Sudah dua bulan sejak Ezar secara resmi menyandang gelar Sarjana Pendidikan, tetapi masih menganggur di rumah. Ezar mengaku tidak mau jadi guru karena takut akan menyesatkan anak muridnya. Padahal sebagai lulusan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Ezar ditujukan untuk menjadi seorang guru setelah lulus. Sayang sekali sejak awal Ezar masuk ke jurusannya tidak pernah ada pikiran untuk menjadi seorang pengajar.
Setiap hari omelan dan omongan pedas Papa Mama adalah hal lumrah. Mereka tidak pernah mendukung keputusan Ezar masuk ke jurusan pendidikan. Namun, mau bagaimana lagi? Ezar sudah terlanjur terjerumus dan sayang kalau mengundurkan diri. Menurut Ezar jurusannya juga masih selaras dengan passion yang ia miliki kecuali dalam bagian mengajar. Ezar itu lebih pandai menyimpan ilmu untuk diri sendiri daripada membagikannya pada orang lain.
"Coba kamu itu kalau nggak mau kerja jadi guru, lanjut aja S2 daripada nganggur nggak jelas kayak gini, Kak. Papa juga sudah bilang mau biayain S2 kalau kamu bersedia," celetuk Azrina di tengah-tengah kegiatannya menonton drama Korea. Wanita itu sudah mencoba memberi motivasi pada anak tengahnya tersebut, tetapi nihil. Sekarang pun Ezar hanya menggumam tidak jelas sebagai jawaban.
"Kakak dengerin Mama nggak, sih?" Azrina kesal. Sedari tadi Ezar malah sibuk menarikan jemari di atas keyboard laptop.
Mereka berdua sedang bersantai di ruang tengah. Azrina menonton drama Korea kesukaannya, sementara Ezar mengerjakan sesuatu di laptop. Ezar merasa sumpek di kamar jadi memilih melipir ke ruang tengah yang adem. Sayang sekali sang ibu juga ada di sana.
"Denger," kata Ezar sekenanya. "Mama lanjut nonton drama aja. Kasian tuh om-om gantengnya Mama anggurin."
"Kamu ngerjain apa, sih? Kayak orang sibuk aja fokus sama laptop terus," dumel Azrina. Sedikit melongok untuk melihat apa yang dikerjakan oleh putranya. Namun, penglihatan Azrina tidak sebagus itu untuk bisa melihat tulisan di layar laptop Ezar.
"Freelance, Ma."
"Freelance apa?"
"Jadi content writer. Lumayan dapatnya, biasa buat tambah uang bulanan dari Papa," tukas Ezar. Masih sibuk mengetik dengan bebas di atas keyboard.
Azrina memberikan raut tak suka. "Emang uang dari Papa itu kurang? Sampai kamu lebih milih jadi freelancer yang nggak jelas itu daripada lanjut S2?"
"Siapa, sih, yang nggak mau lanjut S2?" Ezar lama-lama geram juga. Memang sudah dasarnya emosi lelaki itu setipis tisu dibagi dua. Sekarang sang mama malah terus berusaha menyulutnya. Ezar lantas segera menutup Microsoft Word di laptop. Kemudian menaruh benda tersebut yang semula ada di pangkuan ke atas meja. "Mulai dari sebelum wisuda aku udah bilang, aku mau S2 ke Inggris karena dream university-ku di sana semua. Tapi Mama sama Papa nggak kasih restu. Terus sekarang malah nyuruh-nyuruh aku S2. Yang salah siapa coba kalau udah gini?"
"Universitas bagus di Indonesia banyak, Kak. Kamu juga lulusan S1 di Indonesia. Apa salahnya kalau dilanjut di Indonesia aja?" balas Azrina. Alis wanita tersebut menukik makin tajam.
"Bukan masalah bagusnya. Aku pengen kuliah di Inggris bukan sekadar pengen, Ma. Itu mimpi aku. Dari dulu aku selalu pengen kuliah di sana, tapi Mama sama Papa nggak pernah dukung. Takut inilah itulah." Ezar beranjak berdiri sembari menggaet laptopnya. Niat hati menyegarkan pikiran di luar kamar, tetapi yang ada malah makin runyam. "Kalian itu nggak ngerti. Kalian nggak pernah ngerti."
"Ezar!"
Kamar Ezar ada di lantai satu. Masih satu lantai dengan ruang tengah. Satu-satunya kamar selain kamar tamu. Lelaki itu membanting pintu kamar sekencang mungkin. Seolah-olah ingin Azrina tahu kalau ia sedang marah dan Ezar tidak semudah itu untuk diperintah ini-itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Melody of My Heartbeat ✓
Storie d'amoreEzar selalu takut kala hening merebak dan hanya terdengar suara degup jantungnya yang begitu cepat. Namun, ketika pertama kali bertemu Maretha, tidak ada perasaan takut itu dalam diri Ezar. Jantungnya berdegup kencang dan seperti ada kupu-kupu berte...