Part 4

15.3K 934 24
                                    

Keluargaku hanyalah keluarga sederhana yang perlu berhemat untuk segalanya. Ibuku cuma seorang pembantu rumah tangga sementara ayahku adalah tukang kebun. Mereka bekerja di rumah orang kaya sehingga sebenarnya uang itu cukup untuk hidup berempat. Sayangnya, demi membayar biaya rumah sakit mbah, orang tuaku terpaksa berhutang. Setelah mbah meninggal, yang tersisa hanya hutang menumpuk dengan bunga tinggi.

Itulah penyebab kenapa ada saja penagih hutang yang menengok rumah tiap bulan. Kali inipun mereka datang. Jika itu terjadi, Ibuku hanya bisa duduk menunduk dengan tangan gemetar. Dia akan menghadapi penagih hutang itu sendirian dengan wajah pucat.

"Udah deh, bayar bunganya aja kalau ngga sanggup bayar cicilannya." Kata salah satu orang yang mengenakan jas rapi namun wajahnya berisi bekas luka.

"Bunganya juga belum ada. Apa bisa ditunda tiga hari lagi sampe kami dapat gaji?" Kata ibuku takut-takut.

"Oke. Tiga hari lagi kami datang." Jawab orang itu. Dia kemudian bangkit dari tempat duduk dan mengajak dua rekannya pergi.

Aku hanya bisa menonton itu dengan sedih. Meskipun begitu, hari ini sikap mereka jauh lebih baik dibanding biasanya. Aku pernah mendengar mereka memaki dan menyuruh ibuku menjual diri untuk membayar hutang.

"Fadlan, udah pulang?" Tanya ibuku. Ternyata sedari tadi ibuku tidak sadar aku ada di sana.

"I.. iya bu." Jawabku.

"Kenapa baru pulang?" Tanyanya lagi.

Aku kesulitan menjelaskan ini. Tidak mungkin aku mengatakan kalau aku dibully di sekolah. Bagaimanapun sekolahku di sana dibayar oleh majikan ibu dan ayah. Aku tidak mau membuat mereka khawatir dan memikirkan apakah aku perlu ganti sekolah atau tidak.

"Tadi piket." Kataku singkat. Aku memang menggantikan Sinta yang piket tapi tidak mau melakukan apapun.

"Oh, ganti baju sana. Makan dulu." Kata ibuku akhirnya. Untung saja aku tidak ditanyai terlalu jauh.

Tanpa banyak bicara, aku masuk ke kamar dan mengganti pakaian. Karena sudah berada di tempat aman, aku mencoba melirik punggungku. Aku penasaran apa yang dilakukan Dimas.

Di punggungku itu tergambar tangkaian cerita dua karakter dengan berbagai ekspresi. Gambar itu sederhana tapi menarik. Dimas seperti membuat sebuah cerita kartun tentang dirinya yang menghajarku. Kalau saja aku tidak tahu siapa yang digambar, aku akan mengagumi bakat menggambar manusia keji itu.

Gambar itu sebenarnya tidak begitu mengganggu asalkan aku menganggap itu hanya cerita kreatif. Yang menyakitkan adalah tulisan yang ditulis Dimas. Di bawah gambar yang ada, tertulis dua patah kata, "Mati Lo!"

"Urgh!" Seruku. Kalimat-kalimat seperti inilah yang membuatku benar mau mati saja. Untung saja orang tuaku masih mencintaiku sehingga aku tidak melakukan hal-hal nekat kalau mengingat mereka. Meskipun Ryan selalu mengataiku dan yang lainnya melihatku seperti sampah busuk, Orang tuaku selalu melakukan apapun untuk masa depanku. Karenanya aku tidak akan membuat mereka bersedih.

Perlu waktu beberapa lama sebelum aku sampai di meja makan. Aku mandi dulu untuk menghapus coretan-coretan tangan Dimas kemudian mengganti pakaian. Setelah merasa kembali bersih barulah aku membuka tudung saji untuk melihat ada apa saja di sana.

Hari ini menu makan agak mewah. Ada telur yang dicincang, sayur asem, potongan-potongan kecil ikan goreng, dan tahu. Sepertinya ibu membawa sisa lauk dari rumah majikannya. Kalau tidak, hanya akan ada tahu dan nasi di meja.

Karena kehadiran makanan mewah itu, aku makan dengan lahap. Bagaimanapun aku sudah kelaparan karena hanya memakan sarapan dan pulang terlalu sore.

"Lan. Tadi Azis datang nyariin. Katanya penting jadi ibu suruh datang lagi aja nanti." Kata ibuku yang kini sibuk mencuci piring.

"Oh. Iya." Sahutku. Azis sebenarnya menawarkan pekerjaan sampingan agar aku bisa membantu orang tua. Hanya saja pekerjaan itu agak meragukan karena bersentuhan dengan dunia malam. Ibu dan ayah mungkin tidak mengijinkan sehingga aku belum memberikan jawaban hingga sekarang. Sepertinya aku menolak saja.

"Adikmu bentar lagi SMA. Mudah-mudahan dia lulus ujian dan nilainya bagus." Kata ibu. Topik ini sudah muncul beberapa minggu yang lalu. Karena itu juga aku mengajar adikku setiap hari sabtu dan minggu. Sayangnya, aku sebenarnya tidak mau adikku bersekolah di sekolah yang sama dengan sekolahku yang sekarang. Lebih baik dia mencari tempat lain yang tidak terlalu banyak diisi orang kaya. Anak-anak orang kaya itu semuanya menakutkan.

***

Sore berlalu dengan cepat dan Azis datang ke rumah setelah magrib.

"Aku punya penawaran baru. Kali ini kamu pasti suka." Kata Azis begitu sampai di rumah. Dia bahkan masih berdiri di teras.

"Penawaran baru?" Tanyaku. Aku hampir saja langsung mengatakan penolakan. Tapi aku menahan diri. Jika penawaran baru ini benar menarik, mungkin aku pertimbangkan.

"Iya. Ada restoran yang mau mencari pencuci piring. Gimana? Kamu cuma perlu kerja dari sore sampai malam. Pulangnya bisa sama aku karena tempat kerja kita dekat." Tawarnya.

Penawaran itu terdengar menarik. Asalkan aku tidak perlu ke tempat-tempat yang mencurigakan, ibu dan ayah mungkin setuju. Dengan begini, aku mungkin bisa membantu meringankan beban mereka. Akupun sudah bosan melihat rentenir menginjak-injak keluargaku terus-terusan.

"Aku omongin sama ibu dulu ya. Besok pagi aku ke rumahmu buat ngasi tahu jawabannya." Hanya itu yang bisa aku katakan.

"Oke." Kata Azis riang. Setelah itu dia langsung berbalik.

"Ngga singgah dulu?" Tanyaku.

"Besok aku datang lagi. Aku perlu siap-siap kerja. Hari ini aku ada shift malam." Sahut Azis tanpa berbalik.

***

"Tapi kamu masih sekolah" kata ayah menentang. Setelah mendengar ceritaku, ayah tidak setuju sama sekali. "Gimana dengan belajarmu? Kalau nilaimu jelek, nanti kamu ngga bisa kuliah." Lanjutnya.

"Aku akan tetap rajin belajar yah. Jangan khawatir." Balasku. Aku harus bisa meyakinkan mereka. Kalau tidak, aku hanya akan menjadi penonton ketika orang tuaku dihina panagih hutang.

"Kak, kalau gitu, apa kakak berhenti ngajarin aku?" Tanya Furqon.

"Ngga. Sabtu minggu tetap kakak les-in." Jawabku. Aku lupa kalau masih ada adikku yang layak berpendapat.

"Tetap aja kamu bakal capek. Kalau capek, gimana sekolahnya?"

"Aku coba dulu sebulan yah. Kalau misalnya ada masalah, aku bisa berhenti." Aku masih kukuh.

"Gimana kalau kita ijinkan untuk mencoba aja dulu. Kalau memang ngga mengganggu, bisa dilanjutin." Kata ibu menengahi.

Saat itu ayah masih kurang sreg dengan ide itu. Aku perlu beradu pendapat beberapa kali dan membujuk dengan segala cara. Setelah setengah jam berdiskusi, barulah ayah menyerah. Ayahku akhirnya mengijinkanku bekerja dengan banyak persyaratan.

Setelah drama panjang, aku akhirnya bisa merasa lega dengan hasil diskusi kami. Sayangnya aku tidak tahu kalau banyak hal yang harus aku hadapi setelah bekerja di restoran itu. Duniaku diubah dengan brutal.

***

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang