33. PENERIMAAN

440 98 36
                                    

"Andre? Ngapain dia kesini?"

Belum apa-apa urat Heksa udah mengencang.

"Seharian bikin orang-orang khawatir, tau-tau nongol di sini. Dasar anak ilang!" Heksa menyingsikan lengangannya. Bersiap melabrak Andre. namun belum sampai berjalan ke ruang tamu, tiba-tiba ia memiliki ide lain. "Lo temuin dia dulu aja, Zom. Biar kita tau apa maunya."

"Zom?" Papa Pijar mengulang dengan ekspresi garang.

"Eh, maksud saya Pijar Malam Hari yang cantik jelita, Om." Heksa menangkupkan tangannya seolah mau sungkem.

Tak banyak tanya, Pijar menuruti apa perintah Heksa. Ia melangkah menuju teras lalu menyambut kedatangan Andre dengan tenang. Lelaki itu tersenyum tipis. Matanya yang sejak tadi memendam amarah, kini berubah teduh begitu melihat Gadis yang sangat disayanginya berdiri di hadapannya.

"Sorry, Jar. Gue juga bingung kenapa gue ke sini," ucap Andre tidak tahu harus berkata apa.

Keduanya duduk bersebelahan di pinggir teras. Pijar sudah mempersilahkan Andre duduk di kursi teras namun lelaki itu ingin selonjor. Sembari menikmati sepoi angin dari pohon-pohon di halaman rumah Pijar.

"Kayaknya, sih, temen-temen tak kasat mata lo yang ngendaliin stir gue, deh. Tiba-tiba aja gue udah sampe sini."

Heksa  mengintip di bawah jendela bersama Papa Pijar. Mulutnya sejak tadi manyun-manyun menirukan ucapan Andre.

"Lo nggak tanya gitu, tadi gue nggak masuk sekolah kenapa? Atau kemana?" tanya Andre. Selalu saja begitu. Pijar jauh lebih diam ketika bersamanya.

"Kalau lo mau cerita, boleh kok, Ndre. Tadi Heksa sama Willy kebingungan nyariin lo."

Andre menarik napas dalam-dalam sebelum bercerita. "Gue  nemuin bokap sama keluarga barunya."

Heksa terpaku mendengarnya. Telinganya memang sangat tajam jika digunakan untuk menguping. Padahal jarak tempatnya bersembunyi dengan teras tidak dekat-dekat amat.

"Dan ternyata  apa yang gue liat nggak seperti yang gue harapin." Tatapan Andre tertunduk. Mengarah ke barisan semut yang berjalan  melewati ujung sepatunya. "Ini benar-benar menyesakkan."

Pijar hanya diam. Ekspresinya masih datar. Namun sebenarnya ia juga prihatin. Seolah turut merasakan sakit. Dari cara Andre berbicara saja, sudah menunjukkan betapa lelaki itu menyimpan banyak luka sendirian.

Pijar teringat dirinya yang dulu. Persis seperti Andre. Beban hidup ia pikul seorang . Dimusuhi Papa sendiri sehingga ia pun juga tidak bisa dekat dengan sang adik. Sampai akhirnya Heksa datang di kehidupannya dan merubah segalanya.

"Sekarang gue ngerasa semua punya kebahagiaannya sendiri kecuali gue. Nyokap juga nggak dengerin omongan gue soal Om Dedi. Padahal mata gue ini jelas-jelas liat gimana frustasinya Mama waktu mereka cerai di masa depan."

"Kasih tahu gue, Jar. Cara buat ngerubah takdir seseorang. Selama ini lo sering berhasil, kan?" tanya Andre dengan suara parau.

"Nggak selalu, kok, Ndre. Sering gagal juga. Dan sekarang gue mencoba lebih ikhlas aja seandainya gue gagal." Pijar menjelaskan dengan lembut.

"Ketika lo gagal, itu berarti udah takdirnya. Dan kalau lo berhasil, berarti itu belum takdirnya. Simple." Andre menyimpulkan. "Penglihatan lo nggak selalu bener."

Pijar enggan menyanggah. Karena Andre itu pintar jadi pasti memiliki teori yang masuk akal.

"Sama kayak penglihatan gue, pasti juga pernah salah. Dan gue harap penglihatan gue soal Ginny juga salah." Andre mengucapkan kalimat terakhir dengan suara pelan.

HAPPY BIRTH-DIE 2 (dan kisah di balik mata ajaib Andre)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang