap lebih, ia takut, takut jika perasaannya tak terbalas nantinya, jadi ia lebih memilih untuk tak pernah memiliki perasaan apapun untuk pria itu.

Ditemani desis angin malam, sunyi yang tiba-tiba hadir, dan sepi yang menyiksa hati.
Sudah cukup untuk hari ini, luka dan likunya hari ini cukup disimpan hati, untuk pikiran mari kita lupakan.

Nara sudah sampai dirumahnya sejak beberapa menit yang lalu.
Namun gadis itu seperti enggan untuk masuk, ia berdiam diri didepan rumahnya, duduk dengan bersandarkan dinding, memeluk erat kedua lututnya, dan memandang langit yang begitu gelap.

“Nara harus apa Tuhan?” lirihnya.
Setelahnya gadis itu kembali diam, membiarkan angin malam menerpa tubuhnya.






To be continue..




Jangan lupa vote dan komennya yaa

Rinai dalam JENGGALA (On-Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang