Part 3

16.3K 1K 48
                                    

Hanya ada kami berempat di ruangan itu. Aku yang sedang bersujud dengan kepala menyentuh lantai, Ryan yang duduk di kursi dan meletakkan kaki kanannya di atas kepalaku, Dimas yang membuka kemejaku dan menuliskan sesuatu di punggungku, serta Ergi yang hanya menonton. Di tengah keheningan, hanya terdengar suara coretan spidol.

Setelah Dimas selesai dengan mahakarya yang terlukis di punggungku, Ryan baru mulai bicara. "Eh culun! Lo tahu ngga kalau lo tuh nyebelin?"

Tentu saja aku tidak tahu. Yang kutahu, merekalah yang menyebalkan. Aku tidak pernah mengganggu mereka dan merekalah yang menggangguku tanpa akhir. Karena itu, aku tidak bisa mengatakan apapun.

"Hey, jawab!" Bentak Ryan sambil menekan kakinya dan kepalaku terasa sakit.

"Iya tahu!" Jawabku akhirnya.

"Kenapa lo ngebentak? Lo berani sama gue?" Gerutu Ryan geram.

Diam salah, menjawab juga salah. Aku akan selalu salah di hadapan orang ini. Tidak ada gunanya untuk berharap apapun. Makhluk keji ini akan menyiksaku apapun alasannya.

Dan benar saja. Setelah menjadi geram, Ryan menurunkan kaki dan menjambak rambutku dengan kasar hingga aku menjerit. Dia kemudian mengangkat kepalaku agar berhadapan dengannya. Aku terpaksa mendongak dengan wajah pucat.

"Lo tahu ngga kenapa gue jijik sama lo?" Tanya Ryan.

Tentu saja aku tidak tahu. Yang aku tahu, Ryan membenci semua orang jelek. Seakan alergi pada wajah culun, dia selalu emosi melihat orang sepertiku ini. Mungkin untuknya aku adalah hama yang perlu dimusnahkan atau sampah yang perlu dibuang.

Karena tidak punya jawaban, aku cuma bisa melebarkan mata tanpa mengucapkan apapun.

"Dasar goblok!" Kata Ryan seraya menjambak lebih keras.

"Argh! Sakit!" Keluhku. Sudut mataku mulai basah karena jambakan itu.

"Lu harusnya tahu diri. Kalau culun, jangan berani-berani ngelirik gue. Gue jijik kalau punya fans kayak elo ini." Lanjutnya.

Aku makin tidak paham. Sejak kapan aku jadi fans orang ini? Melihat bagaimana dia memperlakukanku, aku hanya bisa membencinya. Tidak pernah ada niat untuk mengaguminya.

Melihat kalau aku kebingungan, Ryan menambahkan. "Apa lo lupa gimana cara lo melototin gue pas pertama kali kita ketemu?"

Pertanyaan itu membuatku terhenyak. Gara-gara diingatkan oleh Ryan, aku baru tersadar kalau aku memang pernah memandanginya dengan tidak sopan. Akan tetapi, bukan hanya aku yang melakukan itu. Siapapun akan membatu jika pertama kali melihat Ryan.

Kejadian penuh takdir itu terjadi ketika hari pertama masuk sekolah. Saat itu aku tidak tahu kalau Ryan adalah psikopat sehingga aku menatap wajahnya yang seperti malaikat seperti orang yang kerasukan sesuatu.

***

Hari pertama masuk SMA

Aku hanya anak kurus dengan rambut berantakan dan kacamata tebal. Tidak ada yang menarik dariku dan aku pintar bersembunyi di tengah keramaian. Dengan menjadi bunglon tak terlihat, sebagian besar orang akan mengabaikanku. Dengan diabaikan, hidupku akan aman.

Berlawanan dengan diriku yang transparan ini, ada orang yang ditakdirkan untuk menarik perhatian meskipun hanya berdiri diam. Orang itu adalah Ryan yang menarik semua pandangan mata begitu dia berjalan memasuki gerbang.

Wajah Ryan memiliki campuran karakter kaukasoid Eropa dan oriental Asia. Dia memiliki hidung tinggi dan bibir natural kemerahan. Matanya berwarna cokelat dengan goresan-goresan jingga pada irisnya. Kelopak mata gandanya dihiasi bulu mata panjang yang menambah keelokan mata itu. Ketika sepasang mata indah itu menoleh ke seseorang, orang itu akan tersihir.

Saat itu, aku juga tersihir seperti orang lain.

Ryan yang berambut hitam berkilau menoleh ke arah kerumunan untuk mencari tempat pendaftaran bersama teman-temannya. Sialnya, saat itu aku baru selesai mendaftar dan masih berdiri di dekat petugas pendaftaran. Karena itulah manusia berwajah malaikat itu menoleh ke arahku. Lebih tepatnya menoleh ke meja tempat mendaftar ulang.

Gara-gara itu, aku dibuat terhenyak dan menatapnya tanpa kedip. Seperti lupa bernafas, aku membeku. kedua mataku bertemu dengan sepasang mata cokelat Ryan. Ketika Ryan berjalan mendekat, aku langsung gelagapan.

"Apa lo liat-liat?" Tanya Ryan ketus begitu dia berada satu meter di depanku. Gaya bicara itu tidak cocok sama sekali dengan wajah malaikat yang dia punya. Dia terlihat seperti preman berwajah ganteng. Sungguh kontras yang buruk.

"Ngg... ngga." Kataku terbata-bata kemudian menunduk. Aku baru sadar kalau menatap orang yang salah dan bersikap tidak sopan. Bukan hanya itu, skillku bersembunyi langsung hilang di hadapan Ryan yang menghipnotis siapapun yang melihatnya.

"Muka lu jelek banget. Minggir! Jangan ngerusak pandangan gue!" Kata Ryan ketus.

Aku yang sadar seberapa jelek diriku, langsung pergi dari tempat itu. Preman berwajah ganteng itu terlihat sangat mengerikan. Ketakutan langsung menguasaiku dan aku berdoa agar tidak bertemu dengannya lagi.

Sayangnya doaku tidak dikabulkan dan kami sekelas. Sejak itu aku menjadi bulan-bulanan kemarahan Ryan yang tidak jelas asalnya darimana.

***

Memori buruk itu muncul di kepalaku dan membuat ketakutanku makin besar. Ternyata sejak bertemu pertama kali aku sudah menjadi target orang ini. Ryan begitu mendendam dan tidak puas menyiksa meskipun sudah berbulan-bulan. Mengetahui kenyataan ini aku hanya bisa mengerang dalam hati.

"Muka cupu lo ini bikin gue kesal." Kata Ryan sambil membuatku menunduk lagi.

Aku cuma bisa memandang sepatu mahal Ryan dengan leher terasa sakit dan kulit kepala yang rasanya seperti tertusuk jarum. Selain Ryan, Dimas memegang leherku dari belakang.

"Besok besok, kalau lu ga bisa kelar ngerjain PR gue, harusnya lo kasi PR lo ke gue. Jangan egois gitu." Bisik Dimas di telingaku. Setelah itu dia mengeratkan cekikan seakan benar akan membunuhku.

"Maaf..." kataku nelangsa. Aku harap mereka segera menghentikan siksaan ini. Mentalku sebentar lagi akan hancur kalau ditakut-takuti begini. Terlebih lagi Ergi sekarang mengeluarkan cutter dan bermain dengan benda berbahaya itu. Suara cutter yang keluar masuk selongsongnya membuatku berpikiran buruk.

"Ini baru peringatan ya. Kalau lo masih macam-macam, gue bisa lebih kejam. Karena kita udah sekelas lama, gue ampuni sedikit kesalahan lo. Tapi, lain kali kalau lo ulangi,..." kata Dimas dilanjutkan dengan gestur memotong leherku dengan jempolnya.

Setelah itu mereka masih belum puas. Aku disuruh bersujud lagi dengan atasan terlepas. Ergi menyentuhkan cutter di kulit punggungku seakan benar akan melukai. Meskipun aku tahu mereka tidak akan bertindak sejauh itu, tetap saja kengerian menguasaiku. Keringat dingin membasahi pelipisku dan tanganku gemetar. Aku merasa seperti di neraka. Waktu terasa sangat panjang dan menyiksa.

Bentakan dan hinaan dari tiga orang itu aku dengarkan tanpa protes. Aku juga diam saja ketika Ryan mengetuk-ngetuk kepalaku dengan kepalan.

"Dasar culun, miskin, jelek. Jijik banget ngeliat lo. Kenapa lo ngga mati aja." Hina Ryan. Setelah itu Dimas dan Ergi akan mendukung.

Mereka baru puas setelah satu jam berlalu. Aku ditinggalkan dalam keadaan tidak memakai atasan dengan tubuh penuh coretan spidol. Isi tasku berhamburan di lantai sehingga aku perlu merapikan semuanya.

Setelah berhasil pulang, di rumah aku harus berhadapan dengan wajah sendu ibuku. Ada penagih hutang yang datang ke rumah.

***

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang