"Penyakit denial lo gak pernah hilang-hilang ya?"
Yoel menegapkan badan, tersentak dengan suara yang mengalun dari arah belakang. "Ngapain lo disini?"
"Nyamperin lo lah." jawab Jiandra singkat. "Keburu baikan lagi noh Karin sama cowoknya kalo lo gak gerak cepet."
"Ngomong apa lo?"
Jiandra memutar bola mata malas, bosan dengan sikap pura-pura Yoel yang seakan tak pernah ada habisnya. "Ayo dong Yo, lo jangan denial terus, gue tahu lo suka sama Karin kan dari dulu?"
Yoel tampak terdiam atas pertanyaan penuh jebakan dari Jiandra, entah pemuda ini tengah kebingungan atau takut memberi jawaban, Jiandra juga tak tahu karena Yoel seakan tak bisa lepas dari sifat denialnya yang membuat orang lain sebal.
"Ey, gue udah temenan sama lo dari lama, lo rela diem lama digazebo kampus demi liatin Karin yang lagi study date sama Nathan kan? Padahal banyak hal yang jauh lebih bermanfaat dari itu."
Bukannya mengelak, Yoel semakin bungkam. Ia merasa tertekan, mungkin?
"Terus ciuman itu maksud lo apa? gak mungkin lo berani cium dia kalo bukan karena suka? lo udah nahan semua ini dari lama kan?"
Yoel berdesis tak suka, setiap kata yang terucap dari bibir Jiandra berhasil menghantam relung hatinya.
Tak ingin terus ditekan seperti ini, Yoel bangkit sembari menyampirkan tasnya dipundak. Mendengarkan Jiandra mengoceh hanya akan membangkitkan emosinya yang terpendam lama.
"Ayolah, jujur aja Yo, fungsinya gue ada dihidup lo buat ngedengerin apa yang lo pendam selama ini."
"Bukan urusan lo, lo gak usah ikut campur urusan gue." Ucap Yoel tajam.
Jiandra menghela nafas, ia mendengus atas keras kepalanya Yoel yang tak pernah hilang. "Sikap lo yang keras kepala ini nih yang buat Juna ngejauh dan gak pernah minta maaf sama atas bogeman dia waktu itu."
"Lo kalo mau nyari masalah sama gue bukan sekarang waktunya."
Tangan Jiandra memijit pelipis. "Gue cuma mau nyadarin lo dari sikap lo yang bikin orang lain kesel. Lo gak bisa selamanya hidup kayak gini terus, hidup gak selamanya ngikutin apa yang lo mau!"
"Gak usah nasehatin gue sama kata-kata lo yang sok bijak itu, lo gak pernah tahu apa yang gue alamin selama ini, jadi gue peringatin lo lebih baik diem daripada ngomong gak jelas!" Yoel menunjuk wajah Jiandra, kemudian pemuda itu bangkit, benar-benar melangkah meninggalkan Jiandra yang menatap kepergiannya dengan wajah terluka.
"Yoel babi!"
Karin tertawa girang, menyimak cerita Gisella yang menurutnya lucu dan mampu membangkitkan moodnya yang pagi tadi memburuk karena sikap Nathan yang masih dingin terhadapnya.
Cerita Gisella terhenti, ketika suara kendaraan roda dua berhenti tepat dihadapan mereka. Atensi keduanya sontak tertarik pada sosok lelaki berhelm kaca.
"Rin gapapa nih gue tinggal?" Gisella bertanya tak enak hati, sebab hari sudah mulai gelap, sedang mereka masih ada dihalte kampus untuk menunggu jemputan masing-masing.
"Gapapa kenapa sih? bentar lagi jemputan gue datang kok." balas Karin berusaha menenangkan sang sahabat.
"Gue takut ninggalin lo." Gisella cemberut tak tega untuk meninggalkan Karin.
"Gue udah dewasa Sel, santai aja, sana gebetan lo takutnya badmood." Karin mengiringi kepergian Gisella dengan senyuman merekah, Gisella pasti tak tega untuk meninggalkan dirinya, maka yang Karin lakukan adalah meninggalkan kesan damai agar Gisella pergi dengan perasaan tenang.
Waktu kian bergulir, jemputan yang Karin tunggu sejak tadi kian membuatnya resah. Selain karena begitu mendambakan rebah, Karin juga dalam keadaan perut kosong sejak tadi siang, lambungnya terus bergemuruh meminta asupan, benar-benar mengusik kesabaran.
Ia mencebikkan bibir, sesekali meniti satu persatu kendaraan yang lewat barangkali ada titik terang atas jemputan yang sedari tadi ditunggunya.
Lima belas menit berlalu bergitu cepat, ini sudah kali keenam Karin mengintip pesan diponsel untuk menunggu jawaban. Sang sopir rumahnya benar-benar menguji kesabaran Karin yang setipis tisu.
"Karin."
Karin membeku selama beberapa saat tatkala suara itu secara tak diundang datang, seperti dejavu, ia merasa dunianya terhenti sejenak.
"Belum pulang?"
Ringisan secara serentak terhembus dari mulut Karin. Ia mengangkat kepala, lantas mendelik tajam pada lelaki yang baru saja menghentikan kendaraannya didepan tempat ia duduk sekarang. "Ngapain lo kesini?"
Yoel menurunkan kembali kaca mobilnya, siratan dari wajah pemuda itu tampak damai dalam riuhnya angin barat. "Gue gak sengaja liat lo." Jawabnya seakan tak ingat dosa apa yang telah ia lakukan pada Karin.
"Terus? lo ngapain berhenti?" Karin bertanya nyolot, tidak ia tidak boleh lemah lagi, Karin harus kuat.
"Udah mau malem? mau numpang?"
Tangan Karin mengepal menahan kesal. "Gak, makasih, jemputan gue bentar lagi sampe."
"Jalanan jam segini lagi macet-macetnya Rin, gue tahu kok jalan tikus buat cepet sampe kerumah kita."
Karin kembali mendelik, kata yang keluar dari mulut Yoel adalah alasan yang klise, Karin tahu itu. "Enggak, gue lebih baik nunggu sampe tengah malem daripada balik sama lo!"
"Lo emang gak takut ada yang jahatin lo? jam-jam gini lagi rawan, Rin."
"Enggak, gue gak takut, gue punya Tuhan yang bakal lindungin gue."
Pada akhirnya Yoel menyerah, ia meluruskan pandangan. Baginya, tak mudah lagi untuk membujuk Karin. "Yaudah, gue gak tanggung jawab kalo lo kenapa-napa." Yoel mulai menaikkan kaca mobil, mengabaikan Karin yang dilanda kebingungan atas pilihan yang saling berteriak dalam kepala.
Karin menggigit bibir, demi Tuhan ia ingin sekali cepat sampai dirumah, mandi, lalu merebahkan badan memejamkan matanya guna menghilangkan rasa lelah.
"Tunggu!" Bibir Karin bergetar, mati-matian ia membunuh egonya agar tubuhnya bisa segera beristirahat. "Gue ikut, tapi-"
Ada jeda, Yoel menoleh, mengangkat alis dan menunggu jawaban dari Karin. "Tapi apa?"
"Tapi gue duduk dibelakang." Jawab Karin mantap.
"Yaudah ayo, gue gak bakal ngapa-ngapain kok."
Karin kemudian bangkit dengan hati berat, ini tidak akan berakhir buruk Karin yakin itu. Jikapun Yoel melakukan hal itu lagi, Karin akan berteriak dan meminta belas kasih orang-orang agar Yoel tak bertindak seenaknya pada Karin.
See you guys!
KAMU SEDANG MEMBACA
Just the Two of Us
Teen FictionYoel selalu merasa iri akan kehidupan Karin yang terlihat bahagia. Tetangganya itu memiliki keluarga yang harmonis, kekayaan yang melimpah, pertemanan yang luas dan kisah cinta yang nyaris membuat semua orang merasa cemburu. Entah kenapa Yoel membe...