Hari-hariku di sekolah berjalan seperti biasa. Pada pagi hari, aku akan dihina ketika memasuki gerbang sekolah kemudian dipaksa menyalin PR untuk trio berandalan di kelas. Ketika jam istirahat, aku akan diperbudak untuk membelikan jajanan oleh gengnya Ryan atau Sinta. Sesekali aku akan melakukan kesalahan yang tidak kuketahui tapi membuat Ryan, Dimas, atau Ergi geram. Jika itu terjadi, mereka akan merundungku dan mencaci maki. Itu jika mereka sedang baik. kalau sedang kasar, mereka akan berkomunikasi dengan kepalan tangan dan pukulan. Tidak jarang mereka menyeretku ke toilet untuk disiram.
Hinaan seberapa jeleknya aku, akan terjadi sepanjang hari dengan bermacam-macam kreatifitas yang menyakitkan hati. Seakan berdosa menjadi orang culun, sebagian besar anak-anak ingin membuangku ke neraka. Hanya Ethan yang akan menghibur sesekali. Itupun akan berdampak buruk padanya.
Semua penderitaan itu baru berakhir setelah aku berhasil melarikan diri ke rumah. Sesampainya di rumah, neraka itu langsung lenyap dan aku merasa seperti manusia lagi. Aku bisa bernafas lega sejenak sebelum bersiap untuk mendatangi restoran tempatku bekerja. Di restoran itu, aku tidak punya waktu luang sama sekali namun kesibukan itu malah mendamaikan.
Tanpa disadari, aku sudah sebulan bekerja. Waktu berlalu cepat dan rutinitas itu sudah menjadi kebiasaan sekarang. Aku sudah mengenal lima karyawan di restoran itu dan mulai bisa mengobrol dengan mereka. Spesial dengan bossku, Bian, kami cukup akrab karena Bian sangat ramah.
"Lan, aku masih ngga ngerti kenapa kamu masih pake kacamata jelek ini." Kata Bian, Si Pemilik Restoran, dengan nada santai. Dia mengomentari kacamata tebalku yang terlihat seperti artifak berusia ratusan tahun.
"Aku ngga punya uang." Kataku pelan. Tanganku masih sibuk menggosok piring kotor.
"Kalau itu masalahnya, bukannya aku udah bilang kalau aku mau membelikan softlense?" Lanjut Bian gusar. Dia sepertinya punya dendam tersembunyi pada kacamata yang aku kenakan. Setiap hari ini menjadi keluhannya.
"Kalau gitu, kamu akan memotong gajiku." Sahutku melawan. Aku membutuhkan semua uang yang bisa aku dapatkan. Urusan kacamata, bisa diurusi nanti.
"Aku ngga akan memotong gajimu. Anggap aja itu tunjangan pegawai. Kali aja setelah aku upgrade, kamu bisa jadi waiter. Aku masih kekurangan waiter di sini." Bian masih tidak mau kalah.
"Jangan buat aku berhutang budi terlalu banyak." Keluhku.
Bian baru membuka restorannya dan dia masih mahasiswa semester 4. Meskipun begitu, dia sudah membayarku di awal ketika Azis menjelaskan kondisi keluargaku. Itu akhirnya menyelamatkan orang tuaku dari perundungan penagih hutang untuk sementara. Dia sudah menolong terlalu banyak. Karenanya aku tidak mau berhutang budi lebih banyak lagi. Terutama pada mahasiswa semester 4 yang baru merintis usaha.
"Tenang aja. Aku punya banyak uang. Meskipun semuanya uang orang tuaku." Sahutnya yang kemudian tertawa.
"Tetap aja aku ngga mau mengambil hutang yang ngga bisa aku bayar." Tolakku kokoh.
"Kata siapa kamu ngga bisa membayarnya? Nanti kamu bisa belajar yang baik dan bantuin aku jadi manajer di sini. Aku akan buka banyak cabang jadi masih banyak lowongan untuk membantuku. Sejauh kamu bisa dipercaya, aku akan menjadikanmu orang kepercayaan." Kata Bian penuh keoptimisan masa depan.
Sayangnya aku yang hanya bisa melihat kegelapan di masa sekarang, tidak akan bisa paham terhadap masa depan itu.
"Aku ngga yakin." Balasku dengan suara nyaris tidak terdengar.
Melihat aku yang makin tenggelam dalam pikiran negatif, Bian menarik tanganku.
"Break sebentar." Katanya.
Akupun menurut dan membuka sarung tangan yang aku gunakan. Setelah itu dia membawaku masuk ke ruangan boss. Di situ dia mendudukkanku di depan meja boss kemudian melepaskan kacamata yang aku kenakan.
"Wah, kalau tampangmu gini, aku bisa kasi gaji lebih tinggi. Gimana kalau kamu jadi waiter aja?" Kata Bian bersemangat. Setelah meletakkan kacamataku di atas meja, dia memegang pipiku dan menyisir rambutku ke belakang.
"Ngga mau. Aku takut ketemu orang banyak. Aku ngga bisa ngobrol manis."
Tak mau dibebani tugas yang tidak bisa aku lakukan, aku menentang kemauan Bian.
"Ini perintah boss. Kamu ngga boleh melawan!" Kata Bian tegas.
Aku tidak bisa apa-apa kalau dia mengatakannya dengan cara itu.
"Kita ke optik habis itu ke salon." Bian kembali dengan semena-mena menarik tanganku.
"Kak Bian, aku ngga mau."
"Udah aku bilang kalau aku ngga akan memotong gajimu karena ini."
"Bukan itu masalahnya!"
"Ngga ada masalah. Ikut kemauan bossmu atau aku pecat. Pilih yang mana?"
Akhirnya aku tidak bisa melawan. Aku mulai dongkol karena selalu bertemu dengan orang-orang yang semaunya sendiri. Meskipun Bian ramah dan baik, tetap saja dia seenaknya. Apa jangan-jangan aku terlalu lemah sehingga semua orang memperlakukanku seperti ini?
Kami akhirnya meninggalkan restoran kemudian pergi ke mall. Seperti ayam yang mau disembelih, aku pasrah atas kemauan Bian.
Perjalanan pertama kami adalah menuju optik. Di situ aku dipaksa berlatih menggunakan softlense. Itu adalah latihan berat. Setiap mencoba, aku merasa mataku akan buta karena tertusuk softlense. Aku benar-benar tidak tahu cara memakai benda kecil itu.
Namun, berlawanan dengan dugaanku, Tuhan ternyata masih baik padaku dan aku berhasil setelah beberapa kali mencoba. Setelah mengenakan benda itu, aku baru tahu kalau kondisi ini sangat nyaman. Hidungku tidak berat tapi aku bisa melihat dengan jelas. Rambutku yang berantakan semakin terlihat jelas sehingga aku segera memalingkan wajah dari cermin.
"Gimana? Bagus?" Tanya Bian. Aku hanya mengangguk.
Setelah selesai dengan softlense, Bian membawaku ke salon. Dia bahkan menutup mataku dengan blindfold sehingga aku tidak bisa melihat wajahku di cermin.
"Kenapa harus tutup mata kak?" Tanyaku takut. Apa yang akan dia lakukan?
"Biar jadi kejutan." Katanya bersemangat. Aku tidak bisa mengalahkan semangat itu. Yang bisa aku lakukan hanya mendengar suara gunting sambil melamun.
Satu jam berlalu dan rambutku sudah ditreatment dengan begitu banyak hal-hal aneh yang tidak kuketahui. Aku merasa bersalah dan tidak enak. Apa perlunya Bian berbuat sejauh ini?
"Janji ya, nanti setelah kamu lihat wajahmu, kamu mau jadi waiter di restoranku. Kamu bakal bagiin selebaran di depan restoran dan menarik pengunjung buat datang." Kata Bian setelah barber mengatakan kalau semuanya sudah selesai.
"Kak, aku ngga jago bersosialisasi." Jawabku. Aku tidak mau mengecewakan orang.
"Nanti aku kasih tahu caranya. Asalkan kamu ikutin dialog yang aku kasi, semuanya beres!" Kata Bian masih keras kepala.
Aku iri pada sifat keras kepala itu. Bian tidak pernah bisa ditolak kalau sudah membujuk.
"Jadi gimana? Janji ya kamu ngga bakal lari setelah melihat wajahmu. Aku sudah berinvestasi jadi kamu harus jadi aset restoran."
"Iya aku janji." Kataku akhirnya. Tidak ada hal lain yang bisa aku lakukan.
"Okay. Satu lagi."
"Apalagi?" Kenapa permintaannya makin banyak?
"Jangan tampar aku kalau nanti aku meminta permintaan lain. Kamu boleh menolak tapi kamu harus tetap bekerja untukku."
"Ok." Aku menjawab cepat karena sudah tidak sabar.
Pada akhirnya, Bian tidak lagi cerewet. Dia membuka penutup mata yang aku gunakan. Sebenarnya aku bisa membuka sendiri tapi aku menghormati Bian yang sudah menyusahkan dirinya untuk mengurusiku. Jarang-jarang aku bertemu orang yang segini peduli.
Setelah penutup mata terlepas, aku membuka mata perlahan karena takut akan melihat sesuatu yang mengerikan. Meskipun sudah menyiapkan mental, yang aku lihat ternyata jauh lebih ngeri daripada yang bisa aku bayangkan.
Di cermin, aku tidak melihat bayanganku. Yang terlihat adalah seorang laki-laki asing tampan yang akan menarik perhatian banyak orang.
"Siapa kamu!" Bentakku seraya memundurkan kursi. Gara-gara kaget, aku terjungkal ke belakang karena mendorong kursi yang aku duduki terlalu keras.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
RYVAN 1 - Ugly Duckling
RomanceSeme pembully vs Uke culun vs seme gentleman Cerita tentang orang culun yang menjadi ganteng setelah bertemu tambatan hati yang baik. Sayangnya gara-gara glowing up, orang yang dulu suka membullynya malah mengejar-ngejarnya. Catatan: author nulis u...