Kala renjana dalam hidup berjalan terus-menerus membuat batin tergerus, 13 orang itu berkumpul dalam satu ruangan dengan harap yang tidak pernah pupus.
26 pasang mata yang saling menatap rindu, berpikir bagaimana caranya untuk melepas sendu karena sedikit lagi mereka akan jarang bertemu.
Setelah libur panjang yang terlewat dalam sekejap mata, mereka harus kembali lagi pada rutinitas yang mengganjal. Kembali ke dunia kerja, kuliah, bahkan Wisnu dan Dino harus merantau sejenak meninggalkan rumah.
Mereka tetap bergeming meski jam dinding terus berdenting. Memang bukan situasi yang genting akan tetapi semua terasa hening.
"Mau diem sampe kapan? Sampe ayam jantan punya Mang Ujang beranak?" tanya Johan dengan ekspresi malasnya.
"Sampe gue dapet yang seiman." Mahen nyeletuk kemudian mulutnya langsung dibekap oleh Dika.
"Diem sia, teu ngerusak suasana!" bisik Dika dengan intonasi yang agak tinggi.
"Ada yang mau diceritain sebelum kita gak punya waktu buat kumpul-kumpul kayak gini lagi?" tanya Joshua dengan senyum manisnya.
"Yah... Gak ada, sih, kak...." Yosi dengan nada keluhnya mulai mendominasi. "Itu... Paling mau bilang semangat buat semuanya. Gue tau beberapa tahun belakangan ini rasanya berat buat kita semua, tapi, gue harap... Saudara gue semuanya bisa terus ngejalanin hidup yang kadang kayak tai ayam in-"
Azi langsung menampar pipi Yosi. Dibilang kencang, tidak, dibilang pelan juga tidak. Buktinya pipi Yosi agak merah sekarang.
Joshua menggelengkan kepalanya. "Jaga bicaranya, Yos...."
"Maap...." Yosi manyun.
Hening terjadi lagi. Esa menyelamatkan kecanggungan itu dengan membuka pembicaraan menggunakan suaranya yang tegas.
"Kita semua masih muda, masih pada sehat, apalagi kalian yang baru nginjek umur 20-an. Kakak harap kalian bisa fokus terus sama tujuan masing-masing. Inget, di atas akademik, adab dan etika itu adalah yang terpenting. Terakhir, tapi, gak boleh kita lupain, jangan pernah ngecewain bunda." Esa bertutur panjang lebar membuat semua mengangguk mantap.
"Semangat, deh, ya, buat lo pada. Gue gak mau ngomong panjang lebar. Pokoknya semangat!" seru Johan.
Semuanya duduk lesehan, membuat lingkaran di ruang tamu dan saling merangkul bahu masing-masing. Ibarat kata saudara, mau semenyebalkan apapun, mereka tetap saling sayang. Aguna yang dilantunkan terhadap satu dengan yang lain pun tak pernah padam.
"Sesibuk apapun kita nanti, jangan pernah lupa ibadah ya." Joshua mengingatkan.
"Dan jangan pernah lupa untuk selalu bahagia." Dika menyambungkan perkataan Joshua dengan senyum cerahnya.
"Jangan terlalu maksain diri," kata Johan pada Esa yang duduk di sampingnya.
"Jangan lagi kejebak di masa lalu," kata Esa pada Joshua yang tengah tersenyum sendu.
"Jangan lagi pacaran sama yang gak seagama," kata Joshua pada Mahen yang mencebikkan bibir.
"Jangan lagi makan mie dari idung," kata Mahen pada Dika yang memasang ekspresi sebal.
"Jangan lagi noyor Dika kalo Dika salah, ya, Kak Wisnu...." Dika memasang tatapan melas ke Wisnu. Kakaknya itu langsung mengelus kepala Dika lembut.
"Jangan lagi beli es doger di deket taman komplek," kata Wisnu pada Baron di sebelahnya.
"Jangan lagi cengeng," kata Baron sambil mencubit pipi Awan.
"Jangan lagi pura-pura kesurupan, ya, anjir." Awan menatap sebal ke arah Yosi.
"Jangan lagi punya pikiran mau ngiket gue pake senar gitar lo dan masukin gue ke kandang macan, ya, kembaranku sayang."
Azi bergedik tak menatap Yosi kemudian berkata pada Juna. "Jangan lagi manah di studio gue. Keyboard gue kemaren baret kena anak panah lo."
Pelakunya hanya mingkem, merasa bersalah. Juna pun melanjutkan estafet kalimat itu ke Rey. "Jangan lagi ngerasa sendiri. Lo punya gue, punya saudara-saudara lo yang lain juga."
"Jangan lagi sok dewasa. Lo bisa bergantung sama kita." Rey menepuk bahu Dino pelan.
"Jangan lagi nganggep aku anak kecil," kata Dino dengan nada serius pada Johan.
Lontaran kalimat yang terjadi tiba-tiba itu pun terhenti. Beberapa saat mereka saling melihat ke arah sofa ruang tamu, tempat Kirana biasanya duduk. Mereka menyimpan perasaan rindu itu masing-masing, tak mau membuat sendu hari ini bertambah. Dalam hati mengucap Doa, menyemogakan si bungsu kesayangan akan baik-baik saja di negeri orang dan kembali ke rumah dengan kondisi sehat.
Dalam beberapa waktu, lingkaran itu pudar perlahan. Masing-masing kembali pada kesibukannya masing-masing.
Jauh di belahan bumi sana, seorang mahasiswi jurusan Sastra Belanda juga tengah menyibukkan diri. Sibuk merenung. Menatap indah hamparan kota yang terasa sangat asing dengan genangan air mata yang tersingsing.
"Kangen rumah..." Kirana menggigit bibirnya. "Bingung mau ngapain...."
Dibukanya buku harian yang pernah diberikan Rey itu. Kirana pun menulis sesuatu di sana. Tipis-tipis ia pakai pensil mekaniknya sembari mensyukuri nikmat yang sudah Tuhan berikan meski hatinya selalu rindu tak tertahankan.
~
Untuk kalian, Keluargaku Tersayang
Negeri Kincir Angin ini terasa megah
Namun rindu ini tetap tak tercegah
Aku selalu meratap keluar jendela
Perasaan ini tetap tak berbungaAda kalanya saat aku susah
Aku panggil kalian kakak-kakak
Tapi sekarang apa daya?
Hidup sendiri membuat aku meranaIni impianku bukan?
Doakan saja semoga aku bisa
Karena ku tau Doa bunda selalu mendarah
Tak terkecuali kalian semua
Kakak-kakakku tercintaKirana yang rindu bunda dan kakak-kakak, saat sore di Amsterdam.
YOU ARE READING
Kakak Juga Punya Cerita
RandomKetika senandung kehidupan memainkan perasaan, di situlah yang terikat saling berbagi berkat. Mengisi kehidupan walau sesuatu yang mengalir di dalam tubuh mereka berbeda dan tak beraturan. Karena yang namanya keluarga, bukan mereka yang punya hubung...