27. Calla Lily

6 0 0
                                    

Apa yang baru saja aku dengar tadi?

Aku bergantian memandangi Illana dan Arun dengan tatapan nanar. Apa yang baru saja dikatakan oleh Illana soal Arun? Aku sedang tidak bermimpi atau salah dengar, kan?

Lewat mataku, aku menuntut sebuah penjelasan lebih kepada kedua orang yang tengah berdiri di depan pintu ruang rawat inapku.

Illana dan Arun juga terlihat sama terkejutnya saat melihatku tiba-tiba muncul dan memotong pembicaraan mereka. Aku awalnya begitu senang saat melihat kedatangan Arun dari balik jendela kaca kecil di daun pintu, setelah kunjungan Illana yang tak kusangka-sangka. Rasanya sudah tak sabar ingin memeluk laki-laki itu, berlindung di balik dekapannya yang hangat, dan mungkin akan menghujaninya dengan banyak kecupan.

Aku ingat saat di hotel, di kamar president suit itu, Kak Ivan hampir saja merampas kegadisanku. Aku yang akhirnya hanya bisa terisak dan pasrah karena sudah begitu lelah tak bertenaga, dibebaskan oleh Kak Ivan yang sudah mulai melucuti pakaianku. Mungkin dia merasa kasihan atau entah apa. Yang pasti aku sangat bersyukur Tuhan masih menyelamatkan dan menjagaku.

Saat itulah, pertama kalinya aku merasa lega luar biasa ketika melihat Arun dengan wajah kalut terlihat sedang berdebat kusir dengan resepsionis. Dia datang ke sana untuk mencariku—entah siapa yang memberitahunya. Dia pasti sangat khawatir karena aku sama sekali tidak bisa dihubungi dan nekat menerobos ke hotel milik keluarga Aryasatya itu. Arun pasti, dan aku sangat yakin, begitu mencintaiku. Jadi, ketika dia datang mengunjungiku di rumah sakit, aku segera ingin berterima kasih.

Akan tetapi, apa yang aku dengar tadi, benar-benar membuatku hampir terkena serangan jantung.

"Apa ... Apa yang barusan kamu katakan, Lan?" Bersusah payah aku mengumpulkan suaraku kembali.

"Tha, aku—" Arun tampak ingin menjelaskan sesuatu, tapi segera kupotong kalimatnya.

"Katakan padaku, Run, kalau apa yang dibicarakan Illana itu cuma kebohongan," tuntutku penuh pengharapan. "Aku pasti salah dengar, kan? Kamu nggak mungkin yang nyuruh Jennifer bully aku, kan, Run?"

Arun terdiam beberapa saat, tetapi sorot matanya menatapku dengan kesenduan. Tatapan itu yang pernah beberapa kali dia berikan juga padaku. Kini aku jelas tahu apa maksudnya. Tergambar jelas dari sepasang mata itu sebuah rasa bersalah.

"Nggak mungkin." Aku menggeleng.

Arun adalah laki-laki paling baik hati yang pernah aku kenal, meski terlihat buruk di luar. Tidak mungkin dia tega melakukan hal itu karena Arun sangat mencintaiku. Illana pasti berbohong.

"Aku lihat dan dengar sendiri, Tha," timpal Illana. "Saat itu cowok brengsek ini dan cewek kecentilan itu sedang berduaan dan membicarakan kamu. Kamu pasti kaget kalau aku bilang mereka berdua sebenarnya diam-diam pacaran."

Apa? Apa lagi fakta yang aku dengar ini? Jadi, Arun dan Jennifer benar-benar bersekongkol untuk merundungku?

Aku merasakan pijakan kakiku mulai goyah hingga aku harus berpegangan pada kusen pintu.

"Aku bisa jelaskan semua ini pelan-pelan, Tha," ucap Arun akhirnya. Aku bisa mendengar dengan jelas nada suaranya yang lirih itu mengiba.

Arun berusaha meraih satu lenganku yang tergantung lemas di sisi tubuh, tapi aku langsung menepisnya. Entah kenapa, aku tiba-tiba merasa jijik dengan sentuhannya.

"Jangan sentuh aku!" ketusku. Aku bisa mendengar suaraku sendiri yang dingin dan datar bergema di dalam kepala.

"Tha .... Kita bisa bicarakan ini baik-baik," ucap Arun masih memelas.

Aku berpaling. Tidak sudi lagi memandangi wajahnya.

"Aku ingin sendiri," kataku sembari mengumpulkan kekuatan untuk kembali ke tempat tidurku.

Whispering Wind (republished) [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang