-17 Maret 2008-
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, namun lelaki itu masih berdiri mematung di depan sebuah mawar biru yang terkurung dalam kotak kaca kecil. Beberapa catatan deskripsi yang tertempel pada kotak kecil itu cukup membuatnya semakin penasaran. Apalagi penjelasan tentang ditemukannya mawar tersebut, di kutub utara. Deskripsi singkat tersebut menjelaskan bahwa para ahli mengemukakan mawar itu awalnya berwarna putih namun karena ia mekar di kutub utara, udara dingin disekitarnya memaksanya merubah warna menjadi biru.
"Sungguh keanehan yang luar biasa bukan?" Pikirnya. Sesaat sejenak ia menghembuskan napasnya seraya menggeleng-gelengkan kepala.
"Sebenarnya siapa yang dengan santainya meletakkan mawar yang belum mekar di tengah tanah es itu? Namanya tidak dituliskan disini. Sebenarnya ini asli atau tidak? Sangat tidak jelas." Beberapa dugaan mengisi kepalanya. Dengan kesal tangannya mulai mendekati kotak kaca itu, hendak membuka dan mengambil mawar itu.
Tap
Seorang gadis kecil menepuk bahu lelaki itu, seketika membuatnya terkejut. Dengan terpaksa ia mengurungkan niatnya. "Kei?!" ujar gadis kecil itu kemudian.
Dengan perlahan lelaki yang bernama Kei itu berbalik menatap gadis kecil itu ."Ada apa?" tanyanya kemudian.
"Sekarang jam berapa? Ya ampun, kenapa kau selalu berpisah dari grup? Memangnya kau ingin sendiri sampai mati?" Ocehan gadis kecil itu terdengar seperti seorang ibu yang khawatir akan anak satu-satunya.
Tawa kecil terdengar keluar dari mulut Kei. "Iya-iya, maaf. Aku hanya ingin melihat ini sebentar," jawab Kei kemudian sambil menunjuk ke arah bunga mawar biru yang penuh misteri itu.
"Ya ampun. Kenapa kau tidak memotretnya saja? Dengan begitu, kau bisa melihatnya sepanjang hari kan?" Bisik gadis itu sambil tertawa sesekali.
Kei mulai menggaruki kepalanya yang tidak gatal dengan tangan kirinya. "Aku lebih suka menyimpannya dalam memori otakku, ketimbang dalam memori ponsel. Tidak ada yang tahu, kapan ponselku akan rusak kan?" tutur kei.
Druuutt druuutt druuutt
Ponsel gadis kecil itu bergetar. Dengan cepat ia meraihnya dari saku jaket yang ia kenakan. Terpampang sebuah nama yang tidak asing baginya, ibu Susan. Lebih tepatnya guru yang mendampingi mereka mengunjungi tempat yang menyimpan barang-barang kuno dan langka, sebuah museum.
Tanpa pikir panjang, gadis kecil itu menggeser layar ponsel. "Halo, Bu?!"
"Kamu dimana? Udah ketemu Kei? Titik kumpulnya sekarang di lobi, jangan kelamaan Aika." Sebuah suara terdengar menjelaskan.
"Udah kok, Bu. Ini lagi jalan kesana," jawab Aika dengan singkat.
"Oke, Ibu tunggu ya," balasnya mengakhiri.
Setelah meletakkan ponselnya kembali, ia sedikit heran saat melihat Kei sudah tidak ada lagi di tempatnya semula. "Kei?!" Ucapnya lirih.
"Aikaa ... mau sampai kapan kau disitu?" Ucap Kei dari kejauhan sambil tersenyum puas menjahili. Rupanya saat Aika fokus berbicara dengan ibu Susan, dengan mengendap-ngendap Kei meninggalkannya.
Wajah Aika memerah, dengan kesal ia mulai berjalan ke arah Kei yang masih berdiri sambil tersenyum sendiri. "Dasar Kei." Karena perasaan kesal yang kini meluap-luap, Aika terus berjalan melewati Kei.
Kei menghembuskan napasnya perlahan. Senyuman masih terlihat pada wajahnya. "Aku menyukai mawar," bisiknya. Kaki panjangnya dengan cepat mengikuti langkah kecil gadis itu.
"Memangnya aku peduli?" Desis Aika. Pandangannya masih tertuju ke depan, sekalipun ia tidak berniat melihat lelaki usil itu.
Kei tersentak, padahal bisikannya sangat pelan. Ia juga tidak berharap Aika akan mendengar ataupun menjawabnya. Tawa kecil Kei membuat Aika merasa dirinya diejek. Tanpa melihat papan nama dan arah penunjuk jalan, langkah kecilnya dengan cepat melaju tak kenal arah.
"Ya ampun, kau tak pernah berubah ya, Aika. Sama seperti mawar yang sudah berganti warna," gumam Kei.
***
"Kei?? Aika dimana?" Tanya ibu Susan penasaran saat melihat Kei datang seorang diri.
Kei tak merespon, ia hanya tersenyum kecil sambil mengangkat kedua bahunya.
Ibu Susan menepuk dahinya. "Ya ampun"
Tak lama kemudian wajah gadis kecil itu muncul di balik Kei. "Maaf, Bu. Tadi saya-"
"Ohiya, Bu. Aku lupa ... Aika tadi ke WC. Hehehe," Kei memotong.
Ibu Susan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sudah-sudah, sebentar lagi matahari terbenam. Ayo cepat!!"
"Baik, Bu" balas Aika dan Kei serentak.
Dengan cepat mereka berdua langsung berjalan keluar dengan ibu Susan, bis sekolah pun sudah lama menunggu mereka.
Mereka cukup terkejut saat melihat tak ada tempat lagi yang kosong kecuali di ujung pojok kiri bis yang kadang terkesan menakutkan. Tanpa pikir panjang, Kei dan Aika menuju tempat itu kemudian duduk.
"Aku tak akan berterima kasih soal tadi," ucap Aika dingin. Nampaknya ia masih sangat kesal dengan tindakan kekanak-kanakan Kei yang tergolong sangat suka sekali bercanda.
Kei yang mendengar hal itu hanya bisa tersenyum tanpa melihat Aika. Sebuah buku sedang ia tarik keluar dalam tas ranselnya kemudian mulai beraksi dengan pena kesayangannya. Sedangkan bis mulai melaju menembus senja yang telah pudar.
Sepanjang perjalanan, bis terasa sepi. Sangat berbeda saat mereka berangkat, banyak ocehan yang bahkan berisiknya hampir sama dengan suasana pasar. Kali ini hampir semuanya tertidur lelap, lelah menghabiskan waktu dengan segala aktivitas mereka di museum.
Hari mulai gelap, lampu yang dipancarkan bis mulai menerangi jalanan yang agak basah. Lampu-lampu kota pun ikut menyala dengan warna kuning yang sangat tak asing. Beberapa kendaraan juga ikut serta menerangi dengan lampu-lampunya.
Aika saat itu tidak tidur, ia menatap ke luar menembus jendela bis. Entah apa yang dipikirkannyan. Mungkin rasa kesalnya masih memuncak gara-gara seorang Kei yang sedari tadi duduk di samping kanannya.
Begitu juga dengan Kei, ia masih sibuk beraksi dengan penanya. Menulis sesuatu yang baginya sangat penting ketimbang tidur. Tidur memang perlu, tapi jika berlebihan pikun akan selalu menghantui. Pikirnya.
Dak
Kepala kecil Aika menabrak kaca di sampingnya. Sontak arah pandangan Kei menoleh ke arahnya, ternyata gadis yang kecil dan pendek itu terlelap. Dengan perlahan Kei menarik tubuh Aika agar bersandar di kursi bis, namun kepala Aika malah memberontak dan akhirnya jatuh di atas pundak Kei.
"Aahhhh ... siaalll!! Kalau begini aku tak bisa lanjut menulis," batin Kei.
Pelan-pelan ia pindahkan kepala gadis kecil itu, namun kepala itu kembali lagi ke pundaknya.
Kei semakin kesal. "Aaaaahhhhhh"
Tangan kanannya mulai bergerak di atas kepala Aika hendak menepuk kepala gadis kecil itu, namun ia urungkan. Wajah Aika sangat lelah, mengingat kerjaannya yang paling banyak di museum, belajar, bertanya, berdiskusi dan lain sebagainya. Aika adalah sosok antusias yang sangat suka berbicara, tak heran jika ia bisa meraih juara dua umum tahun lalu.
Akhirnya Kei menutup buku dan menyimpan pena kesayangannya itu, ia juga hendak tidur.
***
"Jack?? Itukah Kau?" Suara seseorang dari belakang.
Dengan perlahan kedua mata Kei terbuka memperlihatkan ruangan yang penuh dengan warna putih.
"Dimana Aku?" Batinnya dengan heran.
Wujud yang awalnya tak kasat mata itu mulai terlihat, seorang pria yang cukup tua dengan pakaian serba hitam. Ia tersenyum tipis di depan Kei. Kei dengan heran menatapnya.
Tanpa sadar pria itu memeluk Kei. "Bagaimana kabarmu, Jack?"
Kei masih kebingungan, seakan tak percaya dengan apa yang dilihat dan dirasakannya saat itu. Bibirnya bergerak hendak mengatakan sesuatu. Pria itu perlahan melepas pelukannya, namun senyumannya tak berhenti. Ia kurang lebih seperti seorang ayah yang menemukan anaknya yang telah lama hilang.
"Maaf Pak, mungkin Anda salah orang. Nama saya-"
"Jack. Namamu Jack Crowley, Nak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Project
Mystery / ThrillerMisteri... Rahasia kelompok tertentu. Semuanya berada di dalam diri seorang anak SMA. Berawal dari Apel Eden yang diperebutkan keluarganya hingga nasib yang membentuk dirinya menjadi sosok di atas segalanya. Keiryuu Zaki, namanya. Anak SMA tahun ke...