"Mba Rania sibuk apa di rumah?" Seorang tetangga menyapa perempuan berusia 25 tahun ketika dia pergi ke warung di depan rumahnya. Perempuan itu hanya tersenyum meski tentu saja tidak menyukai pertanyaan dari ibu-ibu yang menatapnya dan tersenyum seolah pertanyaannya adalah sebuah hal yang sangat wajar. Tentu saja wajar, jika pertanyaan itu tidak pernah diucapkan oleh orang lain tentu itu adalah hal yang sangat wajar. Tapi Rania tahu, pertanyaan itu adalah satu dari sekian banyak pertanyaan yang ingin tetangganya ucapkan ketika melihat wajah perempuan itu.
"Ada Bu, kan bisa kerja dari rumah." Rania menjawab ringan dan masih berusaha tersenyum sebelum pertanyaan berikutnya dia dengar. Perempuan itu mencoba mempercepat belanja gorengan dan juga lontong meski dia menutupi gerak-geriknya yang sudah tidak nyaman itu.
"Bisnisan begitu ya? Jualan?" Ibu tetangga Rania kembali bertanya membuat perempuan itu tersenyum memasukkan lima buah lontong ke tas plastik meski masih menunggu mendoan yang masih di goreng di belakang.
"Bisa dikatakan seperti itu." Rania menjawab dengan jelas dan masih mengembangkan senyum di wajahnya itu.
"Iya juga ya, kalau bisa kerja di rumah kenapa juga harus keluar rumah. Lagi pula Mba Rania kan tetap dapat uang saku dari Ibu Bapak." Sebuah kata yang cukup membuat perempuan itu terdiam sejenak meski masih berusaha menyunggingkan senyum. Dia memeriksa sebentar ke dalam warung, tapi mendoan masih belum selesai di goreng.
"Engga juga Bu, saya kalau bisa cari uang sendiri ya sendiri saja, tidak dapat dari siapa-siapa." Rania seolah memperjelas posisi sumber keuangannya. Ibu tadi sepertinya mendengarkan Rania sambil memeriksa sayuran yang akan dia beli.
"Gak masalah juga untuk Mba Rania digaji oleh adik sendiri, kan ngurus ponakan." Kalimat lain yang rasanya membuat Rania sungguh ingin berontak dan berteriak sekeras mungkin untuk membela dirinya. Meski begitu dia masih tersenyum.
"Enggak kok Bu, saya cari uang sendiri." Rania akhirnya memperjelas jawabannya.
"Mba Rania ini mendoannya sudah selesai di goreng." Rania tersenyum menerima plastik putih yang berisi sepuluh buah tempe mendoan yang masih panas. Dia kemudian memberikan sejumlah uang dan menundukkan kepalanya sedikit untuk undur diri dari Ibu tetangga yang masih memilih sayur tadi.
Rania masuk ke dalam rumah, tentu saja kedua orang tuanya sudah menunggu karena Rania membeli lontong dan mendoan untuk sarapan ketiga orang yang tinggal di rumah itu.
"Masa tadi si Ibu yang tinggal di ujung jalan sana dekat kuburan mengira kalau aku dihidupi oleh adikku." Rania terlihat menyampaikan apa yang dia dengar baru saja. Perempuan ini selalu saja kesal dengan komentar-komentar tetangganya.
"Terus kamu jawab apa?" Laki-laki yang sedang membuka lontong dan bersiap mengambil gorengan itu terlihat kesal sama seperti Rania.
"Ya jawab cari uang sendiri lah." Rania menjawab dengan suara yang lebih lantang untuk melampiaskan kekesalannya.
"Mungkin karena di sekitar sini semua orang yang membantu keluarganya selalu saja diukur dengan uang?" Rania kembali mengatakan seuatu yang kali ini membuat wanita yang menjadi Ibunya selama 25 tahun itu tersenyum.
"Memang gak semua orang seperti kamu, jadi ya sudah tidak perlu kamu pikirkan." Ibunya membuat Rania kembali berbesar hati meski dia masih terlihat kesal.
"Masalahnya aku sama sekali tidak pernah menerima uang dari adikku, untuk jajan saja aku cari uang sendiri. Kenapa seolah-olah dia menghidupi aku?" Rania kembali berkomentar dengan kesal.
"Gak perlu dipikirkan omongan tetangga begitu, mereka juga pernah bertanya pada Bapak. Tapi Bapak juga menjawab santai jika kamu melakukan banyak pekerjaan yang mungkin tidak bisa dipahami oleh mereka." Laki-laki yang sudah menghabiskan lontong dan mendoan itu kemudian menggeser gelas berisi teh manis miliknya.
"Benar, mau dijelaskan seperti apapun juga mereka tidak mengerti." Ibu Rania membuat perempuan itu kemudian berjalan menuju ke kamarnya.
Keahlian yang dimiliki Rania memang bukan hal yang terlalu baik meski sebenarnya dia juga bisa menggunakannya di jalan yang benar. Rania lebih memilih merasa benar melakukan beberapa hal dengan orang-orang yang satu pemikiran dengannya di dunia maya.
[Kenapa belum on?] Rania mendapatkan pesan dari sebuah aplikasi rahasia yang dia gunakan bersama empat orang lainnya. Mereka bekerja bersama-sama di dunia maya meski belum pernah bertemu di dunia nyata satu sama lainnya. Rania meraih laptopnya dan kemudian menyalakannya. Perempuan itu mengunci pintu kamarnya seolah bersiap melakukan sesuatu dengan temannya yang lain.
[Semua sudah bersiap?] Sebuah pesan kembali diperoleh oleh Rania dalam sebuah grup.
{Bukankah hari ini kita tidak punya rencana seperti ini? Kita masih memilih target?} Seorang dengan ID Ze mengirimkan pesan. Rania juga menyadari jika ini bukanlah hari dimana mereka akan melakukan operasi.
[ Ze benar, kita bahkan belum menemukan target. Ketika kita lebih cermat menentukan target maka kita akan lebih aman. Seperti sebelumnya. Kita hanya menatap jauh tempat yang penuh dengan debu.] Seseorang dengan ID Ranger 99 mengungkapkan sesuatu yang membuat Rania tersenyum.
[R99 benar, maka bantulah untuk menemukan target seperti biasa, kita semua harus memeriksa sampai kemungkinan yang tidak pernah dilihat oleh orang lain. Para tikus menyembunyikan keju bahkan sampai lubang yang tidak bisa dilihat manusia.] Orang lain dengan ID Aida00 membenarkan anggota lainnya. Rania tersenyum karena chat yang dia baca. Mereka memang masih saling mendukung satu sama lain dan hampir tidak pernah terjadi salah paham meski mereka hanya berkomunikasi tanpa melihat seperti apa mereka satu sama lain.
Baru sekitar lima bulan ini dan mereka berlima baru mengerjakan dua proyek besar dalam kurun waktu lima bulan. Tidak ada tanda mereka di curigai oleh siapapun.Mereka selalu berbagi informasi jika kemungkinan bertemu atau ada orang yang mengawasi mereka. Bahkan Rania merasa dia aman berada di lingkungannya meski dia mendengar berbagai celoteh tetangganya yang selalu membuatnya kesal.
[Hei Naughty? Apa kamu sama sekali tidak ingin mengatakan apapun? Biasanya kamu punya banyak informasi tentang beberapa target.] Chat kembali masuk dan memanggil Rania untuk ikut berkomentar di grup tersebut. Rania memeriksa laptop yang tadi dia nyalakan. Beberapa informasi yang dia kumpulkan memang ingin dia sampaikan kepada rekannya di grup tersebut.
"Nyalakan microfon? Aku tidak suka berbagi informasi dengan teks." Rania memulai pembicaraan lima arah. Tidak terdengar jawaban itu artinya mereka semua siap mendengarkan.
"Ada dua orang yang aku rekomendasikan, mereka orang besar di negara ini. Tapi mereka pasti tidak akan melaporkan karena keju itu terlalu mahal dan langka." Rania tersenyum di sambungan alat komunikasi.
"Kirimkan saja datanya supaya kita bisa langsung voting?" Seseorang berkomentar membuat Rania tersenyum lagi.
"Kita punya banyak waktu, jadi sebaiknya jangan langsung voting, tapi kalian bisa mendalami informasinya lagi. Kita butuh waktu yang paling pas untuk proyek ketiga ini." Rania menutup pembicaraan dan kemudian menutup semua tampilan layar setelah dia mengirimkan file ke grup tadi. Perempuan itu kemudian mematikan laptopnya dan memeriksa saldo di rekeningnya. Dia tersenyum melihat angka yang tertera di sana. Setidaknya dia tidak perlu memikirkan banyak hal untuk saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naughty Neighbor
RomanceRania memulai sebuah pekerjaan yang tidak pernah orang sekitarnya duga. Perempuan itu menikmati pekerjaannya untuk beberapa saat dengan penghasilan yang sama sekali tidak pernah dia bayangkan. Satu hal lain yang berjalan lancar adalah perkenalannya...