6: Bintang

32 14 0
                                    

"Jangan cemburu. Iona ngelakuin itu karena dia ketua kelas yang bertanggung jawab," kata Jafar ketika kami keluar tenda PMR seusai lukaku dan teman-temanku diobati.

"Gue gak ada hak juga buat cemburu," kataku sambil menyingkirkan tangan Jafar yang menggantung di pundakku.

"Mata lo gak bisa bohong, cok," tukas Jafar sebelum berbalik dan berkata, "ayo, lo semua gue jajanin es teh karena udah menangin kelas," kepada teman-teman kami di belakang.

Mereka bersorak menyetujui.

Jafar menghampiriku lagi. "Ikut, gak, cok? Es teh buat nyegerin hati dan pikiran," tawarnya.

Aku tidak mengatakan apa-apa namun mengikuti mereka semua menuju kantin.

》《

Bulan Agustus sudah habis. September menyapa begitu cepat. Tanpa terasa sudah berada di pertengahan bulan. Usai seminggu penuh dengan penilaian harian hampir semua mata pelajaran, cobaaan selanjutnya akan datang: Penilaian Tengah Semester. Satu minggu lainnya yang juga penuh dengan perjuangan.

Bagi kebanyakan orang, PTS jauh lebih menakutkan ketimbang Penilaian Akhir Semester karena nilai rapot di PTS adalah nilai asli. Alias tidak ada tambahan dari nilai harian, keaktifan, kehadiran, dan sopan santun. Maka dari itu, aku pun turut belajar lebih giat untuk ujian ini. Karena jika nilai-nilaiku banyak yang di bawah KKM, pelatihku di klub voli melarangku latihan selama sebulan. Menyentuh bola voli saja bahkan tidak boleh.

Itu bukan sekadar ancaman belaka, hukuman itu sungguh pernah aku rasakan. Bayangkan, selama sebulan tidak berinteraksi dengan voli untukku sama saja setara dengan neraka. Aku kapok, tidak mau menerima hukuman itu lagi.

"Aduh ... ini gimana, sih, Yog, kok gak balance-balance?" keluhku, mengacak rambutku frustasi. Dua puluh menit menghitung total saldo debit dan kredit di neraca saldo tetapi tidak kunjung sama juga hasilnya.

"Loh, kok iso?" Yogi, teman sekelasku yang ahli akuntansi, mengangkat wajahnya dari lks ekonomi yang sedang ia baca. "Coba sini." Ia menggeser buku besar milikku ke hadapannya.

Yogi merapikan kacamatanya yang nyaris melorot.

"Piye toh, Mas. 'Kan udah aku bilang, debit itu isinya harta, beban, piutang. Kenapa sampeyan masukkin beban ke kredit? Mau sampe tahun jebot juga gak akan balance, Mas." Ia menggeleng-geleng heran. Mengembalikan buku besarku. "Ayo, kerjain lagi."

"Oh, gitu, ya. Sorry gue lupa."

Yogi hanya berdehem. Ia kembali membaca lks ekonomi.

Sepuluh menit berkutat dengan neraca saldo, akhirnya kolom jumlah debit dan kredit menunjukkan angka yang sama. Aku mengembuskan napas lega. Akhirnya. Aku menyodorkan buku besarku pada Yogi untuk dinilai olehnya.

"Nah, bener ini, Mas. Sekarang lanjut kerjain laporan laba rugi, laporan perubahan modal, sama neraca akhir," ucapnya menambahkan cobaan bertubi-tubi padaku.

"Stop, stop." Aku memotongnya. "Gue beli minum dulu, ah. Capek, Yog. Lo mau apa?"

"Aku gak dulu, Mas. Duitku udah abis," tolaknya.

"Gue gak nyuruh lo bayar."

"Wah, dijajanin, nih? Samain ajalah sama Mas Pram. Matur suwun, nggih." Ia tersenyum sumringah.

Forever Silver ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang