01. Catatan Gelap Dunia Lama

0 0 0
                                    

Ruangan itu gelap, hanya ada sedikit cahaya yang memaksa masuk lewat lubang-lubang angin yang kecil, seperti sudut jendela yang tidak tertutup dengan rapat. Suara goresan pena yang menari diatas kertas memecah hening dan mengalir dalam kegelapan.
Tapi sungguh, minimnya cahaya dalam ruangan itu sangat tidak pas untuk menulis.

Pintu terbuka, menyebabkan bunyi yang tak nyaman.
Seorang wanita kemudian berjalan masuk, sulit untuk mengenali wajahnya dalam gelap, ia berjalan mendekati meja kayu persegi di dekat jendela dan meletakkan secangkir teh chamomile disana.

Sosok yang sedari tadi fokus menulis mengangkat kepalanya untuk sejenak, kemudian kembali menulis dengan serius.

Wanita itu menghela nafas, lalu berjalan menuju jendela dan membukanya.
Seketika, cahaya seolah menyerbu masuk kedalam ruangan.

"Begini lebih bagus, 'kan?"

"Silau..."
keluh sosok yang duduk di kursi, membenamkan kepalanya pada kertas diatas meja.

Wanita berambut hitam sebahu itu tersenyum, bola matanya yang kecoklatan memandang keluar jendela, terpaku pada hamparan jalanan kota yang ramai.

"Ini sangat indah."
ujarnya dengan suara yang terdengar seperti bergumam.

"Apanya?"
sosok yang duduk di kursi itu menolehkan kepalanya, ia adalah seorang pria dengan rambut acak-acakan dan mata sayu yang terlihat selalu terlihat mengantuk, mengenakan baju kaos berwarna putih polos yang tidak dapat menyembunyikan otot-ototnya.

"Masa depan."

Suaranya seperti bergema didalam ruangan, angin berhembus masuk dengan tiba-tiba dan menerbangkan kertas-kertas tipis di atas meja.

~ ~ ~

Seekor gagak terbang dibawah langit mendung, mengantarkan bau kematian di udara.
Di suatu sudut kota, seseorang telah menghembuskan nafas terakhirnya.

Di sudut lainnya, seorang anak laki-laki merangkak sambil menangis kesakitan, satu kakinya telah putus.

Di bawah pohon, seorang perwira tingkat rendah bersandar sambil memangku senapan serbu miliknya, kehabisan tenaga untuk mencari bantuan.

Siang berganti malam, sepanjang jalanan kota tampak suram.
Tak ada tanda-tanda kehidupan, tetapi penuh dengan jejak-jejak kematian.
Asap hitam berkumpul di udara, menutupi rembulan yang tampak sendu.

Bangunan-bangunan yang dulunya sempat berdiri dengan kokoh bagai seorang kaisar yang arogan, kini  tampak kusam dan berantakan, reruntuhan yang seolah bersimpuh bagai seorang hamba atau budak.

Di jalanan panjang yang sepi, seorang anak laki-laki berlari sekuat tenaga.
Melompati jalan-jalan berlubang.

Sekitar lima hingga enam meter dibelakangnya, sekelompok orang dewasa mengejarnya.
Semuanya berpenampilan kurang bersahabat, sekali lihat dan semua orang juga bisa tahu kalau mereka adalah bandit-bandit yang biasa berkumpul di sudut-sudut kota.
Berkelompok dan mencari kesempatan untuk merampas atau menjarah apapun.

Jika dilihat dari dekat, cukup mustahil untuk anak laki-laki itu untuk dapat melarikan diri.
Nafasnya sudah tidak teratur, kakinya penuh luka dan lecet.
Lambat laun, ia pasti akan terkejar.

Tapi, ia tidak berniat untuk menyerah.
Ia terus berlari dengan memeluk erat sekantong roti dan sebotol air mineral— yang ia temukan di sebuah minimarket terbengkalai.
Sialnya, secara kebetulan ia bertemu dengan bandit-bandit yang tidak terima "makanan" mereka direbut oleh anak-anak.

Anak laki-laki itu berusaha sekuat tenaga.
Paru-parunya seperti akan meledak, tapi tak ada pilihan selain terus berlari— entah itu paru-paru meledak atau ditangkap bandit— keduanya tetap akan membawanya menuju kematian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 21, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The War WithinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang