Part 6

14.6K 1K 31
                                    

Brakk! Kursi terpelanting dan akupun ikut terjatuh. Untung saja Bian menangkap tubuhku sehingga tidak terbanting ke lantai.

"Kamu kenapa? Segitu syoknya kah ngeliat mukamu sendiri?" Tanya Bian kemudian tertawa.

"Mukaku?" Tanyaku masih dengan rasa horor. Aku tidak bisa percaya itu wajahku. Aku kira itu adalah hantu yang sengaja jadi bayangan untuk menakut-nakuti.

Melihat reaksiku, Bian malah tertawa lebih keras. Kali ini tawanya diikuti oleh orang-orang yang hadir di situ. Barber yang tadi mengurusiku tertawa paling bersemangat. Dia sepertinya puas dengan hasil karyanya.

"Sini, perhatikan baik-baik." Kata Bian sambil memegang kedua pundakku dari belakang. Dia mendorongku maju untuk berhadapan dengan kaca. Di cermin itu, aku melihat seorang remaja yang ketakutan. Di belakang remaja itu adalah Bian. Sepertinya itu benar wajahku. Bukannya senang, aku malah semakin takut. Bagaimana caranya aku bisa berubah wujud seperti ini?

"Kak, ini ngga mungkin aku. Kalau aku pulang kayak gini, ibuku ngga akan mengenaliku." Kataku panik. Aku tidak siap menerima wajah yang tidak kukenali ini.

"Kamu lebay. Tetap dikenali kok. Wong ini mukamu mirip sama ibumu. Kamu harusnya senang jadi ganteng gini. Nanti tinggal pakai baju yang lebih keren. " Hibur Bian.

Tapi aku tidak mau jadi seperti ini. Rasanya aku tidak bisa mengenali tubuhku sendiri. Melihat bagaimana semua orang memandangiku di situ, aku malah semakin ciut. Aku takut pada pandangan tajam manusia.

"Eh, jangan membungkuk!" Kata Bian lagi sambil menepuk punggungku. Aku terpaksa meluruskan punggung.

"Lan, kamu punya mata yang bagus." Bian bicara lagi. Kali ini dia melingkarkan tangan di leherku. "Kulitmu juga bersih kayak orang yang ga pernah kena sinar matahari."

Well, itu tidak salah. Aku memang tidak suka kegiatan di luar ruangan. Selain itu, tidak ada yang mau mengajakku ikut bergabung juga.

"Sekarang karena rambutmu udah rapi, wajahmu baru kelihatan. Dengan wajah ini, kamu bakal jadi model buat restoran kita. Setelah ini kita harus perbaiki postur dan gaya bicaramu. Kamu juga perlu belajar pakai make up sedikit." Lanjut Bian.

"Make up?" Tanyaku syok. Aku bukan perempuan. Tidak pernah terpikir sekalipun di kepalaku untuk menggunakan hal-hal itu.

"Jangan mikir aneh! Cuma pakai lip tint dan sunblock kok. Mungkin krim lain juga. Ini wajib. Kamu masih mau kerja kan?"

Duh kalau ancamannya masalah pekerjaan, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya bisa memandangi lantai dan menutup mulut rapat-rapat.

"Kenapa ngga biarin aku jadi tukang cuci piring aja?" Tanyaku agak merajuk. Hidupku akan aman di dapur.

"Tampang kayak gini aku suruh cuci piring? Enak aja. Pokoknya kamu harus di garda depan untuk marketing. Nanti kamu harus belajar jadi artis sosial media." Kata Bian dengan senyum puas. Dia terlihat antusias dan tidak bisa dibujuk.

"Tapi aku ngga suka berhadapan sama banyak orang kak. Mereka nakutin." Kataku merengek. Aku memang tidak suka keramaian. Aku benci perasaan yang aku alami setiap dikerumuni orang banyak. Tiap kali itu terjadi, hal buruk akan mengikuti.

"Kamu takut? Kenapa?"

Karena setiap ada banyak orang yang mengelilingiku, aku akan dihina, dicaci, dirundung, bahkan dipukul!

Aku ingin menjawab itu tapi tidak ada kata yang bisa keluar. Bibirku malah gemetar dan tanganku menjadi dingin. Wajah Ryan tiba-tiba muncul di ingatanku. Seringai kejamnya ketika menarik rambutku membuatku merinding.

Bian menunggu jawabanku tapi tidak mendapat apapun. Melihat aku yang semakin menunduk, dia menyentuh kepalaku dengan lembut dan mengusap-usapnya. Setelah selesai, dia melakukan hal yang tidak kuduga. Dia memelukku dan menjatuhkan kepalaku di pundaknya. Setelah menghangatkan badanku dengan pelukan itu, dia kembali mengusap-usap rambutku.

"Sekarang, apa kamu masih takut?" Tanyanya.

"Huh?" Aku kehilangan arah. Ini hanya pelukan tapi entah kenapa jantungku berdetak sangat kencang dibuatnya. Apa karena Bian bersikap lembut? Atau aku yang tidak terbiasa diperlakukan seperti ini?

"Lan, manusia itu ngga menakutkan. Kalau kamu menemukan sisi lucu mereka, kamu akan melihat kalau mereka cuma manusia." Kata Bian lagi.

"Nanti aku buktikan." Tutupnya

***

Bossku di restoran adalah orang yang ramah dan lembut. Bian selalu seperti itu pada siapapun. Bahkan pada orang sepertiku yang sering mengundang emosi orang lain, dia tetap bersikap baik.

Pada hari pertamaku bekerja, Bian menjelaskan seluruh area restoran sambil mengajakku berkeliling. Setelah itu dia memberi tahu apa yang perlu diperhatikan selama bekerja. Suaranya terdengar enak didengar telinga dan penjelasannya mudah dipahami. Karena itu aku kagum. Aku juga ingin bicara selancar itu.

Jika Bian sedang tidak di tempat, dua pegawai perempuan di restoran akan membicarakan kekaguman mereka pada boss kami itu. Bukan hanya ganteng dan tinggi, Bian juga bisa memahami perasaan orang lain. Gayanya yang sopan dan berkelas membuat dua pegawai perempuan itu naksir.

Pegawai yang lain mengagumi seberapa teliti Bian akan hal-hal penting. Meskipun menuntut kedisiplinan, Bian berusaha mengerti kebutuhan pegawainya. Dia tidak pernah berkata kasar maupun membentak. Jika terjadi kesalahan, dia hanya meminta itu diluruskan dan tidak diulangi lagi.

Karena itu, akupun nyaman berbicara pada bossku itu. Setelah kami cukup akrab, barulah aku tahu kalau bujukan Bian tidak pernah bisa aku tolak sama sekali. Itu karena dia membujuk tanpa keinginan jahat. Entah kenapa aku malah merasakan kepedulian di sana.

Gara-gara itulah aku tetap tidak bisa menolak ketika dia memberiku les tambahan soal cara bersikap dan berpakaian setelah diseret untuk make over. Ketika dia menuntut agar aku berpenampilan rapi dan menarik ketika bekerja, aku hanya bisa mengangguk.

"Dalam minggu ini, aku akan merekrut admin social media dan fotografer. Karena semua menu sudah dicoba, kita akan viralkan restoran ini online. Jadi, kamu harus siap-siap terkenal."

Urgh! Bahkan ketika Bian mengusulkan hal mengerikan ini, aku cuma bisa membatu. Setelah bisa mengendalikan ketakutanku, aku bertanya.

"Tapi aku cuma perlu kayak gitu ketika kerja aja kan? Pas pulang aku ngga harus seribet itu kan?"

"Iya. Kamu cuma perlu profesional di sini. Di luar pekerjaan, kamu bebas." Jawab Bian.

Jawaban itu membuatku menghela nafas lega. Aku akan tetap memakai kacamata kalau di luar pekerjaan. Aku lebih nyaman dengan mukaku yang tidak menarik perhatian itu.

"Karena semua urusan pekerjaan sudah aku jelaskan, sekarang aku mau ngomong yang lain." Kata Bian dengan senyum ramah.

Aku terpana melihat senyum itu sehingga hanya dua kata yang bisa aku ucapkan.

"Yang lain?"

"Iya yang lain. Aku udah bilang kan kalau aku punya satu permintaan lagi? Kamu boleh nolak tapi please jangan menamparku. Apa kamu mau dengar permintaan itu sekarang?"

Aku mengangguk.

Setelah itu, Bian memegang kedua tanganku. Cahaya matanya terlihat lebih lembut dan senyumnya lebih menarik. Dia terlihat lebih ganteng daripada biasanya.

"Aku menyukaimu. Apa kamu mau jadi pacarku?" Tanyanya.

Deg! Jantungku seperti berhenti berdetak.

***

RYVAN 1 - Ugly Duckling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang