24. Jasmine

2 0 0
                                    

Warning 18+

Akhirnya, aku memutuskan untuk langsung pulang ke ibukota sore ini juga. Rencana awal kami—yaitu menginap bersama di hotel dan melakukan 'itu'—gagal. Entah aku harus merasa bersyukur atau tidak, karena itu artinya aku masih bisa menjaga mahkotaku yang paling berharga. Tuhan seperti sedang menyelamatkanku dari sebuah perbuatan bodoh dan mungkin akan aku sesali di kemudian hari.

Aku pulang sendirian tanpa Arun. Laki-laki itu berkata bahwa dia harus menginap di rumah papanya dan tidak bisa mengajakku turut serta.

"Ada urusan yang harus aku selesaikan dulu di sini," kata Arun sewaktu melepasku di halaman rumahnya.

Aku mengangguk kecil, mencoba memahami urusan yang dia maksud. Meskipun aku benar-benar merasa ada hal yang masih disembunyikan Arun dariku. Padahal hari ini, aku merasa selangkah lebih mengenal Arun lagi lewat cerita yang dituturkan oleh Mbak Yaya. Namun, sikap Arun seolah menjadi dingin kembali setelah berbicara empat mata dengan papanya.

Aku hampir saja pergi dari rumah itu dengan sedikit kecewa karena sepasang mata Arun yang tidak mau menatapku. Akan tetapi, saat aku hampir saja naik ke atas ojek daring yang kupesan, Arun tiba-tiba saja memelukku. Pelukannya begitu erat. Telapak tangannya yang besar itu membelai rambutku. Lalu, dia pun mencium keningku sedikit lebih lama.

"Aku cinta sama kamu, Tha," ungkap Arun berbisik di sela-sela kecupannya.

"Aku juga," balasku.

Arun melepaskan pelukannya. "Hati-hati di jalan. Aku janji kita akan ketemu lagi di Jakarta. Hubungi aku kalau kamu sudah sampai."

Aku mengangguk mengiakan.

Kemudian aku pun pergi ke stasiun untuk mengejar kereta yang akan berangkat sekitar satu jam lagi.

Kuhabiskan kembali waktu selama enam jam di dalam gerbong kereta dengan pemandangan senja syahdu yang kemudian cepat berganti pekat bersama cahaya lampu yang melesat-lesat. Perjalanan yang cukup memakan waktu itu tak terasa menjemukan. Sebab rasa bahagia tengah berpendar-pendar di hatiku. Meski ada sesuatu yang masih mengganjal dalam pikiranku. Terutama urusan apa yang disembunyikan Arun dariku. Aku berusaha menghalau pertanyaan itu. Akan tetapi, justru rasanya makin membuatku penasaran dan juga takut sekaligus.

Semua tanya itu tertelan begitu saja hingga aku sudah hampir mencapai rumah Mbak Yasmin. Ketika aku turun dari motor ojek daring yang mengantarku pulang, aku melihat mobil milik Kak Ivan terparkir tidak jauh dari tempatku. Sedikit tersembunyi di balik belokan ujung gang dan hanya disinari lampu jalan yang hampir redup.

Kak Ivan keluar dari mobilnya, lalu mendekat. Penampilannya terlihat berantakan, tidak seperti Kak Ivan yang terbiasa dengan kerapian. Aku sedikit menelan ludah ketika pria itu semakin menghapus jaraknya. Matanya yang agak kemerahan, melihatku nanar. Samar aku menghidu aroma alkohol yang menusuk hidungku menguar dari tubuh Kak Ivan. Membuatku mengernyit.

"Kak Ivan habis minum?" tanyaku. Bisa-bisanya dia minum di hari yang belum terlalu malam ini. Lagi pula setahuku Kak Ivan jarang sekali mabuk.

Pria yang lebih tua lima tahun dariku itu pun hanya memandangku dengan lemah. Guratan putus asa tercetak jelas di wajahnya yang kuyu. Apa yang sudah terjadi kepadanya beberapa hari ini.

"Aku nggak bisa, Tha," ucap Kak Ivan lemah seraya menggeleng. "Aku nggak bisa pisah dari kamu. Setelah apa yang kita lewati selama bertahun-tahun ini, kamu dengan teganya menusukku dari belakang."

"Maaf, Kak," cicitku sedikit takut melihatnya. Entah sudah berapa puluh kali kata itu meluncur dari mulutku.

"Aku akan maafin kamu asal kamu balik lagi sama aku, Tha." Kak Ivan meraih kedua bahuku dan mencengkeramnya kuat. "Aku akan lupakan pengkhianatan ini asal kamu terus bersamaku."

Whispering Wind (republished) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang