Prolog

61 4 0
                                    

We see each other without touch. Without words. Without nothing.


*****

Kemanapun aku menatap, aku selalu melihat mereka. Seperti disana, disebelah pohon beringin, seorang wanita tua berdiri dengan bantuan tongkat kayunya yang terlihat lapuk, menatapku lekat, tak berkedip. Lalu disana, disebelah kursi taman, anak kecil itu terduduk bisu, pucat dan terlihat lemah. Lagi, disana, didepan patung taman, wanita muda itu sesekali tertawa pilu, lalu menatap mawar yang terlihat sudah sangat layu. Mereka ada disemua sisi, memenuhi bagian yang seharusnya tak terlihat mata. Tapi lagi-lagi, aku melihat mereka.


Ya, aku Amaya Puthi. Seorang indigo. Namun aku hanya bisa melihat mereka dalam hujan, terutama dimalam hari. Dan kini, hujan malam menjebakku disebuah bangunan kecil ditaman belakang komplek rumahku, memaksaku untuk berteduh. Bersama mereka, makhluk tak kasat mata.


Sebenarnya ini bukan kali pertamaku datang kesini. Dulu, saat aku masih berumur 7 tahun -sekitar kelas 1 SD, aku sering bermain disini dengan temanku, Goro -Budhi Anggoro. Kami dulu satu sekolah. Dia sama denganku, bisa melihat hal-hal yang tak kasat mata. Bedanya, dia bisa melihat dan berinteraksi dengan mereka kapan saja.


Keseharian lebih seringku habiskan berdua dengannya. Bukan karena aku introvert atau tak punya teman. Aku pintar berkamuflase. Berpura-pura bahwa aku sama dengan mereka, tidak bisa 'melihat'. Tapi bagaimanapun, hanya Goro yang mengerti, hanya Goro yang tau dan hanya Goro yang menerima 'rahasiaku'.


Saat kami naik kelas 2 SMA, Goro tiba-tiba jatuh sakit. Dia koma selama 3 bulan. Aku tak tau apa penyebabnya. Kemudian, ayahnya memutuskan untuk membawanya ke sebuah rumah sakit di Singapura. Meninggalkan Bandung. Meninggalkanku.


Malam sebelum Goro dibawa ke Singapura, aku tak bisa tidur. Aku mengendap dari rumah orangtuaku menuju rumah sakit, tak peduli hujan. Aku ingin melihat Goro. Entah kenapa aku merasa seperti akan benar-benar berpisah dengannya. Dan disana, dikamar persegi rumah sakit, aku menemukan Goro terduduk di kasur tempat tidur menghadap jendela, membelakangiku.


Setengah tak percaya, aku menghampirinya hingga mata kami bertemu. Tanpa kata, kami saling menatap lekat. Kemudian aku gemetar, aku tersadar dan berniat memanggil suster sebelum ia memelukku, begitu lembut dan hangat. Lalu Ia berbisik,


"Mungkin kematian itu adalah satu cara agar kita bisa tetap bersama dengan seseorang. There's words, but no hug."


Lalu dia tersenyum. Seakan bisa melihat kegelisahanku, dia berkata lembut,


"When I return, I'll never gonna leave your side."


Dengan ditemani hujan malam itu, air matanya menetes. Ia menangis. Dan tak jauh dibelakangnya, aku dapat melihat sosok ibunya yang telah meninggal, sosok yang selalu bersamanya, berdiri menatap kami.


Wajah sosok itu terlihat sedih namun tegas. Dapat kulihat bibirnya tergerak seperti mencoba mengatakan sesuatu padaku.


"Replace me."


Apa maksudnya? Apa yang telah terjadi pada Goro?


*****

maaf yah kalo ceritanya aneh hahaha, masih belajar dan coba-coba. Jadi, kalo kalian punya ide, kritik, maupun saran, boleh disampein lewat comment yaaa..

anyway, makasih udah bacaaa :)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 22, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A M A Y ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang