Penantian 3

17 8 2
                                    

Dari satu rumah ke rumah lain. Dari satu desa ke desa lain. Dari satu kecamatan ke kecamatan lain. Menjelang makan siang, sepertiga pemilik absen mantan kelas XII IPA 2 sudah memenuhi janji. Bayar lunas. Lengkap dengan tanda tangan. Masalah datang atau tidak, lihat bagaimana takdir bekerja untuk masing-masing.

Hal cukup menyebalkan yang justru membuat kekehannya selalu muncul adalah ungkapan-ungkapan yang lahir dari mulut kawan-kawan kami.

"Duh, dilihat-lihat, Raya sama Teja cocok, ya." Itu kata Rini.

"Eh, loh? Aku baru sadar. Ternyata kalian kelihatan cocok. Masih sama-sama jomblo pula. Jangan-jangan ...."

Itu Maisa. Bukan mulutnya saja yang usil, tetapi gerakan matanya yang mengerling membuatku ingin melemparinya dengan sedotan susu kotak.

Bukan hanya mereka. Masih banyak 'Loh, dilihat-lihat, Raya dan Teja cocok. Udahlah, kalian nikah aja sana' yang kami dapatkan sepanjang setengah hari menagih iuran.

Dia tampak tak keberatan. Sama sekali. Cengengesan malah. Lebih sering membalas dengan, "Doain aja, Gengs. Siapa tahu kami betulan jodoh."

Seketika, buku tagihan iuran yang tak seberapa besar itu kulayangkan ke bokongnya. Bisa tidak sih makhluk ini tidak membuat baper orang?

"Apa salahnya mengaminkan doa baik, Raya? Toh, aku dan kamu betulan sama-sama jomblo, 'kan? Siapa tahu sebenarnya memang kita ini berjodoh."

Aku hanya membalas kalimatnya dengan tatapan galak. Mengultimatum agar pria itu tidak berkata macam-macam lebih dari yang seharusnya.

Lima belas menit lewat dari jam makan siang. Dia menghentikan laju motor matic kami di tepi jalan, dekat sebuah kios bunga.

"Ada apa?"

"Udah jamnya makan siang. Kamu enggak laper? Aku laper banget."

"Ya, udah. Cari makan dulu aja." Entah ke mana perginya rasa laparku. Sejak tadi menggubrisi kalimat-kalimat aneh mereka membuatku lupa kalau sudah saatnya makan siang.

"Mau makan apa?"

"Hm ... bakso?"

"Oke. Aku tahu bakso yang enak sekitar sini."

Aku mengangguk. Kami kembali melaju. Cuaca bulan Januari. Tidak terik, tidak juga mendung. Cukup sejuk dengan arakan awan yang sebagian berwarna abu-abu. Mungkin, sore nanti baru turun hujan mengingat ini masih awal-awal Tahun Baru. Beberapa halte yang kami lewati dipenuhi anak-anak berseragam SMP dan SMA. Bukannya masih libur? Kenapa mereka sudah berkeliaran?

Tujuh menit berselang, kami berhenti di depan warung bakso. Warung Bakso Pak Kumis, begitulah spanduk yang terpasang di bagian depan. Warung bakso dua lantai yang tampaknya masih ramai pengunjung. Masih jam makan siang juga, sih.

Aku menyilakannya untuk melangkah di depan sekaligus memilihkan set meja kosong. Kebetulan, hanya tinggal satu set yang kosong di lantai satu. Paling sudut belakang, dekat tempat cuci tangan.

"Di sini aja?"

Aku mengangguk lantas memilih kursi yang mepet tembok belakang, sedangkan dia tepat di seberang meja.

"Biar aku yang pesankan." Aku kembali beranjak. Setelah dia yang merekomendasi tempat, masa masih dia pula yang memesankan. Gantian, to? "Selera baksomu apa?"

"Campur aja."

"Oke." Aku menghampiri gerobak bakso yang dijaga seorang bapak berkumis seusia bapakku. Mungkin kisaran lima puluh tahun lebih. Kusebutkan masing-masing selera bakso kami: dia yang campur, sedangkan aku tanpa sohun, mi, kecap, dan seledri. Setelah memastikan Pak Kumis tidak salah meracik, aku kembali menemuinya.

"Jadi, kamu betul-betul seperti tokoh buatanmu?"

"Hah?" Dia bicara apa? Tokoh?

"Hm ... kalau enggak salah, dalam beberapa SS yang kamu tunjukkan lewat IG Story, kamu sering membahas tokoh fiktif buatanmu. Wanita yang enggak suka makan bakso dengan sohun, mi, kecap, dan seledri."

Ya Tuhan! Dia memperhatikan IG Story-ku?

"Ah, itu ... hanya mengambil karakternya saja. Bukan ceritanya."

"O, ya?"

"Hm. Tentu. Mana mungkin aku membuat tulisan yang mengisahkan diriku sendiri. Anehlah jadinya."

"Kalau aku, menjadi tokoh siapa dalam ceritamu?"

"Kamu?"

Dia mengangguk. Wajahnya tampak antusias menunggu jawabanku.

"Enggak ada."

"Bohong."

"Untuk apa aku bohong? Memang tokoh pria dalam tulisan-tulisanku tak pernah memakai karaktermu."

"Langgam? Sambara? O, jangan-jangan Raga, ya?"

"Kok, kamu tahu nama-nama itu?"

Dia tertawa. "Tentulah. Kan, aku selalu nontonin IG Story-mu. Ya, kalau kebetulan buka IG."

Aku mengerjap beberapa kali.

"Aku juga udah baca kiriman surat dan bukumu."

Aku menahan sesak. Ya Tuhan! Benar juga. Sesuatu pernah terjadi kepadaku terkait sosok di seberang meja sana. Bagaimana bisa aku bersikap sangat normal seolah-olah tak pernah ada apa pun di antara kami?

Aku hendak menyahut, tetapi bakso pesanan kami keburu datang. Satu mangkok kuulurkan ke hadapannya. Porsi lengkap dan campur. Sementara yang terlihat hanya berisi sayur dan bulatan-bulatan daging menjadi bagianku. Tambahan botol saus, sambal, dan kecap sudah tersedia di masing-masing meja.

"Makan dulu. Kita lanjut bicara nanti." Dia lagi-lagi tersenyum.

Susah payah aku menelan setiap butir bakso sembari menghitung mundur kapan makan siang kami selesai. Ya, akan selesai kalau setiap mangkuk telah tandas, 'kan? Itu terjadi tiga puluh menit kemudian. Dia beranjak tanpa meminta uang bagianku.

"Kamu itu jalan sama pria. Masa iya yang bayar makanannya kamu juga? Itu enggak berlaku jika kamu jalan sama aku. Yang bayar semua makanan dan minumanmu adalah aku."

Aku hanya bisa ber-fiuh sambil menggumam pelan, "Apa setiap pria memiliki ego 'aku yang akan bayar setiap pengeluaran saat kita nge-date', begitu?"

Kepalaku menggeleng cepat-cepat. Astaga! Apa katamu, Raya? Nge-date? NGE-DATE? Kamu dan dia? Hari ini?

Sebelah hatiku tertawa. Merasa lucu dengan cara bersikap sebelah hati yang lain.

Kalian ini hanya sedang menagih iuran, bukan nge-date. Catat, ya! Hanya menagih iuran.

Aku menghela napas. Otak dan hatiku benar-benar kacau.

"Ayo!"

Aku mengangguk lantas beranjak. Perjalanan menagih iuran reuni dilanjutkan. Menjelang Asar, tinggal satu rumah yang belum dikunjungi. Milik teman semejaku. Sengaja aku memintanya mengantar di akhir karena memang yang paling jauh jaraknya adalah dia.

***

MewujudTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang