met malming gengs, Indah is coming
.
.
.
Indah menunduk sembari memainkan jemarinya, saat ini ia merasa tidak berani menatap ibunya.
"kamu ada masalah sama suamimu? Kenapa gak cerita sih Ndah?" tanya sang ibu gemas, karena sedari tadi Indah hanya menunduk.
Indah merutuki dirinya yang tidak pandai menyembunyikan sesuatu pada ibunya. Wanita yang melahirkannya itu merasa curiga dengan kedatangannya, terlebih sikap Indah akhir-akhir ini tampak semakin murung dan sering melamun.
"atau jangan-jangan kamu kabur dari rumahmu, hm?"
"enggak bu, Indah ijin sama mas Haikal" Indah akhirnya mulai menjawab pertanyaan sang ibu dengan ragu-ragu.
"lalu? Sampai berapa lama kamu disini?"
"ibu mau usir aku?" Indah merengut mendengar pertanyaan sang ibu.
"bukan begitu Indah, kamu bukan gadis lagi, sudah bersuami, punya anak pula. Gak baik meninggalkan suamimu lama-lama, apalagi gak ada tujuan jelas kamu datang kesini"
"loh Indah kan emang mau nengokin eyang, ibu, bapak sama yang lain, emang gak boleh?"
"ibu gak melarang Ndah, tapi apa suamimu memberi ijin sampai selama ini?"
Indah memilih tidak menjawab. Tatapannya ia alihkan kearah lain.
"kalo ada masalah itu kamu cerita Ndah, jangan dipendam sendiri, jangan sedikit-sedikit kamu sudah lari"
"Indah gak lari!" ujar gadis itu dengan nada yang mulai bergetar dan setengah kesal.
Tiba-tiba ia ingin menangis, selain karena masalahnya dengan Haikal, Indah juga merasa emosional karena sang ibu yang seperti mengomel dan memarahinya. Gadis itu merasa disalahkan.
Wanita paruh baya itu menghela nafas pelan kemudian bangkit dan mendekati sang anak. Dipeluknya gadis itu dengan penuh sayang hingga Indah mulai menumpahkan tangisnya, seolah mengadukan semuanya pada sang ibu.
Lisna, sang ibu ikut merasakan kesedihan sang anak dari tangisannya. Baginya, Indah memang menikah terlalu muda, masih belum terlalu siap untuk terikat dalam rumah tangga. Tapi desakan perjodohan dari keluarga Pratama (keluarganya Haikal) membuat mereka tak mampu berkutik karena beberapa alasan klise. Terlebih sang anak yang memang memiliki rasa pada Haikal juga langsung menerima.
Tiga tahun rumah tangga anaknya berjalan, tak pernah Lisna mendengar Indah mengadu, berkeluh kesah ataupun menangis. Gadis itu hanya terus berkata bahwa ia baik-baik saja. Meski begitu, Lisna tetap terus memberikan petuah-petuah tentang pernikahan pada sang anak yang mungkin saja membuat anaknya selalu menahan diri untuk menyampaikan keluhannya.
"semuanya pasti bisa diselesaikan Ndah, kamu punya ibu, punya kami semua disini. Ibu minta maaf karna terlalu mengabaikan kamu"
Indah menggeleng keras dalam pelukan Lisna, tidak setuju akan perkataan wanita yang melahirkannya tersebut.
Lisna melepaskan pelukan mereka kemudian menatap sang putri penuh kasih sayang.
"Indah cerita ya, jangan dipendam sendiri" bujuk sang ibu lagi yang akhirnya diangguki gadis itu.
Indah kemudian menceritakan semua yang ia rasakan selama ini pada sang ibu namun tidak menyeluruh dan detil. Indah hanya bercerita jika Haikal tidak bisa mencintainya dan Indah yang merasa cukup tertekan dengan sikap pria itu.
"apa gak bisa dipertimbangkan lagi, Ndah?" tanya sang ibu memastikan keputusan Indah yang ingin berpisah.
"ibu bukannya gak mau bela kamu, tapi selama sikap suamimu masih bertanggung jawab, ibu rasa cinta gak begitu penting, seiring waktu itu pasti bisa tumbuh"