"Jadi apa rencanamu sekarang?" ia berbicara pada dirinya sendiri, mengetuk-ngetuk layar ponselnya. "Seperti ucapanku, jika Inojin tidak jadi milikku, maka bocah itu juga tidak bisa memilikinya," ia menyeringai, tersenyum mengetikkan sesuatu di ponselnya dan menutupnya kembali.
"Kau juga harus merasakan sakit yang ku rasakan Himawari."
Matanya memincing pada setangkai bunga matahari yang belum dewasa itu, bertengger sempurna di vas putih yang ia letakkan di sudut meja. Ia mengambilnya dan meremas semua kelopak bulatnya itu, mengotori lengannya dengan lendir hijau yang dihasilkan bunga itu.
"Sakit saat kau kehilangan cintamu."
•••
Boruto tidak menyampaikan apa-apa setelah Inojin menceritakan semuanya. Rasa untuk gadis pemalu yang ia temui di masa SMAnya itu memanglah telah hilang, tapi rasanya tetap sedikit menyentil hatinya mengetahui betapa mengerikannya gadis itu telah tumbuh.
Ia memilih untuk menenangkan diri membeli beberapa botol minuman dingin di kantin rumah sakit. Sementara itu, ada hal yang masih menjadi pertanyaannya, tentang Inojin yang memintanya untuk kembali berbicara setelah Hima pulang.
"Ada apa dia ingin bicara denganku lagi? Dan kenapa harus menunggu Hima pulang?"
"Kau tidak pulang?"
"Nanti saja, Papa sendiri? Bukannya tadi keluar?" ujarnya, ia menyodorkan botol minuman baru yang belum dibuka, Naruto menerimanya dan meminumnya sedikit.
"Ibumu ingin berkunjung ke rumah Ino sebentar, jadi aku memilih untuk kembali dan mengajakmu pulang." ia memperhatikan raut bingung dari putranya itu, "Ada apa?"
"Ayah sudah tahu kalau yang menusuk Inojin itu yang mengaku jadi selingkuhannya?" Naruto mengganguk, "Dia teman kami saat SMA, aku tidak percaya sekarang dia seperti ini."
"Ayah juga tidak percaya, tapi ya kata orang itu benar, cinta membuat kita lupa akan segalanya." Naruto meneguknya lagi, "Lain kali, kau harus cek kebenaran suatu cerita sebelum menyampaikannya padaku."
"Iya iya aku minta maaf." Boruto menghantukkan kepalanya pada meja itu, "Aku terbawa emosi, aku tidak bisa melihat adikku menangis karena bocah sialan itu."
"Yah mungkin Inojin sangat membenci ide pernikahannya." Naruto meneguk minumannya lagi, "Bagaimana dia saat di SMA? Maksudku, dengan gadis-gadis."
Boruto berdecak sebal, mengarahkan pandangannya pada ayahnya itu, "Ah dia tidak pernah peduli dengan banyaknya gadis cantik yang mengejarnya."
"Itu dia!" Boruto seketika bangkit, menyadari fakta yang menurutnya tidak mungkin, "Ah tapi masa sih Sumire masih menyukai Inojin selama itu?"
"Maksudmu?" ia kembali duduk begitu ayahnya menanyakannya, bingung akan perubahan emosi yang sangat cepat dari putranya itu, dari benar-benar terlihat tidak memiliki semangat hidup sampai tiba-tiba bangkit sepenuh tenaga seperti tadi.
"Dulu, salah satu gadis yang mengejar Inojin itu Sumire. Seperti biasanya, ia tidak peduli, tapi aku tidak percaya Sumire masih menyukainya sampai sekarang."
"Adikmu juga seperti itu." Boruto menaikkan alisnya, "Ya dulu dia pernah mengejar Inojin, Sai selalu menelfonku begitu melihat Hima yang berkali-kali ada di kantornya hanya untuk menemui Inojin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Can We Fall In Love? [COMPLETED]
FanfictionKata apa yang tepat untuk hal ini? Kutukan? Atau Anugrah? Jujur! Aku sangat bingung! Aku memang bahagia karena pada akhirnya, sosok yang aku sangat sangat kagumi dari dulu kini menjadi milikku Tapi apakah harus sekarang? Apa yang mama dan papa piki...