26. Pesta

755 168 4
                                    

Pada akhirnya, Saga pun membawa Sesil ke pesta di rumah Alec. Keduanya datang terlambat –sengaja melambat. Sepanjang perjalanan, Sesil tak berhenti tersenyum, dan bergelayut manja di lengannya. Ada kelegaan ia bisa melihat Sesil menikmati semua ini, tetapi masih lebih banyak kecemasan dan kekhawatiran yang menggantung berat di atas kepalanya.

Matanya tak lepas mengamati area sekitar mereka, dengan sikap siaga dan peganggannya di pinggang wanita itu pun tak melonggar sedikit pun.

"Itu Alec dan Alea." Sesil menunjuk ke arah sebelah kiri mereka. Melihat Alec dan Alea yang berdiri tak jauh dari posisi mereka. Saga pun membiarkan lengannya ditarik Sesil mendekati Alec.

"Alec," panggil Sesil, yang segera mendapatkan perhatian dari Alec.

"Sesil?" Alec tersenyum, kemudian pandangannya turun ke arah perut Sesil yang lebih besar dari perut istrinya. Dan yang pasti akan menjadi perempuan. Topik yang sangat tak disukai oleh wanita itu. "Perutmu sudah terlihat lebih besar. Apakah keponakanku tumbuh dengan baik?"

Kemudian wajahnya maju lebih dekat dan berbisik ke arah Sesil. "Ah. keponakan cantikku."

Wajah Sesil memias, sekilas matanya menajam pada Alec ketika mengelus perutnya dan menjawab, "Sangat baik."

Alec hanya tersenyum sambil mengedikkan bahunya.

Sesil mengabaikan Alec dan beralih pada Alea. "Dan selamat untuk kalian berdua," ucapnya lebih pada Alea seorang. "Apa kau ingin mengobrol tentang kehamilan di suatu tempat?"

"Tidak!" tegas Saga dengan pegangan di pinggang Sesil yang semakin menguat. "Saat wanita berkumpul hanya akan menarik perhatian. Lagipula ini sudah malam. Kau harus pulang dan istirahat."

Alec mengangguk tipis memahami isyarat Saga. Keamanan pestanya sangat ketat, seprti yang diinginkan oleh Saga saat pria itu mengatakan Sesil ingin datang.

"Tapi kita baru saja sampai." Sesil menyelipkan nada merajuknya.

Saga mendesah rendah. "Kita sudah datang dan menyapa Alec. Itu lebih dari cukup."

Dengan senyum lebarnya, Alec menunjuk ke arah samping kanan mereka. Lebih kepada Sesil. "Pintu keluar di sebelah sana."

Kalimat Alec seketika mendapatkan delikan tajam dari Sesil. Kemudian ia menatap Alea penuh penyesalan dan berkata dengan tulus, "Maafkan aku, Alea."

"Hah?" Alea tak mengerti permintaan maaf Sesil untuk apa. Tetapi kemudian wanita itu paha, ketika Sesil tiba-tiba melangkah maju dan menginjakkan hak sepatu ke kaki Alec.

Alec mengerang dan menyumpah. Sesil tak mendengarkan umpatan tersebut karena pinggangnya sudah diputar oleh Saga dan dibawa menyelinap di antara kerumunan para tamu.

"Cukup, Sesil."

"Untuk apa kau mengijinkanku pergi jika hanya datang tanpa menikmati pestanya, Saga? Aku ingin mengobrol dengan Alea."

"Aku tak mengatakan kau bisa pergi tanpa di bawah pengawasan mataku."

Sesil menghela napas panjang. "Aku bahkan belum mendapatkan kue ..."

Saga menyambar sepotong pie telur dari atas nampan yang dibawa pelayan yang kebetulan melintas di samping mereka. Memberikannya pada Sesil sebelum wanita itu sempat menyelesaikan kalimatnya. "Jangan bilang ingin ini dan itu lagi, Sesil," bisik Saga di telinga sang istri. Yang terlihat seperti mendaratkan kecupan di telinga.

Sesil terpaksa mengambil pie telur tersebut dan harus berpuas diri dengan sepotong kue tersebut. Hingga detik ini, ia masih tak memahami kenapa kewaspadaan Saga sama sekali tak melonggar. Bahkan semakin hari terasa semakin ketat dan mendekati gila. Sebenarnya ada ancaman apa yang mengincar mereka? Dengan penjagaan seketat ini, Sesil berpikir Saga terlalu berlebihan menghadapi sesuatu yang tidak realistis.

"Habiskan. Kau bilang datang ke sini hanya karena ingin memakan hidangan pesta yang ada di pesta, kan?" Ada kesinisan dalam suara Saga.

Sesil tak mengatakan apa pun. Ia melahap kue tersebut dan menghabiskannya tepat ketika keduanya baru saja melewati pintu keluar dan menunggu mobil di teras. Kemudian Saga mengulurkan segelas jus yang entah didapat darimana.

Sesil pun meneguknya hingga tandas, yang gelasnya langsung diambil dan diletakkan begitu saja di lantai.

Mobil berhenti tepat di depan mereka. Begitu melewati pintu gerbang tinggi kediaman Alec, dua mobil mengiringi masing-masing di depan dan belakang. Sesil bisa melihatnya dengan jelas. Lagi, ia menghela napas panjang

Ponsel Saga bergetar ringan, Sesil bisa melihat ada pesan yang masuk tapi tak bisa membacanya karena posisinya yang cukup jauh. Dan ia tak mungkin menjulurkan kepalanya meski merasa penasaran.

Ponsel yang diberikan Saga pun rasanya tak ada gunanya. Tak ada siapa pun yang bisa dihubunginya. Biasanya ponsel itu digunakan ketika ia keluar dan sewaktu-waktu Saga ingin menghubunginya. Tapi sekarang jelas ponsel itu sama sekali tak bermanfaat.

Sesil berniat membuang kebosanannya dengan melakukan hal yang sama di ponselnya. Mungkin berselancar di internet untuk membaca artikel kehamilan, atau ... tips jitu untuk menghilang keparnoan suami.

"Auww ..." Sesil menarik tangannya dari dalam tas dan melihat darah yang keluar dari ujung jari manisnya.

Saga menoleh dengan cepat, membelalak melihat darah tersebut dan segera mengambil tangan Sesil untuk memeriksanya. "Kenapa?"

Sesil menggeleng. "Aku tak tahu. Entah apa yang ada di dalam tasku. Aku hanya ingin mengambil ponselku."

Saga mengernyit, membawa ujung jemari Sesil ke mulutnya dan menghisapnya karena sepertinya lukanya tak terlalu dalam.

"Sepertinya aku tak memasukkan benda apa pun yang lancip," jelas Sesil lalu mencoba mengingat apa yang tadi dimasukkan ke dalam tas sebelum berangkat. "Hanya lipstik, tisu, ponsel dan bedak."

"Biarkan aku yang memeriksanya," cegah Saga saat Sesil hendak memeriksa tas wanita itu kembali. Salah satu tangannya mengambil tas Sesil dan meletakkannya di sampingnya, menjauh dari jangkauan tangan wanita itu.

Sesil sendiri tak membantah, rasa perih di tangannya pun mulai berkurang dan saat Saga menarik tangannya dari mulut pria itu, darahnya sudah berhenti. "Terima kasih, Saga."

Saga hanya mengangguk singkat. Menarik tubuh wanita itu bergeser ke arahnya. "Kau sudah mengantuk?"

Sesil menggeleng. "Aku ingin makan omelet saat sampai di rumah. Bolehkah?"

"Ya, tentu saja," jawab Saga lirih. Sepanjang perjalana, ia berusaha memberikan perhatian penuhnya pada Sesil meski pikirannya dipenuhi tentang Gio.

Setengah jam kemudian, kecepatan mobil berkurang, melewati pintu gerbang dan berhenti di depan teras. Saga membantu Sesil turun lebih dulu setelah mengambil tas wanita itu.

Sampai di kamar mereka, Sesil pergi ke kamar mandi dan sedangkan Saga berjalan ke meja rias Sesil. Memastikan Sesil menutup pintu dan menyibukkan diri di kamar mandi sebelum ia menumpahkan isi tas di tangannya.

Tatapan tajam Saga memindai dengan seksama, mengamati setiap barang Sesil dan wajahnya mengeras ketika menemukan pecahan kaca di antara barang-barang Sesil.

Amarah bergemuruh di dadanya. Tangannya terulur, mengambil pecahan tersebut dan menggenggamnya. Hingga tetesan darah mulai merembes dari antara celah kepalannya. Seperti ia pernah tak mengindahkan peringatan pria itu, Gio jelas memberikan hal yang sama padanya.

Saga Sesil 2 ( After the Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang