Penantian 6

12 7 2
                                    

Aku tak langsung membalas. Tunggu, tunggu. Dia ini kalau bercanda tidak lihat sikon apa? Apa katanya? Melamarku? Ingin menikahiku? Atas dasar apa? Bukankah jelas-jelas dia tidak menyukaiku?

"Jangan bercanda!" Kupukul pelan bahunya.

"Aku enggak bercanda sama sekali. Aku sudah memikirkannya selama dua tahun belakangan. Sudah meminta petunjuk pula ke Tuhan."

"Petunjuk?"

Dia mengangguk. "Beberapa kali. Lewat istikharah."

"Mungkin itu wanita lain. Bukan aku."

Dia menggeleng. "Itu kamu, Raya."

Aku kembali terdiam; menunduk menatapi rumput yang terpangkas rapi. Sesekali, di sela-selanya melintas semut hitam yang kalau ngantup rasanya sangat menyakitkan.

Aku berusaha mencerna ucapan Teja. Aku tahu bocah ini sangat suka melucu, tapi kali ini sangat kertelaluan. Dia tidak seharusnya bercanda soal melamar dan menikahi anak gadis orang.

"Kamu sadar dengan ucapanmu, Yo?" Aku perlu memperjelas ini.

"Sesadar aku tahu ada dua gadis yang sedang membaca buku di sudut sana." Dia menunjuk tempat dua remaja perempuan yang asyik membaca.

"Aku rasa, keputusanmu hanya didasarkan rasa enggak enak karena sudah membaca surat dan buku itu."

Dia mungkin hanya baper.

"Aku sudah memikirkannya selama dua tahun, Raya. Dua tahun! Bukan sesuatu yang kuputuskan dengan gegabah."

Aku menghela napas. "Yo, kamu tahu kita berbeda, bukan?"

Dia mengangguk mantap. "Aku pria dan kamu wanita. Cocok, 'kan?"

Memang butuh kesabaran kalau bicara dengan pemuda ini.

"Bukan itu yang aku maksud. Strata, tingkat pendidikan, latar belakang orang tua, hal-hal semacam itu."

"Apanya yang berbeda?"

Aduh, dia ini punya otak sarjana kok enggak dipakai?

"Yo, aku dan kamu berbeda. Kamu lulusan sarjana, anak dari keluarga yang cukup berada, kamu tentu bisa mendapatkan wanita yang setara tingkat pendidikannya denganmu. Sementara aku, aku cuma wanita lulusan SMA. Orang tuaku bukan orang berada. Kami hanya keluarga sederhana. Sangat jauh berbeda denganmu. Enggak bisa disandingkan. Apa kata kawan-kawanmu yang lain kalau tahu kamu menikahi wanita yang tak sebanding?"

Dia menyugar rambut. "Apakah perasaan suka harus dibatasi dengan hal-hal duniawi semacam itu, Ray? Bukankah kamu sendiri yang bilang bahwa menyukai seseorang tak pernah bisa direncanakan?"

Aku termakan ucapan sendiri.

"Jika yang kamu takutkan perihal latar belakang sampai pendidikanku, aku malah takut jika cara pandangku enggak sebanding dengan kecerdasanmu."

"Aku enggak cerdas." Bagaimana bisa dia menyimpulkan hal demikian?

"Aku tuh sering lihat cuitan-cuitanmu, entah itu di IG atau FB. Beberapa kali membahas sesuatu yang cukup rumit dan kamu mengulasnya dari berbagai sudut pandang. Enggak mudah men-judge, bahkan memang enggak ngasih judge. Hanya memberi pandangan yang nantinya disimpulkan sendiri oleh pembaca statusmu."

Masa iya cuma dari membaca opiniku tentang sesuatu sudah membuatnya jatuh cinta? Eh, cinta bukan yang dia maksud?

"Bukankah aku sangat berbeda dari mantan-mantan pacarmu? Aku enggak secantik mereka, Yo. Aku cupu, pendek-gempal tubuhku, enggak pandai berias, enggak pandai jaga pola makan. Memangnya, kamu enggak malu menikah dengan wanita yang bahkan enggak lebih cantik dan seksi daripada mantan-mantanmu?"

"Di sanalah bodohnya Teja Kusuma Prasetyo pada masa lalu. Mengejar-ngejar yang hanya cantik fisik, tetapi cara pandang mereka terhadap sesuatu enggak secerdas kamu, Raya."

Hidungku sedikit mengembang. Jarang-jarang ada pria sekeren Teja memuji cara pandangku. Eh, tapi jangan langsung GR! Nilai kembali niatan Teja. Siapa tahu dia memang cuma baper karena surat dan buku itu. Lagi pula, siapa pula yang tidak baper karena sudah diabadikan dalam sebuah karya, 'kan?

"Kamu sudah berapa kali istikharah?"

"Berkali-kali. Nyaris setiap hari sepanjang dua tahun."

"Sudah membicarakannya dengan bapak dan ibumu?"

"Sudah. Insyaallah, mereka menerima dengan tangan terbuka. Bahkan kalau bisa, jawabannya jangan lama-lama."

Aku kembali menghela napas. Maksud takdir hari ini apa, sih? Apa Tuhan mau mempermainkanku lagi perihal jodoh?

"Aku ... aku enggak tahu harus jawab apa, Yo. Pernyataanmu sangat mengagetkan. Enggak pernah terlintas sedikit pun dalam bayanganku kamu menyukai bahkan sampai mengajakku menikah." Kembali kutatap gumpalan awan yang semakin menjingga.

Bukankah kisah ini cukup gila? Bagaimana bisa nyaris serupa dengan kisah Langgam-Suwa atau Sambara-Jiwa? Hei, aku membuat novel itu bukan sebagai perwujuduan doa! Idenya tiba-tiba saja melintas. Kan, sayang kalau tidak dieksekusi.

***

MewujudTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang