𓆩 NEGERI HANTU 𓆪"Bukan lautan, hanya kolam susu~" Ah, ini dia, surga Indonesia yang kacau pada tahun 1998 - di mana yang lebih berlimpah dari protes dan kerusuhan hanyalah rokok dan mie instan. Wah, Indonesia tahun 1998 itu benar-benar penuh kedamaian dan kebahagiaan, bukan hanya bagi rakyat Indonesia, tapi juga bagi para koruptor yang merayakan kebebasan mereka!
"Orang bilang tanah kita tanah surga~"
"Woy Jepang, ngapain masih disini? Pulang sono!"
Lihat? Indonesia di tahun 1998 benar-benar negeri yang tenang dan penuh kedamaian. Oh iya, Rino hampir lupa. Tadi ibunya titip apa saja, ya?
Kini Rino tak lagi bernyanyi, pikirannya fokus mengingat apa saja barang yang dititipkan oleh sang ibu. Tepung sekilo, beras, gula, apa lagi, ya? Sudah semua, kan?
Tampak dari kejauhan sebuah rumah sederhana dan tak berteriak, yang catnya sudah pudar dengan taman bunga tak terawat. "Mas, sudah beli semua?" Rino mengulurkan keresek di genggamannya. "Cuma itu 'kan, Buk?" Ragu-ragu, ia menggaruk tengkuknya. Namun disaat itu tak sengaja tercium bau kuah tengkleng dari dapur, Rino jadi lapar.
"Walah, Mas ... Mas." Baru saja hendak menulusuri bau sedap itu, langkahnya terhenti. "Bawang putih sama bawang merahnya mana?"
Oh, iya, bawang. "Hehe, ada di pasar, Buk." Cuma bisa cengar-cengir. Namun, wanita itu tak marah. Matanya menyabit, mengusap rambut anaknya penuh kasih, "Yaudah, ndak papa. Coba tanya Ce Mei, ada bawang putih sama bawang merah lebih, ndak?" Rino mengangguk mengerti, kemudian memacu langkah menuju rumah tetangga; Rumah Ce Mei, yang kebetulan juga masih satu kerabat dengannya-sama-sama ada keturunan Tionghoa juga, walau tidak kelihatan kalau Rino, hanya kecipratan sedikit.
Menuntaskan misinya, Rino langsung berlarian ke dapur. Ia sudah tak tahan ingin menyicipi tengkleng buatan sang ibu. Siapa yang tidak suka tengkleng? Hanya orang aneh yang tidak suka tengkleng. Apalagi jika sudah ibunya yang memasak, pasti akan ia santap sampai ludes!
"Buk, nyicip?" Tanpa persetujuan wanita itu pun, Rino sudah siap dengan sendoknya. "Heh ojok!"
Tuk!
Sendok sayur sialan. "Nanti, Mas. Belum mateng."
"He'em ...." Mengusap kepala, Rino mendudukkan diri di meja makan. Namun hanya sebentar, ia kembali berdiri hanya untuk mencolek pinggang sang ibu, kemudian berlari entah kemana. "Opo se!" Jahil sekali anaknya. Kalau begini cuma bisa geleng-geleng kepala.
"Eh Mas, kemana?"
Kali ini terdengar suara sang Bapak. Ibunya jadi ikut menoleh, mendapati anaknya mengenakan jaket sambil memasang sepatu. "Biasa Pak, ada panggilan."
"Lho, Mas, iki tengklengnya piye?"
"Simpen aja, Buk. Mas nanti pulang agak malem, ya. Tungguin, mau makan malam bareng!"
Menyalami lelaki yang lebih tua, Rino melambaikan tangan sambil melangkah. "Hati-hati, Mas!"
"Oke!!"
Sekali lagi ia menoleh ke belakang, melambaikan tangan. Ibunya juga ada di situ. Rino tersenyum, tanpa tahu itu adalah kali terakhir ia bisa menghirup aroma tengkleng buatan sang ibu. []
YOU ARE READING
ii. negeri hantu, straykids✔
Narrativa Storica𝘃𝗶𝗶. 𝗮𝗻𝗼𝘁𝗵𝗲𝗿 𝗱𝗲𝗽𝗿𝗲𝘀𝘀𝗶𝘃𝗲 𝗲𝗽𝗶𝘀𝗼𝗱𝗲 Di mana sosok-sosok mudah menghilang; menghilangkan diri atau dihilangkan. !¡ contains mature themes, including violence, that may cause distress.