Prolog

2.8K 406 16
                                    

Alana kembali meneguk whisky dari gelasnya hingga habis tak bersisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Alana kembali meneguk whisky dari gelasnya hingga habis tak bersisa. Rasanya sudah lama ia tidak mendatangi bar ini karena banyaknya pekerjaan yang harus ia lakukan selama hampir enam bulan ini. Syuting film, series, hingga yang terakhir beberapa hari kemarin ia baru saja merampungkan syuting empat iklan dengan produk yang berbeda.

"Bian, minta satu gelas lagi ya." Ujar Alana pada Bian, bartender di After Midnight yang ia sudah kenali sejak lama bahkan sebelum dirinya seterkenal sekarang.

After midnight, private bar yang tidak sembarang orang bisa masuk. Hanya orang-orang ternama dan orang-orang yang kenal langsung dengan pemiliknya yang bisa masuk, kalau Alana termasuk dalam keduanya.

"Lagi melepas penat, mbak?"

"Iya nih, stress banget kebanyakan liat kamera." Ujar Alana bercanda sembari menerima kembali gelasnya dari Bian. "Hari ini gak terlalu ramai ya,"

"Iya, yang reservasi cuma ada dua. Mbak Alana sama Mas Gama."

"Gama?"

Mas Bian mengangguk, "Iya, yang anggota DPR itu."

Gamaliel Suryanata, Alana sudah sering mendengar nama itu bahkan wajah politikus muda itu selalu berada di headline news dan tahun lalu seingatnya pria itu pernah masuk ke dalam majalah forbes 30 under 30 Asia, Alana ingat karena tahun lalu ia juga terpilih.

"Mas Gama sering datang kesini, orangnya juga lebih ganteng kalau dilihat secara langsung."

Alana hanya mengangguk-anggukan kepalanya sembari meneguk lagi whiskey-nya. Suasana tenang berakhir saat Bian menyapa seseorang yang baru saja masuk ke dalam area bar.

"Mas Gama, welcome!"

Alana sontak menoleh saat Bian menyapa orang yang sempat melintas di benaknya beberapa saat yang lalu setelah percakapannya dengan Bian mengenai sosok politikus muda ini.

"Can i seat here?"

Alana terkejut saat orang itu mengajaknya bicara. "Oh iyaa silakan,"

"Bian, seperti biasa."

"Siap, mas!"

Alana mencoba fokus dengan minumannya tapi gagal karena orang yang tengah duduk disampingnya itu membuatnya gagal fokus apalagi wangi tubuhnya yang beraroma woody itu seakan membuatnya nyaman malam itu.

"Kamu terlihat gak asing,"

Alana kembali menoleh. "Saya?"

"Ya, oh right, i saw your face in many billboards and I also watched your movie."

"Oh wow thank you, btw which one?"

"The 17's love, your first movie."

"Ah, itu film udah lama banget, akting saya masih jelek haha"

"Tapi saya suka akting kamu di film itu, sekarang lagi senggang, kah?"

Alana mengangguk, "Ada waktu libur seminggu sebelum kembali sibuk syuting."

"Pilihan yang tepat untuk datang ke tempat ini malam ini pula, saya akhirnya bisa melihat aktris yang dari dulu saya kagumi secara langsung. Dan kamu ternyata lebih cantik jika dilihat secara langsung begini."

Bagaimana bisa Alana tidak tersipu malu jika ada seseorang yang memujinya secara terang-terangan begini?

"Thank you, Pak Gama?"

"Just call me Gama, saya belum setua itu untuk dipanggil bapak."

"Alright, Gama." Ulang Alana sembari terkekeh pelan.

Percakapan diantara mereka terus berlanjut mulai dari membahas kesulitan syuting film hingga keluh kesah Gama sebagai politikus muda yang banyak diremehkan orang-orang di parlemen dan karena keasyikan mengobrol mereka sampai tak sadar jam sudah menunjukan pukul dua pagi.

"Masuk dunia politik sebenarnya bukan pilihan saya tapi kakek dan ayah saya, kalau bisa memilih saya lebih baik saya mengelola bisnis keluarga saja." Ucap Gama sambil menatap Alana yang sedari tadi sangat fokus mendengarkan cerita Gama.

"Terus apa yang membuat kamu akhirnya mau mencalonkan diri?"

"Banyak hal yang ingin saya ubah di parlemen terkait beberapa kebijakan yang selama ini memberatkan rakyat, tapi ternyata tidak semudah itu, sosok seperti saya sering mendapat cibiran dari para anggota senior."

"That's fine, setidaknya kamu udah berusaha walau tidak sekarang tapi mungkin di masa depan akan banyak sosok-sosok seperti kamu."

"I hope so, so how about your celebrity life? Are you enjoy your life?"

"Sangat melelahkan dan menyenangkan dalam waktu yang bersamaan, bisa dibilang I enjoyed my life as celebrity walau ada banyak hal positif dan negatifnya yang saya terima selama ini, tapi itu bukan sesuatu yang menghalangi langkah saya selama berkarir."

"Yeah that's life, suka gak suka, enjoy gak enjoy itu tergantung bagaimana kita menyikapinya."

Mata Alana sudah mengantuk berat, mungkin efek dari minuman yang sedari tadi ia nikmati. Seakan peka dengan kondisi Alana, Gama menarik gelas dari tangan Alana dan meletakannya keatas meja.

"Keberatan gak kalau saya nganterin kamu pulang? Agak riskan kalau kamu pulang sendiri di jam segini."

"No, it's--"

"Don't worry, saya bawa supir kok jadi bukan saya yang nyetir. Okay?"

Akhirnya Alana mengiyakan tawaran Gama karena ia juga tidak bisa menghubungi Miya, manajernya, untuk datang kemari dan menjemputnya. Lagipula ia juga percaya tidak mungkin pria ini berani macam-macam terhadapnya, bisa-bisa reputasinya yang akan menjadi taruhannya nanti.

Mobil Range Rover hitam itu mengantar Alana dengan selamat hingga di lobby apartemennya, Gama menawarkan untuk mengantar Alana sampai keatas tapi ia menolak karena sudah terlalu merepotkan Gama malam ini.

"Makasih banyak ya, Gama."

"You're welcome, kapan-kapan kita minum bareng lagi ya?"

Alana terkekeh pelan dan hanya mengacungkan jempolnya sebagai jawaban atas ajakan Gama. Mereka sudah terlalu akrab untuk ukuran orang yang baru pertama kali bertemu, mana di bar lagi.

Tapi percayalah, Alana nyaman selama berbincang dengan Gama tadi. Pria itu berhasil menarik perhatiannya, dari caranya berbicara yang sangat menghargai pendapat orang lain hingga caranya memperhatikan Alana.

"Saya pulang dulu, selamat malam dan selamat beristirahat, Alana."

"Hati-hati dijalan, Gama."

Gama mengangguk dan mempersilakan Alana untuk masuk terlebih dahulu baru setelah memastikan gadis itu naik dengan aman Gama langsung kembali masuk ke dalam mobilnya.

"She's Sutedja, right?" Gama mengangguk untuk menjawab pertanyaan Haris, asisten pribadi, yang menjadi supir dadakannya malam ini--tidak pagi ini maksudnya.

"Iya, tapi selama ngobrol di bar tadi dia gak pernah mention tentang keluarganya dan lebih banyak bercerita mengenai kehidupannya sebagai artis."

"Masuk tipe ideal lo, bos?"

"Kayaknya, gue agak tertarik sama dia."

Haris hanya tertawa pelan sembari mengendarai mobil ini keluar dari komplek apartemen Alana yang sepertinya termasuk salah satu hunian mewah di daerah Jakarta Selatan.

"Kalau yang ini jangan sampai lepas sih, bos."

By My SideTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang