PROLOG: The North and The South

3.9K 270 4
                                    

Satu kata yang tak pernah Arel sangka akan ikut andil dalam kehidupannya. Perjodohan. Yang benar saja, sekarang bukan lagi zaman Siti Nurbaya. Pemikiran manusia sudah lebih maju dan terbuka untuk tidak mengikat dua insan seumur hidup dengan perjodohan.

Apa kakeknya itu berpikir Arel tidak laku? Hah, kalau benar, harga dirinya bernar-benar terluka. Sebab jika diibaratkan, puluhan wanita sudah berbaris mengantre agar bisa jadi kekasihnya. Habis, siapa sih yang bisa menolak pesonanya? Masih muda, sukses, cerdas, disiplin, mapan, ganteng pula, definisi paket komplet─kecualikan saja kesabarannya yang setipis kertas.

Parahnya lagi perjodohan ini bukan untuk melancarkan kerja sama bisnis ataupun melunasi utang keluarga seperti di sinetron-sinetron. Arel justru dijodohkan karena sebuah janji sepele yang kakeknya buat bersama teman seperjuangannya dulu. Sekali lagi, janji sepele!

"Siapa bilang sepele?!"

Kakek Cahyadi tampak sangat tidak terima. Kelihatan dari nada bicaranya yang meninggi serta ekspresi tak sukanya.

Mama dan Papa Arel cuma bisa menghela napas pasrah. Mereka sudah bisa mencium bau-bau keributan antara sang cucu dan sang kakek. Kadang mereka juga heran mengapa tabiat sepasang kakek dan cucu itu sama persis. Sama-sama minim kesabaran.

"Aduh, Kek. Tadi Kakek bilang Kakek dan mendiang teman Kakek buat janji itu pas masih sekolah. Obrolan anak sekolah itu 90% candaan, gak usah dibawa serius begini lah, Kek. Pokoknya Arel gak mau janji sepele Kakek itu jadi pengaruh besar di hidup Arel."

Omong-omong, Kakek bilang janjinya seperti ini, "Nanti kalau salah satu dari kita ada yang lebih dulu dijemput Tuhan, kita harus menikahkan anak atau cucu atau cicit kita supaya tali persaudaraan antara keluarga kita tetap terjalin."

Tepat sebulan lalu, teman karib Kakek itu meninggal dunia, itulah kenapa Kakek Cahyadi memutuskan untuk memberitahu janji ini pada cucunya karena anaknya sudah menikah semua.

Soal kenapa Kakek memilih Arel di antara cucunya yang lain adalah karena menurutnya Arel paling cocok dan serasi untuk calon istrinya nanti yang merupakan cucu temannya itu.

"Gak bisa! Janji itu tetap harus Kakek tepati."

"Arel gak mau."

"Rel, dengar, selain karena janji, teman kakek itu sudah banyak membantu Kakek. Apalagi saat Kakek merintis perusahaan yang sekarang kamu pimpin itu. Kakek banyak berutang budi dengan beliau."

"Ya, kalau Kakek yang berutang, Kakek yang bayar dong. Enak aja aku disuruh bayar utang budi Kakek."

Dan lontaran kalimat pedas, menusuk serta agak kurang ajar itu pun menjadi penutup sempurna makan malam keluarga di salah satu restoran mewah di Jakarta Selatan. Kakek memilih mengibarkan bendera putih─tak sanggup lagi menghadapi kepedasan cucunya dalam berkata. Maka urusan bujuk-membujuknya ia serahkan pada orang tuanya Arel.

**

Satu bulan kemudian.

Arel berdiri berhadapan di altar dengan seorang wanita yang baru saja resmi menjadi istrinya di hadapan Tuhan. Lantas, apakah itu berarti bujukan orang tua Arel berhasil? Tidak, faktanya Arel bukan dibujuk melainkan diberi perintah yang tidak bisa ia tolak. Maka serangkaian persiapan pernikahan hingga hari pernikahan pun Arel jalani dengan berat hati.

Niscala Wening Elshanum, begitulah nama wanita itu tertulis di buku nikah. Panggilannya Nila. Tidak ada yang bisa Arel deskripsikan lagi tentang wanita itu selain 'orang yang selalu membuat amarahnya memuncak'.

Contohnya seperti beberapa saat lalu di ruang tunggu.

"Pst, Arel!"

"Hmm?" Arel membalas dengan gumaman tidak jelas.

520 | aedreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang