Enjoy~~~~
.
.
Ini adalah penghujung tahun ketiganya sebagai mahasiswi Kedokteran di universitas ternama yang ada di bangkok. Kesulitan belajarnya semakin meningkat seiring dengan bertambahnya semester yang sudah dia lalui. Belum lagi dengan segala jenis mata kuliah dan praktikum yang namanya saja sudah cukup untuk membuat orang mengerutkan kening dalam-dalam. Tak jarang dia harus bertahan membuka mata lebar-lebar di tengah malam hanya demi menyelesaikan bacaan beberapa bab kuliahnya.
Dan sekarang, pria mungil itu akan dihadapkan dengan ujian semester yang menunggunya. Esok lusa. Bagai bunyi gong di tempat eksekusi. Mengingatnya saja membuat perut pria mungil itu mulas.
Gun membuang napas keras-keras, membuat pemuda yang duduk santai di sebelahnya menaikkan sepasang alis hitamnya dalam bungkamnya. Jemarinya bergerak-gerak gelisah—mengetuk, menggaruk, memilin apa pun yang berada di dekatnya. Tatapan tajam matanya terpaku pada buku tebal yang diletakkan begitu saja di atas meja makan di apartemennya. Pria mungil itu memandangnya, seolah berusaha membaca isinya tanpa membukanya.
Ketika tangannya yang gatal terulur hendak menyentuh buku itu, pemuda di sebelahnya berdecak keras—dan gun mengurungkan niatnya, tidak ingin mengulut api yang sudah berkobar di balik mata hitam jelaga itu.
"Phi off tidak ada ujian?" tanyanya dengan suara lembut.
"Hn," —Apa itu? Gun memilih mengartikannya sebagai 'ada'.
"Sudah belajar?" tanyanya lagi.
"Hn," —yang ini untuk 'sudah'.
Dengan mengenal off jumpol selama nyaris separuh hidupnya, gun atthaphan bisa mengartikan sebuah 'hn' menjadi bermacam-macam maksud walaupun terkadang maknanya bertolak belakang dengan maksud si empunya. Gun tidak mau buang-buang energi. Salah sendiri pelit bicara, cibirnya dalam hati.
Gun berdehem gugup. Memainkan tangan mungilnya itu "Aku juga ada ujian, esok lusa," paparnya kalem.
Hanya terdengar suara nyaring jus tomat yang disedot habis dari gelasnya.
Pria mungil itu mencebik. "Tapi aku belum belajar," adunya.
Hening sesaat. Dan, "...hn."
Gun—yang akan segera menjadi off—berpaling menatap off. "Oke lah, Mr. Jenius! Kau sudah belajar—kalau pun belum, aku tahu kau tidak perlu melakukannya. Kau sudah siap dari ujung rambut sampai ujung jari kaki untuk ujian-ujian konyolmu hari Senin, tapi aku belum!" dia berujar sengit dengan nada suara yang mulai naik beberapa oktaf secara teratur.
Off jumpol menumpukan sebelah sikunya ke meja, kemudian menatap gun di sampingnya. Mata hitamnya berkilat dengan emosi yang tidak bisa terbaca mudah. Tatapan tajamnya—off tahu benar—melunturkan keberanian apa pun yang berusaha dibangun gun di kedua mata hijaunya.
Pria mungil itu bergeming, terlihat bimbang. Dia menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Matanya bergerak-gerak gelisah. Sejenak kemudian, dia menghela napas. Panjang sekali. Nada suaranya kembali melunak ketika dia bicara lagi, "aku harus belajar, phi off," ujarnya dengan suara lemah yang bergetar.
Untuk pertama kalinya dalam setengah jam, off bicara—membentuk satu kalimat utuh. "Aku sudah memberimu waktu dua hari untuk belajar."
Gun membeliak di kursinya. Apakah Yang Mulia off kira belajar ilmu pengobatan sama mudahnya dengan menghapal angka-angka di tabel perkalian?—Oh, gun berharap begitu. Namun nyatanya, waktu dua hari yang diberikan off kemarin hanya bisa digunakannya untuk mempelajari materi-materi ujiannya secara singkat, tidak mendalam, dan itu tidak melegakan.
"Dua hari itu tidak cukup, phi off. Materinya sulit," dustanya dengan suara manja yang dipalsukan.
Kening off berkedut. Matanya masih setia mencincang gun, seolah-olah pria mungil itu sudah tidak sehalus daging giling saja. "Kau tahu aku tidak bisa menemuimu dua hari lalu. Apakah kerinduanku masih terlalu dangkal untuk kau pahami?" Ada keteguhan sekeras batu dalam suaranya yang datar dan dalam.
Gun mencelos. Tidak tega dia melihat ekspresi merana yang tersamar di balik topeng kalem wajah off. Dua hari lalu off harus pergi keluar kota dan tidak bisa menghubunginya. Dan, jangan salahkan gun untuk itu, mengingat si jumpol satu itu mengidap semacam gun-complex, dua hari sudah cukup menjadi siksaan bagi pemuda itu.
Bukannya gun tidak senang atau apa. Mana ada pasangan yang tidak bahagia memiliki kekasih yang sangat mencintainya? Gun jelas sekali tidak berada dalam kategori itu. Namun, sikap off yang seperti itu kadang menyebalkan kalau muncul di situasi-situasi tidak tepat. Seperti sekarang, contohnya.
Iya sih, belajar tidak pernah menjadi masalah untuk off jumpol. Pemuda itu dengan mudah menyelesaikan tugas belajarnya. Seingat gun, kekasihnya itu tidak pernah menghabiskan waktu lebih banyak di kampusnya. Dia juga tidak pernah melihat off memegang buku kuliah, atau mengerjakan tugas, atau mengurus proyek—hal yang umum bagi mahasiswa yang tengah belajar engineering. Off selalu punya waktu untuknya.
Masalah besarnya ada pada gun. Gun tentu tidak bisa dikategorikan sebagai seseorang yang bodoh sampai-sampai tangannya tidak bisa lepas sejenak saja dari buku, tetapi dia juga bukan jenius sampai-sampai tidak butuh waktu belajar di luar jam kuliahnya. Dan sekarang, dengan gun-complex yang diidap off, gun tidak bisa menyentuh buku-bukunya yang, kalau saja bisa, sudah berteriak minta dibuka dan dibaca.
"Tapi aku benar-benar butuh belajar, phi off," pria mungil itu menunduk lesu.
Off mendesah. Dia tarik buku gun yang terongok pasrah di meja, menilik judulnya yang sudah bikin muntah. "Kau sudah memahami isi buku ini dengan segenap hatimu, gun. Aku sampai tidak tahu apa lagi yang ingin kau pelajari."
Gun menggigit bibir, masih dengan kepala tertunduk. Iya juga sih. Buku-bukunya sudah lecek, jelek, dan jilidannya nyaris copot karena terlalu sering dia buka dan dia baca. Dia tahu dengan baik isi buku-bukunya seperti telapak tangannya sendiri. Tetap saja, dia harus belajar. Dia tidak mau sampai gagal. Belajar berkali-kali sama sekali bukan hal yang rugi, 'kan?
"Kumohon…" pintanya.
Off jumpol memejamkan mata sejenak, kemudian menghela napas, merasa kalah. "Baiklah. Kau boleh belajar, tapi jangan kunci pintu kamarmu. Aku akan masuk kalau sudah tidak tahan kangen."
Gun mendongak cepat dan menyunggingkan senyum cerah cerianya. "Tentu, tentu! Terima kasih, phi off!" Setelah memberi pemuda itu salam kecupan di pipi, dia lantas melesat dan menghilang di balik pintu kamar, meninggalkan off jumpol dengan desah tertahannya.
—
—
Pintu kayu yang dicat coklat yang memisahkan kamar tidur gun dengan ruangan lain terbuka dengan dorongan kuat. Pemuda yang membukanya memanggil, nyaris berteriak dengan suara sarat frustasi.
"Gun!"
Si empunya kamar muncul di depan pintu dengan tatapan tajam. "Ada apa, phi off?" tanyanya sebal. Tangan terlipat di depan dada.
"Aku sudah kangen," ujar off santai sambil berpegangan pada kenop pintu. Bahunya disandarkan di kusennya yang juga bercat coklat. Wajahnya kalem dengan sepasang alis terangkat, tetapi sorot kerinduan jelas terpancar dari dua mata hitam arangnya.
Gun athaphan membeliakkan matanya dengan maksimal. Aura kekesalan yang memuncak mulai terasa. Mata bulat yang biasanya bersinar dengan kekaguman kini menatapnya luar biasa sebal, atau mungkin sudah di fase marah. Dalam satu tarikan napas panjang, pria mungil itu berteriak.
"Demi Tuhan! Ini baru lima menit, off jumpol!" Hilang sudah embel-embel '-phi' kesayangan gun.
Dan pintu kayu itu terbanting telak di depan hidungnya. [ ]
Halo maaf ya telat up yg ke 2 hhee
Semoga suka ya hhheee
Makasih yang udah baca komen sama vote juga❤️✨