Ayah Arun adalah seorang pria tua yang berjalan menggunakan tongkat. Tubuhnya kurus dan jangkung dengan ujung bibir yang selalu mencebik, membuat ekspresi wajahnya terlihat selalu dingin—sungguh berbeda dengan potret dirinya yang tersenyum yang kulihat barusan. Segala hal yang ada pada pria tua itu, benar-benar mirip dengan Arun, bahkan aura yang terpancar darinya juga hampir sama. Aura yang mampu mengintimidasi orang-orang di sekitarnya.
Dia datang tepat saat Arun dan ibu tirinya hampir saja memulai pertengkaran. Ketika dia datang, aku bisa merasakan suasana yang tambah menegang. Semua yang ada di tempat ini membisu, memilih mengunci mulut rapat-rapat ketika dia dengan tongkat jalannya menuding Arun dan meminta putranya itu untuk mengikutinya.
Aku ditinggal. Ibu tiri Arun yang belum aku ketahui namanya itu melirikku dengan tajam dan jelas-jelas menampakkan raut wajah tidak suka, nyaris jijik jika boleh aku katakan. Aku berusaha ramah dengan tersenyum dan mengangguk sopan kepadanya, tapi wanita itu malah melengos. Dia tidak berkata apa-apa dan langsung menggandeng Levi, mengajaknya untuk pergi dari lobi ini.
Sekarang tinggal aku dan Mbak Yaya yang berada di sini.
"Maaf, ya, Mbak. Kamu harus menonton sinetron keluarga ini padahal kamu adalah tamu," kata Mbak Yaya disertai rasa penyesalan. Aku bisa mendengar helaan napasnya yang panjang.
Aku kembali tersenyum dan menggeleng. "Nggak apa-apa."
Kemudian, Mbak Yaya pun mengajakku pergi ke belakang rumah. Kami melintasi sebuah halaman luas dengan rumput-rumput hijau yang terpangkas rapi. Beberapa pohon peneduh dan pinus-pinus bonsai ditanam di beberapa sisi, sedangkan di sisi lainnya aku bisa melihat keberadaan sebuah kolam renang yang dikelilingi oleh beberapa meja bundar dan kursi, juga ayunan dari kayu.
Aku pikir, aku akan diajak duduk di salah satu kursi itu. Namun, Mbak Yaya justru terus berjalan hingga sampai di sudut halaman yang sedikit tersembunyi. Ada rumah kaca di sana. Mbak Yaya mengeluarkan anak kunci yang tersimpan di dalam saku celananya, lalu membuka pintu rumah kaca tersebut.
"Silakan, Mbak. Kamu bisa menunggu Mas Arun selesai di sini dulu," ucap Mbak Yaya mempersilakan aku untuk masuk.
Aku pun memasuki rumah kaca itu dan langsung terpesona dengan tanaman-tanaman yang ada di dalamnya. Ada berbagai jenis bunga yang ada di sini; mulai dari mawar, koleksi anggrek, marigold, hingga jejeran perdu hydrangea yang sedang memekarkan bunga-bunga cantik berwarna merah muda, ungu, dan biru.
"Bagus, kan?" tanya Mbak Yaya saat mendengarku berdecak kagum dengan keindahan tempat ini.
Aku mengangguk. Sebagai seorang florist yang sangat mencintai bunga, aku bagai menemukan kepingan taman surga di sini. Penataan taman yang begitu cantik berpadu dengan wangi semerbak dari beberapa jenis bunga benar-benar keindahan yang bisa aku rasakan di sini.
"Ini rumah kaca milik mamanya Mas Arun. Bunga-bunga ini dulu adalah miliknya. Beliau yang menanamnya dan merawatnya sendiri. Meskipun beberapa jenis, seperti bunga marigold ini sudah diperbaharui tanamannya, tapi Bapak masih mempertahankan tatanannya seperti saat almarhumah istrinya masih hidup," jelas Mbak Yaya.
"Papanya Arun?" tanyaku agak terkejut.
Mbak Yaya mengangguk, lalu mempersilakan aku untuk duduk di salah satu kursi yang mengelilingi sebuah meja besi bundar berwarna putih yang ada di tengah-tengah taman ini. Sementara itu, dia sendiri pamit untuk pergi sebentar dan memintaku untuk menikmati tempat ini.
Aku jadi punya waktu sejenak untuk sedikit mengamati lebih detail dalam rumah kaca milik mamanya Arun. Taman ini sepertinya ditata dengan baik, meski di beberapa tempat terkesan kurang dirawat terutama sulur-sulur tanaman mawar yang sudah merambat agak terlalu liar. Daun-daun kering yang berserakan juga menimbulkan bunyi gemerisik saat saling bergesekan atau angin yang tak sengaja masuk karena pintunya yang masih terbuka.
Selang berapa lama, Mbak Yaya kembali dengan membawa sebuah nampan. Di atasnya ada sebuah poci, dua cangkir porselen, serta dua piring kue. Wanita itu lalu meletakkan nampan ke meja, menuangkan teh dari poci, kemudian mengangsurkan kepadaku. Semerbak aroma teh langsung menguasai indera penciumanku, campuran antara daun teh dan wangi mawar.
"Silakan diminum, Mbak. Ini teh mawar yang disukai mamanya Mas Arun. Kue baumkuchen ini juga."
"Terima kasih," ucapku.
Meski aku lebih menyukai kopi sebagai minuman di sore hari, tapi aku tetap meminumnya untuk menghargai Mbak Yaya yang sudah repot-repot membawakannya ke sini. Aku berusaha menyesapnya perlahan, sementara ujung mataku bisa menangkap bahwa Mbak Yaya yang duduk di seberang mengamatiku dengan seulas senyum penuh makna. Ditatap seperti itu, justru membuatku gugup. Cepat-cepat aku kembali meletakkan cangkir teh ke atas cawan.
"Kamu benar-benar mirip dengan almarhumah ibu," celetuk Mbak Yaya.
"Eh? Maksudnya mamanya Arun?" Aku menyeka sisa teh di ujung bibirku dengan sehelai tisu.
Mbak Yaya mengangguk. "Pantas saja Mas Arun bisa suka sama kamu. Sekilas lihat, aku bisa menangkap persamaannya."
"Persamaan?" Aku menelan ludah. Jujur saja, pengakuan dari Mbak Yaya justru membuatku tambah gugup. Itukah alasan Arun menyukaiku? Karena aku mirip dengan mamanya? "Dalam hal apa?" tanyaku penasaran
Mbak Yaya diam sejenak, lalu menggeleng pelan. Dia tampak sedikit terkejut, entah dengan pertanyaanku atau hal lainnya. Yang jelas, dia tiba-tiba saja mengalihkan pembicaraan dan bertanya sudah berapa lama aku mengenal Arun.
"Dari SMA. Tapi, kami baru bertemu lagi satu bulan belakangan ini," jawabku.
Dia kembali tertegun. "Saat SMA Mas Arun adalah murid paling bandel, ya?"
Aku mengangguk. Sekilas kenangan melintas di benakku soal sosok Arun saat sekolah dulu. Bagaimana dia banyak ditakuti oleh para murid bahkan guru-guru tidak ada yang berani macam-macam dengannya.
"Meskipun suka bikin onar, tapi Arun anak yang baik. Dia pernah menolongku saat aku jadi korban bullying di sekolah," kataku.
Mbak Yaya mengangguk setuju. "Ya. Mas Arun tidak pernah bisa melihat seorang perempuan yang disakiti dan ditindas. Dia pasti akan berusaha sekuat tenaga melindungi orang-orang yang dia sayangi, termasuk almarhumah ibu."
Wajah Mbak Yaya mendadak muram dan aku tahu sebabnya. Selama hidupnya, Mama Arun selalu mendapatkan kekerasan dan meninggal karena bunuh diri. Arun yang begitu menyayangi sang ibu terguncang jiwanya dan akhirnya harus mendapatkan pertolongan psikiater.
"Aku turut prihatin atas apa yang terjadi pada mamanya Arun. Pasti nggak mudah bagi Arun saat itu."
"Bukan hanya saat itu saja, tapi sampai sekarang pun nggak mudah buat Mas Arun menjalani hidupnya," timpal Mbak Yaya.
"Aku dengar Arun kadang-kadang masih meminum anti-depresan dari dokter."
"Ya, begitulah. Apalagi dengan masalah yang terjadi sekarang. Pasti akan sangat berat buat Mas Arun juga untuk hubungan kalian ke depannya."
"Masalah apa?" Aku mengerutkan dahi. Setahuku masalah hubungan ini hanya soal Kak Ivan yang tidak mau melepasku, tapi dari caranya bicara seolah ada masalah lain yang lebih rumit.
Mbak Yaya menghela napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya seakan-akan ada beban berat di hatinya yang akan turut keluar bersama karbon dioksida dan uap air dari paru-parunya.
"Aku akan mendoakan kebaikan kalian selalu. Semoga kalian bisa melewati masalah ini bersama-sama dan mendapatkan kebahagiaan. Berjanjilah, Mbak. Kamu nggak akan meninggalkan Arun apa pun yang akan terjadi nanti," pesan Mbak Yaya panjang lebar.
Aku pun hanya bisa mengangguk mengiakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Whispering Wind (republished) [END]
RomantizmAdakalanya seseorang hadir di kehidupan orang lain bagai angin-hanya sekadar lewat, tetapi meninggalkan jejak yang mampu memporak-porandakan hati. Selama sembilan tahun, Tabitha tidak pernah mampu melupakan sosok cinta pertamanya, Arun, meskipun kin...