Dari bayangan kaca mobil bagian depan, Saga bisa melihat mobil yang membawa Sesil melaju semakin jauh. Ia mendesah dengan gusar, menghampiri pintu mobil. Ia sudah membuka pintu mobil ketika sesuatu menahannya. Kepalanya berputar dan menemukan mobil sport hitam yang berhenti di seberang bahu jalan. Kaca mobil bergerak turun, memperlihatkan sang pengemudi yang menurunkan kacamata hitamnya.
Wajah Saga mengeras mengenali pria yang duduk di balik kemudi. Cukup lama pandangan keduanya saling bertemu, lalu Saga masuk ke dalam mobil. "Ikuti mobil itu."
Mobil pun melaju, mengikuti mobil sport hitam dengan jarak yang cukup dekat. Tak lebih dari dua menit, kedua mobil itu berhenti di lapangan tenis yang sunyi. Saga turun lebih dulu dan berjalan ke samping agar besi. Wajahnya tampak mengeras, menyimpan kemarahan yang begitu besar, yang nyaris tak mampu dibendungnya.
"Kau benar-benar tak melepaskan pandangan dari istrimu setelah menerima kiriman hadiahku, Saga." Ada tawa kecil yang terselip dalam suara Gio.
Saga berusaha keras menampilkan ketenangan yang terkendali meski dadanya bergemuruh oleh emosi. Ia tak boleh terpancing. Inilah yang diinginkan oleh Gio, yang jelas tak akan ia berikan. Setidaknya dengan cara yang mudah.
"Kau masih saja posesif, Saga. Apa kau tidak belajar banyak tentang bagaimana adikmu berakhir karena keposesifanmu?"
Wajah Saga menggelap, kedua tangannya mengepal dan dadanya menggeram. "Apa kau ada hubungannya dengan kematian adikku?"
Gio mendesah dengan bosan. "Kau tahu aku tak suka mengotori tanganku dengan hal semacam itu," jawabnya dengan setengah bercanda. "Tak ada kematian yang bisa disembunyikan dengan baik." Gio berhenti sejenak, menatap lekat kedua mata Saga. Memastikan Saga mendengarkan kalimat selanjutnya yang akan diucapkannya. "Seberapa dalamnya kau mengubur kematian itu di bawah tanah. Pada akhirnya akan terendus juga."
Saga membeku dalam ekspresinya.
"Tapi ... jika aku berpegangan pada pepatah nyawa dibayar nyawa, bukan kau yang akan kubunuh, Saga. Aku tak sepemurah itu."
Saga tak perlu mendengarkan penjabaran dari kalimat tersebut. Ia tahu siapa yang diinginkan Gio darinya.
"Dan yang lebih menarik? Aku hanya butuh satu batu untuk dilempar kepadamu dan Dirga."
Rasanya wajah Saga tak bisa lebih mengeras lagi.
"Sesilia Nada, bukan? Namanya?"
Saga menggeram. "Jika kau menyentuhnya, seujung kuku pun. Aku akan pastikan kau membayar semua itu dengan sangat mahal, Gio."
Mendengar ancaman tersebut, senyum Gio malah tersungging dengan angkuh. Hingga giginya yang putih tampak berjajar dengan rapi. "Ah, bukankah itu kata-kata yang kukatakan padamu? Apakah aku juga harus belajar untuk tak mendengarkan peringatan itu seperti yang kau lakukan?"
Cukup sudah, Saga tak bisa menahan emosinya. Tubuhnya melayang ke depan, menyambar kerah kemeja hitam yang dikenakan Gio bersama satu tinju yang menghantam hidung mancung pria itu.
Tubuh keduanya jatuh ke tanah berumput, dengan Saga yang duduk di perut Gio. Tangannya sudah terangkat ke samping wajahnya dan hendak menyusulkan tinju untuk kedua kalinya, tetapi ada sebuah tangan yang menahan.
Saga menoleh, menemukan pelakunya adalah anak buah Gio. Tetapi anak buahnya pun melakukan tugasnya dengan baik dengan menodongkan pistol tepat ke kepala Gio.
Gio terbahak merasakan moncong pistol yang menyentuh keningnya. Kemudian pria itu meludahkan darah yang mengucur dari hidung ke tanah di samping mereka.
"Kau tahu aku bisa menjadi gila jika aku ingin, Gio." Saga mengakhiri peringatannya dengan menyentakkan kerah kemeja Gio dengan kasar, lalu bangkit berdiri dan mengelap tangannya yang berdarah menggunakan sapu tangan, yang dibuang ke tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saga Sesil 2 ( After the Story)
Roman d'amourAku mencintai Saga, tapi tak bisa menolak kehadiran Dirga. -Sesil-