Tidak ada alasan bagi Hanny untuk menerima tawaran Javian tempo hari, soal tawaran laki-laki itu untuk menjadikannya sebagai seorang simpanan. Gila, seberapa besarpun ia merasakan perasaan nyaman terhadap papa sahabatnya itu, Hanny sadar betul kalau menjadi simpanan hanya akan membuatnya terlibat semakin jauh, ia hanya akan menjadi benalu, Hanny tidak yakin bisa mengontrol perasaannya jika Javian terus menerus berada didekatnya, belum lagi perhatian laki-laki itu.
Jadi, daripada ia memikirkan perasaannya terhadap Javian, Hanny memilih untuk menerima perasaan dari Hendry, laki-laki humoris yang bisa membuatnya tertawa setiap berada didekatnya. Hanny nyaman didekatnya, soal perasaan ia akan merasakannya nanti —seiring berjalannya hari bersama Hendry ia yakin perasaan yang sama akan Hanny dapatkan. Hanny yakin bisa mencintai Hendry, sama seperti laki-laki itu mencintainya.
Sudah tiga hari ia menjalin hubungan dengan Hendry, dan selama itu pula ia tidak pernah lagi memikirkan Javian. Hendry benar-benar membuatnya lupa Javian pernah singgah dihatinya.
Sampai ia melihat Javian berdiri didepan pintu mobil mewahnya, dengan setelan formal dan kacamata hitamnya, belum lagi rambut yang ditata rapih kebelakang, membuatnya terlihat berkali-kali lipat mendominasi. Hanny menelan salivanya saat mata keduanya bertemu. Tajam, Hanny tau laki-laki itu marah.
"Kamu kenapa ay? Laper?" tanya Hendry kebingungan melihat Hanny yang semula tengah tertawa lebar, sekarang malah terdiam.
"Hah? Iya," balasnya sambil tekekeh canggung, "makan dicafe biasa aja mau nggak?"
"Apapun buat bocil kesayangan aku."
Javian melihatnya, dari kejauhan gadis kecil kesayangannya berjalan bergandengan tangan dengan begitu mesra, diiringi tawa bahagia yang terdengar menjengkelkan ditelinganya. Sudah hampir sebulan Hanny menghindarinya dengan berbagai cara, dan hari ini, ia malah melihat gadis itu bersama laki-laki lain.
Tangannya mengepal kuat, ia melepas kaca mata hitamnya dan menatap tajam kearah gadis itu, "Hanny!"
Bisa Javian lihat tubuh gadis itu menegang, dan laki-laki disampingnya menoleh kearahnya dengan tatapan bingung. Dan saat ia menghampirinya, Hanny samsekali tidak mau menatapnya.
"Iya? Om siapa?" tanya Hendry sambil mengeratkan genggamannya ditangan Hanny.
Javian mengabaikan pertanyaan Hendry, tatapannya terus menatap kearah Hanny yang tengah menunduk.
"Pulang."
"Maaf?" Hendry mencegah saat tangan berurat Javian menarik paksa tangan Hanny dari genggamannya sampai terlepas.
Kelihatan betul laki-laki dewasa didepannya tidak suka saat ia melakukan itu, dan bagaimana cara pria didepannya menggenggam erat tangan Hanny, ia tau kekasihnya tidak suka.
"Om apa-apaan sih, lepasin tangan Hanny."
Tatapannya masih tajam, Hanny takut tapi juga tidak bisa diam saja jika diperlakukan seperti ini.
"Om, pacar saya nggak suka diginiin, tolong lepasin tangan Hanny dan mending om pergi aja deh. Atau mau saya laporin ke satpam?"
Fokusnya kembali pada Hanny, "mau saya yang bilang atau kamu nurut?" bisiknya penuh penekanan ditelinga gadis kecil itu.
Hanny merinding, rasa takutnya masih jauh lebih besar dibandingkan keberaniannya. Ia juga tidak mau Hendry terlibat dalam masalahnya. Hanny yakin bisa menghadapi ini, ia pastikan hari ini akan menjadi hari terakhir Javian bisa bertemu dengannya.
"A-ay.. ini o-om aku, maaf ya dirumah lagi ada masalah, jadi aku langsung pulang aja ya?"
Bahkan genggaman Javian samsekali tidak mau terlepas dari tangannya.
Hendry yang merasa ada yang aneh tidak bisa berbuat banyak. Sebab, pria dewasa itu sudah langsung menarik tangan kekasihnya masuk kedalam mobil, mengabaikan ucapannya bahkan pria itu seolah tidak peduli samsekali dengan pandangan anak-anak lain disekitar mereka.
"Ay, nanti kabarin aku kalau ada apa-apa," ucap Hendry sebelum pria itu membawanya pergi.
***
Didalam mobil Hanny terus menggenggam erat sabuk pengamannya, Javian bahkan tidak mengatakan apapun saat keduanya duduk didalam mobil dan papa sahabatnya ini main membawa mobil sesuka hati, tanpa memperdulikan dirinya yang terasa seperti akan dibawa mati.
"Om.. Olivia gimana?" tanyanya membuka suara, menahan rasa takutnya dengan kecepatan mobil yang Javian bawa.
Tidak ada jawaban, pria disampingnya sibuk mengendalikan kemudinya, "kita mau kemana om!?"
Lagi-lagi tidak ada jawaban, Javian benar-benar menulikan telinganya, mengabaikan teriakannya yang prustasi setengah mati. Hanny bisa lihat rahang tegas Javian yang menegang, membuatnya berkali-kali lebih mengerikan dengan tatapan tajam kedepan.
"O-om kita mau kemana?" cicitnya mulai ketakutan saat mobil mereka melaju kejalanan sepi yang dikanan kirinya hanya terlihat ilalang tinggi.
Tepat diujung jalan, Javian menghentikan laju mobilnya, memukul stir kemudi kencang dengan teriakan prustasi tanpa mau mengajaknya bicara. Hanny yang tersentak mulai berkaca-kaca, pegangannya semakin kencang pada sabuk pengaman yang ia kenakan.
Lagi-lagi, tanpa mengatakan apapun Hanny dibuat terkejut saat Javian melepas sabuk pengamannya dengan cepat, berpindah tepat diantara kedua kakinya yang Javian tahan agar tetap terbuka, matanya menghunus tajam menatap Hanny. Namun anehnya, Hanny merasa ada guratan kecewa disana, menatapnya mengkilap mengisyarakatkan air mata yang mungkin saja tertampung disana. Tapi kenapa?
"Kenapa.." lirihnya, dengan suara tenang namun tatapan mengerikan itu.
Javian menghela nafas, lantas mencengkram kuat rahang Hanny didepannya. Bibirnya meraup bibir ranum sang gadis dengan rakus, melumat dan menghisap bibir adiktif Hanny tanpa memperdulikan gadis itu yang memberontak kesana kemari. Geram mendapatkan penolakan, Javian mencengkram kuat dengan gadis kecilnya, meletakkannya diatas kepala.
Bibirnya sudah basah, bengkak, bahkan terasa kebas namun kelihatannya, Javian samasekali tidak ingin berhenti sampai ia mencengkram kuat pundak Javian dan menitihkan air mata.
"Sssst," bisiknya sambil menempelkan kening keduanya, nafasnya panas menyapu wajahnya yang terus menitihkan air mata syarat ketakutan.
"Hanny capek."
Sebuah kecupan sensual mendarat tepat dibawah telinganya, membuatnya melenguh tertahan dengan tangan yang berusaha keras menahan dada Javian. Seakan tidak perduli, kecupan itu turun menyapu lehernya, menjilatinya sensual memberikan tanda keuangan disana.
"Emmmmhhh.."
"Kamu tau saya nggak suka punya saya disentuh orang lain kan?" ucapnya dengan suara rendah.
Gadis itu menggelengkan kepalanya kesana kemari, Javian tidak akan melepaskannya begitu saja setelah melihatnya bersama Hendry tadi.
Tubuh Javian sedikit menjauh, hanya untuk melepas kancing kemejanya bersamaan dengan celana kantoran yang tengah ia kenakan. Matanya lurus menatap Hanny yang ketakutan ditempatnya duduk, berusaha keras membuka pintu mobil meskipun hasilnya nihil—Javian tidak sebodoh itu untuk tidak menguncinya.
Tatapan tajam itu seolah tidak bisa melembut sekalipun matanya sudah menangis dan merengek ampun. Javian kembali mendekat, menarik seragamnya hingga kancingnya lepas dan berhamburan, memperlihatkannya payudara besar dengan bra sediki kekecilan. Javian tersenyum miring, langsung menyambar dua benda kesayangannya seperti orang rakus.
Kelanjutannya ada di trakteer yaaa
Ini Ramadhan mau tetep diup gak?
kalo mau, janji bacanya abis buka yaa hahahhahah
KAMU SEDANG MEMBACA
Darkness Think Fangirl - NC-21++ (NCT ot-23)
FanficORIGINAL FICTION! cerita ini hanya fiksi belaka. Saya harap pembaca bisa lebih bijak dalam menanggapi cerita ini. Sekiranya ada yang merasa terganggu mohon untuk tidak membuka work ini. ⚠️Member NCT hanya visualisasi ⚠️Mature ⚠️21++ ⚠️No children