BAB II

287 19 9
                                    

Seharian ini Glenn tidak konsentrasi mengikuti kuliah bersama teman sekelasnya di tingkat tiga. Kuliah pengganti yang biasanya dia ikuti di kelas Annie ditunda sampai minggu depan karena dosen yang mengajar masih berada di luar negeri untuk kepentingan perhimpunan profesional jurusan. Mungkin setelah ini dia akan pergi sebentar untuk menemui Aaron atau Juniver di kelasnya nanti. Sekedar basa-basi sambil menanyakan soal keadaan Annie yang semalam nyaris saja kehilangan nyawa.

“Glenn Asterisk! Bisa kau sebutkan dua tokoh sejarah yang mendukung keberadaan jurusan kita?!” teriakan cempreng sang dosen mengejutkan pemuda itu.

Glenn yang semula menyandarkan kepalanya asal-asalan di dinding kontan tersentak. Gelagapan dia dongakkan kepalanya ke depan kelas. Namun apa yang dia cari tak ada di sana! Tubuh kecil nan imut sang ibu dosen pengajar matakuliah analisis itu sudah tidak ada di tempat biasanya. Panik, dia edarkan pandangannya ke sekitar hanya tuk melihat wajah sangar seorang wanita lanjut usia berbadan imut tengah berdiri di sampingnya sambil bersendekap dan melayangkan tatapan garang.

“Tuan Asterisk, apa kau bisa menjawab pertanyaanku?!” tanya ibu dosen sekali lagi.

“Ma-maaf, bu. Tadi pertanyaannya apa?” tanya Glenn bego.

@@@

Glenn keluar dari ruang kemahasiswaan dengan wajah lesu. Ekspresi yang biasa dia tunjukkan sehabis menerima kuliah tanpa judul dari dosen atau orang-orang di rumah. Kedua temannya yang sedari tadi menunggu di depan ruangan dengan setia memilih tetap bungkam meski Glenn sudah di samping mereka. Mereka menunggu, menunggu sampai pemuda itulah yang angkat bicara.

“Kalian nunggu dari tadi?” tanya Glenn memulai pembicaraan yang segera dibalas anggukan serentak oleh kedua temannya. “Sori udah bikin kalian lama nunggu. Kenapa ga ke kantin aja duluan? Gue kan bisa nyusul?”

“Ini namanya setia kawan, men,” seorang pemuda berkacamata menepuk pundak Glenn. “Ga ada lo ga rame.”

“Thanks, Ryan.” Glenn tersenyum getir sebelum mengalihkan pandangnya ke sosok gadis berambut panjang di sebelah Ryan. “Kamu juga, Tess?”

“Ingat, kita udah temenan lama banget, wajar gue nungguin lo.” ujar gadis bernama Tessa itu dingin. “Lagian gue pingin ngelihat dengan mata gue sendiri gimana keadaan lo hari ini setelah kejadian semalam. Ga usah mungkir atau mengelak. Gue yang paling tau kalo kelemahan lo adalah dia, atau yang kita sebut Annie untuk sementara waktu. Lo masih shock? Atau terbawa emosi?”

“Lo ga usah pasang tampang susah begitu terus bro! Seenggaknya dia selamat kan?” timpal Ryan sembari kembali meninju lengan Glenn. Sekedar untuk menjelaskan jika mereka ada di sana untuk membantunya. “Untung kita bertiga datang tepat waktu.”

“Tapi tetep aja, Yan.” Glenn menunduk semakin dalam. “Seperti apapun dia, gue paling ga bisa ngeliat dia kesakitan apalagi sampai pingsan kayak kemarin. Kalian tau kan dia itu kayak gimana?”

Sekarang giliran Tessa dan Ryan yang menunduk. Sebego apapun Glenn baik di masa lalu maupun di masa kini, satu-satunya yang bisa membuat pemuda itu galau, sesuatu yang bisa mempengaruhi emosi hingga kejiwaan pemuda itu secara signifikan adalah ketika tambatan hatinya terluka. Baik terluka fisik maupun psikis. Dan itu sangat meresahkan hatinya seperti saat ini.

Mereka terdiam beberapa saat. Ketiganya terlarut dalam pemikiran dan dunia masing-masing. Sampai akhirnya, seruan “Aaah!” Glenn membuncah, mengagetkan kedua temannya. Segera setelah seruan itu, Glenn mengalihkan pandangannya pada kedua temannya. “Kuliah berikutnya jam berapa?” tanyanya bersemangat layaknya orang kesurupan.

“Empat jam dari sekarang,” jawab Ryan spontan. Kedua alis Ryan tertaut. Dia merasakan Glenn merencanakan sesuatu di sini. Segera, Ryan susuli jawabannya dengan pertanyaan menyelidik, “emang lo mau ngapain?”

Dagger & AsteriskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang