.
.
.Lembaran kertas demi kertas itu tak tersentuh sama sekali sejak beberapa jam yang lalu, membuat pemuda dengan gaya rambut bob serta kacamata tersebut menyipitkan mata. Ia melemparkan tatapan sinis pada dirimu yang pikirannya sedang tidak berada di ruangan ini. Telah berkali-kali, ia memanggilmu, namun nihil, tak ada respon.
Seorang Ego saja bahkan sudah memilih menyerah dan pergi dari sana, membiarkanmu berlarut pada lamunan yang tak memiliki tanda untuk kunjung selesai. Nanti ia akan menyuruh Anri saja kalau keadaanmu tidak kembali normal.
Helaan napas kasar memenuhi ruangan sepi tersebut, sementara kepalamu kau hempaskan dengan ringan di atas meja, bertubrukan dengan kayunya. Tidak ada nafsu makan atau pun bekerja. Padahal, ini hari libur, tak semua orang bisa mendapatkannya. Namun, mengapa hal sial malah terjadi padamu?
"Apa yang akan kulakukan jika ia membenciku ... hah?" gumammu, cukup frustrasi, "bodoh sekali."
Seharusnya, kau perlu menganalisis berbagai data hasil latihan tadi pagi. Karena perkataan kemarin yang tiba-tiba, kau tak tahu harus bersikap seperti apa pada Reo dan Nagi. Sehingga, kau memutuskan untuk menghindari mereka berdua. Meskipun, tak ada kesalahan apa pun yang telah dilakukan.
Maaf, Reo, kau malah terseret ke dalam pertengkaran kami.
"Tapi, tetap saja ... huh."
"Kau bertengkar dengan Nagi, ya?" tanya sebuah suara familiar, memecahkan lamunanmu. Lantas, kau menoleh, mendapati sosok pemuda dengan helaian rambut hitam khasnya. Ia menatapmu dari balik iris biru tua jernihnya seraya mengerutkan dahi, "ternyata benar."
"Yoichi ... aku bahkan tidak pernah memberitahukannya pada Reo. Kau tahu darimana, sih?"
"Oh, aku hanya mengira-ngira saja. Soalnya, Nagi sewaktu di dalam onsen tadi melamun. Padahal biasanya, ia akan bermain ninja-ninjaan bersama Reo. Ia lebih banyak melamun dari biasanya."
"Haha, apa-apaan itu? Kalian di sana mandi beneran atau tidak, sih? Dasar, masih terdengar seperti anak kecil saja," tawamu antusias ketika mendengar cerita Isagi yang memasang wajah serius.
Mendapati dirimu kembali rileks dengan gelak tawa, membuat Isagi mengulas senyum lega. Ia merasa tidak enak jika meninggalkan kau dan Nagi bersama hubungan dengan benang yang kusut. Lalu, beberapa menit kemudian, kau menghela napas panjang, hingga terdengar di satu ruangan tersebut. Jari-jemarimu meremas kimono biru tua pemandian yang kau kenakan, mengalihkan kecemasanmu.
"Kami tidak bertengkar, kok. Hanya ... sepertinya aku melakukan sesuatu yang Nagi benci. Mungkin saja, aku terlalu memaksanya untuk pergi ke sini, padahal ia ingin liburan sendirian ... di kamarnya."
"Ah, begitu ya ... Nagi memang terdengar seperti orang yang akan mengatakan hal seperti itu," balas Isagi tidak enakkan sembari menggaruk pipinya yang tak gatal. Lekas, ia kembali bertanya, "tetapi, apa ia benar-benar bermaksud seperti itu, [Name]?"
"Huh, apa maksudmuー"
Kalimatmu terhenti tatkala merasakan sebuah dekapan yang erat dari belakang. Kau mengerjap, detak jantungmu berdebar cepat saat mencium aroma khasnya. Tanpa berbalik arah pun, kau tahu bahwa itu adalah sosok yang menjadi topik pembicaraan antara dirimu dan Isagi saat ini. Ia menggeram, melemparkan tatapan tidak suka pada Isagi yang hanya mampu mendesah perlahan menerima sikap tak bersahabat tersebut.
Kau masih tidak membuka mulut, terpaku dalam diam. Lantas, Nagi mendekatkan pipinya dengan pipimu, menghapus jarak hingga saling menyentuh satu sama lain, "Aku tidak suka kalau kau seperti ini, [Name]."
Keringat dingin membahasahi telapak tanganmu. Kau menggigit bibirmu, kuat. Berusaha tak mendengar perkataan Nagi selanjutnya. Namun nihil, napasnya saja sudah sedekat ini, bagaimana cara untuk menghindari dia?
"Dari kemarin, kau menghindariku terus. Lagian, kenapa pula kau pergi saat aku belum selesai berbicara?" tanyanya sembari mengerucutkan bibirnya, menggerutu dengan gemas.
"Eh? Kau masih belum selesai berbicara?"
Kau menoleh ke arahnya, meminta jawaban. Tetapi, nampaknya perlu ditunda karena bibir kalian berdua saling bersentuhan lagi. Kau mengerjap, sementara Nagi hanya menatapmu dalam keheningan, seolah hal ini adalah sesuatu yang biasa terjadi. Sontak saja, rona merah mulai menjalar di pipimu. Kau mengelak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Nagi.
"Aduh, aku tuh sebenarnya capek melihat kalian berdua. Jadian cepat sana," keluh Reo seraya mengikat rambutnya.
Nagi semakin mengerutkan dahinya, melemparkan tatapan kebingungan, "Memangnya boleh, ya, kalau manager menjalin hubungan dengan pemain bola?"
"Hei, siapa yang bilang tidak boleh? Lagian, kita bukan idol yang tidak mendapatkan kebebasan dalam hubungan romantis. Selama bukan menciptakan skandal, kurasa tidak masalah," sahut Isagi, mengurungkan niat Reo yang sebelumnya ingin menjawab pertanyaan tersebut. Nagi mengerjap, lalu menatapmu kala terdiam sempurna, berusaha memproses adegan yang baru saja terjadi.
"Ya sudah, aku dan [Name] jadian saja. Biar tidak ada lagi yang mendekatinya."
Pemuda berambut putih itu mengeratkan pelukannya padamu. Karena tak memberi respon, Reo mendengkus kasar dan mencubit pipi Nagi dengan kuat. Ia mengomel, "Tanya dulu persetujuan [Name], Nagi!"
"Ugh, kalau dia diam seperti ini, tandanya sepakat, bukan?"
"Ngadi-ngadi bener!"
"Hei, kalian berdua ... hentikan," cegah Isagi dengan keringat yang mengucur dari pelipisnya. Sepertinya, ia sudah lelah melihat pertengkaran di antara mereka. Terkadang ia berandai, kapan hidupnya bisa tenang? Para jenius ini tidak bisa membiarkan dirinya sedetik pun bernapas dengan damai.
"Ah," sahutmu tersentak ketika selesai dengan pikiran sendiri. Segera saja, kau melepaskan diri dari Nagi. Hanya untuk berakhir dengan melihat dada bidangnya. Rupanya, pemuda tinggi dengan badan gagah besar itu tidak mengenakan kimononya secara baik, acak-acakan seperti biasanya, meski sudah diikat oleh sabuk hitam.
Nagi menoleh, menatapmu dengan mata sayu lalu kembali bertanya, "Jadi bagaimana, [Name]?"
"Kau ... tidak membenciku karena aku mengajakmu ke sini, 'kan?"
"Eh? Kenapa pula aku harus membencimu? Kuakui ... memang menyebalkan datang ke sini, padahal aku bisa bermain game di kamar dengan Choki. Tapi, aku lebih benci lagi kalau kau dikerumuni oleh para seranggaーhoaaahm ... oh, Reo tidak termasuk, kok," balas Nagi, acuh seraya menguap dengan lebar.
Kini, giliran Isagi yang menahan sudut bibirnya untuk naik dengan aneh, ingin sekali ia mencubit pemuda malas tersebut karena telah menghinanya. Sementara, Reo terkekeh pelan, menikmati suasana yang berada di hadapannya saat ini.
"Ya sudah, kita berteman lagi, kan?"
Kau melemparkan pertanyaan dengan senyum sumringah, menggenggam kedua tangan yang besar itu. Nagi mengedipkan matanya, kebingungan. Bukankah tadi, ia baru saja mengajakmu menjalin hubungan lebih lanjut dari ini?
Tak tahan, Reo menyemburkan tawa terbahak-bahak, menahan perutnya, "Pfft, hahaha! Sepertinya ia tadi tidak mendengarkanmu karena kaget dengan ciuman tadi, Nagi. Nice try, bro."
Untuk pertama kalinya, Nagi merasa kesal oleh teman terdekatnya itu. Ia mendengkus kasar, melepaskan genggamanmu dan memelukmu dengan erat. Tidak apa, untuk saat ini, belum. Tetapi, ia tidak akan menyerah selama mereka masih di pemandian ini.
Menjadikanmu sebagai miliknya hanya perlu usaha sedikit, sesuatu yang merepotkan, tetapi harus dilakukan segera.
.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hotspring ⇢ Nagi Seishirou × Reader [✓]
Hayran Kurgu"Nagi, ayo kita ke onsen!" ajakmu dengan riang. Para anggota Blue Lock mendapat hari libur. Tentunya, Nagi Seishirou tidak ingin melewatkan kesehariannya tersebut dengan sia-sia. Ia telah memutuskan untuk menghabiskan sisa waktunya bersama game. Tet...