closure

5.9K 784 133
                                    


Seumur hidupnya, Kara nggak pernah merasa seenggak berguna ini ketika menghadapi orang dewasa.

Selama ini, siapapun orang dewasa yang berhadapan dengan Kara pasti akan lebih dulu luluh karena tampangnya yang lucu mirip anak kecil, dan kepribadiannya yang riang dan menyenangkan.

Namun, menghadapi Ibunya Hansa ternyata nggak semudah yang dia bayangkan saat dalam perjalanan menuju rumah lelaki itu.

Dalam perjalanan setelah Hansa menjemputnya ke rumah (merelakan jarak yang nggak dekat), Kara nggak sedikitpun merasa cemas. Dia merasa bisa mengendalikan diri dan bersikap loveable di depan Ibunya Hansa, meskipun sedikit gugup dan berpikir apakah dia akan memberikan impresi yang baik, cewek itu tetap penuh percaya diri. Kara nggak ingin menunjukkan kalau dia sedikit deg-deggan pada Hansa, hanya karena dia nggak mau membuat lelaki itu khawatir.

Namun rupanya, terlalu percaya diri juga nggak baik. Sapaan ramah dengan senyuman penuh sampai pipinya sakit nggak sedikitpun membuat Ibu Hansa menyambutnya dengan hangat.

Wanita awal empat puluhan itu justru hanya tersenyum tipis ketika Kara datang sambil memperkenalkan dirinya sebagai 'teman kak Hansa' lalu berlalu menuju dapur, nggak sedikitpun mau bersusah payah basa-basi untuk sekadar menanyakan kabar Kara.

Melihat itu, Kara bengong di ambang pintu, dia melirik Hansa sambil matanya dengan refleks sedikit menitikkan air mata, membuat Hansa tergelak.

"Kamu nangis????" lelaki itu menjulurkan ibu jarinya untuk mengusap lelehan air mata tersebut.

"Gimana ini??? Kayaknya Ibunya Kak Hansa nggak suka sama aku??? Apa aku tadi ngelakuin kesalahan? Aku kurang sopan, ya??"

Hansa menggeleng sambil mengulum senyuman, menyuruh Kara masuk dan duduk di sofa ruang tamu, "Nggak, nggak ada yang salah dari kamu. Ibu cuman perlu memproses sesuatu dulu, tunggu aja."

"Ih, nggak mau ya??? Aku harus nunggu sampe kapan ini?? Aku mau pulang aja!"

Kara malah menyerah sebelum berperang.

Lagi-lagi Hansa dibuat terbahak oleh tingkah menggemaskan Kara. Demi Tuhan, kenapa sih dia nggak pernah sehari aja nggak lucu?

Hansa kemudian duduk di samping Kara yang hidungnya agak memerah karena insiden berkaca-kaca beberapa saat lalu. Lelaki itu menghembuskan napasnya pelan, lalu menatap Kara dengan tatapan serius.

"Ibu cuman lagi berdebat aja sama diri sendiri, nanti aku ngomong lagi ke beliau. Aku juga sebelumnya udah ngasih tahu Ibu kok kalau kamu bakal ke sini, jadi pertemuan hari ini tuh nggak tiba-tiba."

"...kenapa sih aku harus ketemu Ibunya Kak Hansa?" tanya Kara pelan sambil menunduk memainkan kukunya, "Aku sama Kak Hansa bukan mau lamaran."

Hansa tersenyum miring, "Iya tahu. Kita nggak akan ke arah sana selama kita masih sama-sama kuliah. Maksud aku tuh, biar kamu kenal aja sama Ibu, dan Ibu kenal sama kamu. Biar akunya bisa jujur ke kamu tentang hubungan aku sama Ibu, dan biar aku bisa jujur ke Ibu tentang hubungan kamu sama aku nantinya."

Kara bergeming.

Dia masih menunduk menatap jemarinya, sedangkan Hansa nggak lagi bicara. Hanya mengusap belakang kepala Kara pelan.

Hansa ingin memperbaiki hubungannya dengan sang Ibu, tapi Hansa tahu hal tersebut nggak mudah. Dia masih nggak bisa membaur dengan keluarganya, meski tahu nggak ada yang salah dengan keberadaan dirinya di keluarga ini.

Hansa masih takut merasa asing, dia masih punya pikiran buruk kalau selain Ibunya, di rumah itu nggak ada yang benar-benar menganggapnya bagian dari keluarga.

NiskalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang